Ads
Cakrawala

Indone-Sah

Dalam suatu percakapan, seorang kawan yang hampir putus asa melihat penanganan bangsa yang carut marut, tiba-tiba nyeletuk “Mari kita bubarkan Indonesia dan kita bentuk Indonesia baru!”

Melihat saya kebingungan mengikuti arah bicaranya, dia terkekeh dan langsung melanjutkan celetukannya, “Jangan kuatir, ini cara paling murah dan mudah untuk mengamputasi tumpukan penyakit kronis yang sudah menyebar kemana-mana!”

“Apalagi tumpukan penyakit kronis macam korupsi dan kebohongan sistematis, membuat kita semakin rentan terhadap serangan penyakit akut macam kekerasan dan kerusuhan!” begitu lanjutnya.

Sekadar catatan, kronis adalah penyakit menahun, berlangsung lama. Sedang akut adalah serangan penyakit yang mendadak, berlangsung cepat dan berat.

“Bayangkan, kita yang sudah terhuyung-huyung digerogoti penyakit kronis, masih harus diancam oleh ketakutan karena sewaktu-waktu bisa dihajar jenis penyakit yang cenderung akut! Ibarat orang yang tubuhnya sudah lemah digerogoti kanker, tiba-tiba harus menghadapi serangan demam berdarah atau flu burung! Bisa tamat deh!”

“Nah, dari pada ambruk secara menyakitkan seperti itu, kenapa tak kita tiru saja model penyelamatan perusahaan yang ‘hidup tak, matipun enggan’, yakni dengan mengumumkan secara terbuka kebangkrutannya!”

Saya terbengong-bengong. “Jangan anggap ini ide gila atau ngawur,” jelasnya melihat kebengongan saya. “Bangsa kita sudah sangat sakit, rakyat sudah sangat lelah, sementara yang namanya kelas menengah malah bikin ring untuk gelut sendiri, dan orang-orang yang ditugasi sebagai nakhoda sibuk dengan urusan artifisial mereka, menjadi pemburu rente yang hanya mampu berorientasi jangka pendek! Mereka semua sudah sangat mirip katak yang terjebak dalam tempurung kepentingan, sehingga tak terlalu bisa diharap akan mampu melihat persoalan bangsa ini secara utuh dan komprehensif!”

“Bayangkan, sebagai sebuah bangsa kita nyaris kehilangan kedaulatan! Dan itu bermula dari kedaulatan ekonomi! Kita bukan bangsa miskin, tapi bangsa yang dimiskinkan karena membiarkan modal ekonomi kita dikuasai asing. Tanpa modal ekonomi yang kuat, modal sosial dan budaya kitapun akhirnya jadi lemah dan rentan diporak-porandakan!”

Meski tidak sepenuhnya paham, saya manggut-manggut saja mendengar khotbah kawan yang tampak mulai agak emosional ini. “Untuk memotong rantai kegilaan tak berujung ini, cara yang paling mudah dan murah adalah: mengumumkan kebangkrutan, pembubaran Indonesia lama dan pembentukan Indonesia baru. Sebut saja sebagai Indonesah, untuk membedakan dengan Indonesia lama yang kurang atau malah tidak sah!” begitu tegasnya.

“Kenapa harus dengan cara demikian?” tanya saya pura-pura penasaran.

Merasa bahwa saya terpancing, dia kembali terbahak-bahak. “Dengan mengumumkan kebangkrutan dan pembubaran, kita bisa menghindar dari keharusan membayar utang pada para lintah darat dunia yang makin hari makin membuat kita sulit bernafas! Yang berhutang kan Indonesia lama, jadi sebagai Indonesah, kita tak punya kewajiban membayarnya! Kalau mereka tetap saja mau menagih, tinggal kita suruh mereka menagihnya pada para penangung-jawab Indonesia lama!”

“Kecuali itu, kita juga sekaligus bisa menasionalisasi perusahaan-perusahaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang selama ini dikendalikan asing! Alasannya sederhana: perjanjian itu dibuat oleh Indonesia lama, sehingga tak lagi berlaku bagi kita sebagai Indonesah!”

Mendengar penjelasannya ini, ganti saya yang terbahak-bahak. Sungguh sebuah hiburan segar bisa bebas berkhayal di tengah kesumpekan bangsa ini yang makin lama makin menekan!

Budayawan, tinggal di Pati Jawa Tengah. Pendiri Rumah Adab Indonesia Mulia

Tentang Penulis

Avatar photo

Anis Sholeh Ba'asyin

Budayawan, lahir di Pati, 6 Agustus 1959. Aktif menulis esai dan puisi sejak 1979. Tulisannya tersebar di koran maupun majalah, nasional maupun daerah. Ia aktif menulis tentang masalah-masalah agama, sosial, politik dan budaya. Di awal 1980an, esai-esainya juga banyak di muat di majalah Panji Masyarakat. Pada 1990-an sempat istirahat dari dunia penulisan dan suntuk nyantri pada KH. Abdullah Salam, seorang kiai sepuh di Kajen - Pati. Juga ke KH. Muslim Rifai Imampuro, Klaten. Sebelumnya 1980an mengaji pada KH. Muhammad Zuhri dan Ahmad Zuhri serta habib Achmad bin Abdurrahman Al Idrus, ahli tafsir yang tinggal di Kudus. Mulai 2001 kembali aktif menulis, baik puisi maupun esai sosial-budaya dan agama di berbagai media. Juga menjadi penulis kolom tetap di beberapa media. Sejak 2007 mendirikan dan memimpin Rumah Adab Indonesia Mulia, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan non formal, penelitian, advokasi dan pemberdayaan masyarakat. Karya lainnya, bersama kelompok musik Sampak GusUran meluncurkan album orkes puisi “Bersama Kita Gila”, disusul tahun 2001 meluncurkan album “Suluk Duka Cinta”. Sejak 2012, setiap pertengahan bulan memimpin lingkaran dialog agama dan kebudayaan dengan tajuk ”Ngaji NgAllah Suluk Maleman” di kediamannya Pati Jawa Tengah mengundang narasumber tokoh lokal maupun nasional.

Tinggalkan Komentar Anda