Sakitkah Indonesia? Kalau sakit, apa sakitnya? Seberapa parah kondisinya? Akutkah? Kroniskah? Tak ada jawaban yang pasti! Kalau ‘dokter-dokter’ sosial-politik-ekonomi-budaya dunia yang paling pakar dikumpulkan jadi satu, dan diminta mendiagnosa penyakit Indonesia, apalagi disuruh meresepkan terapinya; bisa jadi bukan diagnosa dan terapi yang dihasilkan, tapi justru mereka akan butuh dokter betulan untuk mengobati pening luar biasa yang mendadak menyerang.
Yang jelas, kalau bangsa ini diibaratkan tubuh, setiap titik dari kepala sampai kaki, akhir-akhir ini tak henti mengeluh sakit. Dari rakyat kecil di pinggir jalan sampai dengan Presiden, tidak ada yang tidak merasa sakit. Ironisnya semua menganggap dirinya yang paling menderita, sambil menuding yang lain sebagai penyebabnya. Akibatnya, bukan penyembuhan yang dihasilkan, tapi kegaduhan yang justru menambah jumlah penyakit baru di ruang publik: sakit telinga.
Tak mengherankan bila sebagian orang lantas merasa sudah berada di titik nadzir keletihan mengurus rasa sakit ini. Mereka kemudian memilih untuk tidak peduli. Yang paling penting bagi mereka adalah keselamatan mereka sendiri; orang lain mau jungkir balik atau beradu kesaktian, mau sehat atau sakit, mau hidup atau mati, selama semua itu tak secara langsung menyenggol kepentingan atau keselamatan mereka, tak akan mereka gubris.
Sementara sebagian yang lain masih mencoba mengais ‘mimpi’ perubahan. Tapi dari mana perubahan harus dimulai? Tak ada jalan lain kecuali lewat prosedur baku demokrasi: pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Lewat jalur inilah, begitu nalarnya, semua perundangan yang dianggap ‘sesat’, ‘bid’ah’ atau ‘makruh’ bisa segera diperbaiki dan ditata ulang demi kajayaan masa depan.
Pasti ada yang terbahak-bahak mendengar optimisme semacam ini. Terlalu banyak fakta yang dengan kasat mata menunjukkan betapa masih amburadulnya partai-partai dan tidak jelasnya rekam jejak para calon anggota dewan.
Begitu tidak jelasnya sampai-sampai muncul anekdot: masalah kuota bagi anggota dewan sebenarnya tidak hanya diterapkan pada perempuan, tapi juga juga pada para ‘idealis’. Kuota tak tertulis ini berbunyi: masuknya satu ‘idealis’ wajib dibarengi oleh sembilan pasukan ‘memble’. Bagi rakyat kebanyakan, ini bukan fenomena yang mengejutkan; karena untuk mencalonkan diri menjadi anggota dewan tingkat dua saja dibutuhkan pundi-pundi uang yang tidak sedikit, apalagi untuk tingkat di atasnya.
Para idealis, mereka yang lebih punya kemampuan dan keseriusan mengurus rakyat, pada akhirnya akan selalu kandas. Yang bisa mereka lakukan paling banter cuma jadi divisi penghibur di televisi dan koran bagi rakyat yang memang lapar lakon kepahlawanan; sementara urusan kebijakan dan pembuatan regulasi akan ditangani oleh pasukan ‘memble’ yang jelas menguasai 90% kursi. Angka 10% itu pun masih dianggap moderat oleh sebagian kalangan, karena ada yang katanya mematok angka 5%, bahkan konon ada yang cuma mencukupkan diri dengan 1% saja.
Lantas atas dasar apa optimisme akan dibangun bila persoalan ‘kuota’ ini saja sudah cukup digdaya untuk meruntuhkan semua harapan? Apalagi bila fakta tersebut kemudian ‘kawin’ dengan kecenderungan sebagian besar rakyat yang ketimbang pusing menanti perbaikan yang tak kunjung datang, lalu memilih bersikap pragmatis dengan politik uang; maka pasti habis pulalah mimpi menjadikan proses demokrasi sebagai pintu gerbang perubahan.
Padahal sumber masalah ini justru berasal dari perundangan, bahkan ke pokoknya yaitu amandemen UUD 45; setidaknya demikian pendapat sebagian orang. Semakin jauh panggang dari api bila kita berharap lembaga yang isinya tidak jelas ini akan mampu melakukannya. Kalau pun misalnya mereka tiba-tiba diberi ‘hidayah’ dadakan, belum tentu juga mereka akan bisa melakukan perubahan mendasar, karena terlalu banyak jebakan sudah dipasang. Apalagi bila ‘hidayah’ itu menyangkut menyoal kembali UUD, jalan untuk mengutak-atiknya saja nyaris tertutup rapat. Buntu.
Jadi? Ya jadilah Indonesia hari ini. Gaduh.
