Ads
Tasawuf

Zikir Penenteram Kalbu (Bagian 4)

Zikir itu di kalbu, pada nafs (jiwa), dan itu terus dipompakan sehingga terefleksikan dalam seluruh diri kita, dengan pangkal yang ada di hati, kemudian membuahkan hasil. Karena itu zikir ini diibaratkan air, yang membawa sumber-sumber mineral yang membawa kehidupan.

Dalam  Alquran ada empat redaksi untuk penyataan tauhid. Yang petama dengan lafal allah langsung: laa ilaaha illallah. Yang kedua dengan ism dhamir (kata ganti) hua, seperti dalam Ayat Kursi: laa ilaaha illa hua. Juga kata ganti orang kedua, anta, seperti dalam doa “laa ilaaha illa anta subhanaka  inni kuntu minadz dzalimin. Berikutnya dengan kata ganti orag pertama, ana: laa ilaaha illa ana. Hanya saja Ibnu Taimiah, yang dikutip oleh Hasbi Ash Shiddiqie, dalam bukunya tentang zikir menyatakan sebaiknya jangan berzikir dengan ungkapan yang terakhir itu: ana – karena khawatir kata itu tidak berarti “Allah” lagi tapi “aku” (mansia). Dalam tasawuf boleh-boleh saja, asalkan ketika menebut Huawa, Anta, atau  Ana semua referensinya kembali kepada Allah.

Kemudian,  pengertian pohon yang menjulang itu seperti aliran darah:karena pusatnya di jantung, kemudian dipompa, sehingga mengalir ke seluruh bagian tubh manusia. Zikir itu di kalbu, pada nafs (jiwa), dan itu terus dipompakan sehingga terefleksikan dalam seluruh diri kita, dengan pangkal yang ada di hati, kemudian membuahkan hasil. Karena itu zikir ini diibaratkan air, yang membawa sumber-sumber mineral yang membawa kehidupan.

Kalau sebatang pohon saja bisa tumbuh dengan cepat, apalagi kalau kalbu kita itu,k alau kita siram dengan zikir kepada Allah  –maka akan semakin cepat penghayatannya, akan semakin hidup juga pohon keimanan jiwa kita. Tetapi kalau kemudian, kalau tidak mengakses kepada sumber air, karena tanah (kalbu) yang kita miliki itu kering, itu yang terjadi bukan hanya pohon itu menjadi kering, tubuhnya mengecil, daunnya menguning dan layu. Bukan sekadar itu, melainkan terjadi pembakaran dari dalam.

Maka boleh saja fisik sehat, boleh saja segala fasilitas hidup lengkap, diukur dengan ukuran duniawi yang mewah, tapi jangan-jangan sumber mata air spiritualnya kering. Bisa-bisa dengan kecerdasan inetelektual, dengan kebangsawanannya sekalipun, semua itu tidak bisa mencerminkan nilai kemanusiaan yang akhirnya kering dan terbakar. Mengapa itu terjadi? Kaena ekspresinya radikal, tindakannya keras, sikapnya arogan,dan sebagainya. Kalau itu terjadi, bagaimana ada keseimbangan? Bagaimana mungkin jiwa kita tenteram? Bagaimana kita akan berhubugan dengan Allah dan sesama manysia dengan baik? Akhirnya terjadilah dekadensi moral, korupsi, dengki, ujub, riya, teror, dan sifat-sifat dari sumber penyakit hati lainnya. (Bersambung)           

Penulis: Dr. Asep Usman Ismail (Sumber: Panjimas, Juli 2003).

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading