Tidak akan kita dapati satu ayat, hadis, bahkan fatwa ulama yang bisa dipegang yang akan membenarkan tindakan para pemuda kita yang, atas nama Islam, dengan bodoh mengebom gedung-gedung gereja di Jakarta, Makassar, di beberapa kota di Tanah air, dan dengansesat mengira tindakan mereka diridhai Allah.
Itulah sebabnya mengapa di dalam sejarah penaklukan-penaklukan Islam tidak terdengar berita tentang sebuah gereja, sinagog, atau bahkan kuil majusi yang dirobohkan, dan masing-masing dari lembaga keagamaan Yahudi, Kristiani maupun yang lain tetap berdiri di negeri-negeri islam sampai sekarang – di Mesir, Irak, Iran, semuanya – satu hal yang berkebalikan dengan perlakuan terhadap komunitas muslim dan lembaga-lembaganya yang, pada ketika Islam jatuh di abad ke-15 Masehi, disapu bersih dari Spanyol.
Tapi itu pula sebabnya tidak akan kita dapati satu ayat, hadis, bahkan fatwa ulama yang bisa dipegang yang akan membenarkan tindakan para pemuda kita yang, atas nama Islam, dengan bodoh mengebom gedung-gedung gereja di Jakarta, Makassar, di beberapa kota di Tanah air, dan dengansesat mengira tindakan mereka diridhai Allah.
Padahal, kalau mau mengambil tafsir (yang bisa disangka agak berlebihan) dari Muhammad Ali untuk Q. 22: 40 (Mereka yang diusir dari kampung halaman mereka sendiri tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, ‘Tuhan kami, Allah’. Dan kalaulah bukan karena Allah menolak (keganasan) manusia, sebagiannya dengan yang sebagian, sudah dihancurkanlah biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama Allah banyak sekali.”- ed) ini, dikatakan, “Patut diingat bahwa kehidupan orang-orang muslim tidak hanya dikorbankan untuk menghentikan penganiayaan terhadap mereka dari musuh-musuh mereka dan untuk menyelamatkan masjid-masjid mereka sendiri, melainkan juga untuk menyelamatkan gereja-gereja, sInagog-sinagog dan wihara-wihara – dalam kenyataannya untuk menegakkan kebebasan beragama yang sempurna” (Ali, holly Qur’an, 656n). Sementara itu, didalam agama kita, dalam situasi permusuhan yang sudah memberat dengan tekanan perang pun masih tetap diajarkan: “Kalau mereka condong kepada perdamaian, condonglah pula kamu kepadanya dan percayakan dirimu kepada Allah.” (Q. 8:51).
Tetapi tidak berarti, tentu saja, bahwa demi perdamaian, kita hrus kehilangan hak kita. Inilah antara lain sifat mukmin yang ideal:
Orang yang bila ditimpa kezaliman, mereka membela diri. Adapun balasan kejahatan adalah kejahatan seumpamanya. Tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada yang berbuat jahat, khusus dalam masalah pribadi), pahalanya ada pada Allah. Allah tiada menyukai orang-orang yang zalim. Tetapi barangsiapa memebla diri sesudah penganiayaan yang diterimanya, tidak ada terhadap mereka itu jalan apa pun (untuk menyalahkan mereka). Jalan itu hanyalah ada pada orang-orang yang menzalimi khalayak dan berbuat sewenang-wenang di muka bumi tanpa alasan yang semestinya. Mereka itulah yang (berhak) memperoleh siksa yang pedih. (Q. 42:39-42).
Nah, dengan semua yang di atas itulah kita melihat perang di Irak, Afghanistan, dan tempat-tempat lain.
Di pihak Irak, maupun Afghanistan (pemerintah Taliban waktu itu), masing-masing dari kedua perang itu adalah agresi dari negara asing (yang kafir) yang sudah sendirinya menyebabkan terpenuhinya syarat bagi pihak yang diserang untuk mengangkat senjata dan menyerang balik dalam rangka intishar, membela diri, sebagaimana disebut di dalam ayat. Lebih-lebih penyerangan balik itu bisa didasarkan pada landasan lain. Dan inilah tiga kenyataan hukum yang bisa diterapkan sekarang ini dari rumusan fikih tradisional islam yang klasik.
Pertama, kenyataan bahwa baik Irak maupun Afghanistan adalah negeri Islam (darul Islam). Dan sekali dinyatakan sebagai darul Islam, sebuah wilayah akan selama-lamanya berstatus begitu. Nahdlatul Ulama, pada 1984, mencantumkan kaidah itu dalam deklarasinya, ketika menyatakan bahwa Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah bentuk final cita-cita kenegaraan umat Islam Indonesia.
Kedua, serangan oleh Amerika dan sekutunya, kepada Irak maupun Afghan, adalah masing-masing serangan kepada darul Islam oleh kekuatan yang dengan tindakanya itu membuktikan dirinya mewakili darul harb, negeri kafir dari jenis yang sah diperangi. Sebagai bandingan: segera sesudah proklamasi kemerdakaan RI, langkah Belanda untuk kembali menjarah Tanah Air dengan bantuan Sekutu (Inggris dan Amerika) disambut oleh pertemuan ulama se-Jawa Timur yang, di bawah KH Hasyim Asy’ari, menyerukan fatwa: bertempur mempertahankan Tanah Air adalah jihad fi sabilillah, dan gugur dalam perang itu berstatus syahid. Itulah yang menyebabkan peristiwa 10 November 1945 di Surabaya itu menjelma menjadi, disebut oleh Nurcholish Madjid, ‘revolusi santri’. (Bersambung)
Penulis: Syu’bah Asa (Panjimas, Mei 2003)