Para santri yang sering berbusana dengan jubah ala orang Arab, para kyai yang jika khotbah Jum’at dan berdoa sepenuhnya dalam bahasa Arab yang tidak dimengerti oleh khalayak umum, juga dicemooh sebagai orang Jawa yang tidak memiliki jatidirinya sebagai orang Jawa. Bahkan dianggap sok memonopoli tiket surga. Disindir, jika sudah mengenakan surban dan jubah atau gamis Arab, apakah merupakan jaminan masuk surga? Bukankah musuh Kanjeng Nabi Muhammad, yaitu Abu Jahal dan Abu Lahab juga berbahasa Arab serta memakai jubah Arab? Demikian pula apakah Gusti Allah hanya bisa berbicara bahasa Arab? Tidak paham bahasa Jawa? Kalau demikian halnya, maka itu hanya Tuhannya orang Arab, bukan Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Gusti Allah sesembahan kita haruslah Tuhan seluruh umat manusia, baik Belanda, Arab, India, Jepang, Cina, Indonesia maupun Jawa. Priyayi-priyayi Jawa itu ingin tetap menjadi orang Jawa tapi yang beragama Islam, bukan menjadi orang Arab ataupun bangsa lain.
Di samping logika yang sederhana tadi, sebagian priyayi Jawa juga masih menyenangi beberapa kitab tentang ajaran Islam yang dianggap sesuai dengan adat budaya Jawa seperti Centini, Wulangreh dan Wedhatama. Dalam kitab Wedhatama misalkan, sang penulis yaitu Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara IV (3 Maret 1811 – 8 September 1881) menyindir hal-hal yang berbau Arab sebagai berikut:
Nanging enak ngupa boga
rehne ta tinitah langit
apa ta suwiteng nata
tani tanapi agrami
mangkono mungguh mami
padune wong dahat cubluk
durung wruh cara Arab
Jawaku bae tan ngenting
parandene paripeksa mulang putra.
(bait 25).
Yeku patut
tinulad-tulad tinurut
sapituduhira
aja kaya jaman mangkin
keh pra mudha mundhi dhiri rapal makna.
Durung pecus
kesusu kaselak besus
amaknani rapal
kaya sayid weton Mesir
pendhak-pendhak angendhak gunaning janma.
Kang kadyeku
kalebu wong ngaku-aku
akale alangka
elok Jawane den mohi
paksa ngangkah langkah met kawruh ing Mekah.
(bait 37 – 39).
Terjemahan bebas kurang lebih :
Tapi enak mencari nafkah
karena ditakdirkan sebagai makhluk yang diperintah langit (makhluk yang lemah)
apakah mengabdi raja
bertani dan berdagang
begitulah menurut hematku
karena aku orang bodoh
belum paham bahasa Arab
bahasa Jawaku saja belum memadai
tetapi memaksa diri mengajari anak.
(bait 25).
Yaitu patut dicontoh diturut
semua petunjuknya
Jangan seperti zaman kini
banyak muda-mudi menyombongkan rapal dan makna
Belum mampu
terburu ingin lekas pandai
mengartikan rapal
bagai sayid dari Mesir
sering meremehkan (menyalahkan) kemampuan orang lain
Yang seperti itu
termasuk orang yang mengaku-aku
pikirannya tidak masuk akal
aneh tak mengakui ke Jawaannya
memaksa ingin mencari ilmu ke Mekah”
(bait 37-39).
Gambaran yang seperti itu, jujur saja sampai sekarang belum hilang sepenuhnya. Bahkan di sebagian masyarakat semakin kuat, sejalan dengan pemahamannya yang meningkat tentang ayat 13 Surat Al Hujuraat yaitu: ”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kami di sisi Allah ialah yang lebih taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
Ayat itu diyakini sebagai peneguhan atas eksistensi semua suku dan bangsa yang ada di dunia, yang masing-masing dibedakan antara lain dengan bahasa dan budaya masing-masing. Oleh sebab itu dalam hidup bermasyarakat termasuk dalam berdakwah, hendaknya kita bisa saling menghargai perbedaan budaya masing-masing termasuk dalam berpakaian dan berkomunikasi. Semoga dengan pemahaman ini kita bisa saling menjaga perasaan serta menghargai perbedaan demi membangun keharmonisan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(Dari kumpulan tulisan “Orang Jawa Mencari Gusti Allah”).
Artikel ini bermanfaat trimalasih mewakili apa yg saya ungkapkan