Kalau salat bisa dilakukan dengan khusyuk, itu merupakan tanda bahwa kita sudah mikraj (sampai atau terhubung) dengan Allah. Tapi zikir dalam salat itu tergantung pada porsi yang kita lakukan: apakah porsinya standar, atau apakah kita baru belajar salat.
Megenai zikir dengan membaca Alquran, yang simpel, walaupun tidak menghafalkan seluruh ayat Alquran, sampailah kemudian di masyarakat timbul satu kebiasaan yang disebut sima’an, atau semakan. Artinya menyimak, mendengarkan: satu orang membaca yang lain mendengarkan, dan begitu seterusnya bergantian. Tapi itu terbatas pada membaca dan menyimak, meskipun hal itu juga bisa memberikan ketenangan pada batin kita. Bisa juga lebih dari itu: misalnya membaca, menyimak, sekaligus mendalami dan menghayati.
Banyak lagi upaya berzikir yang bisa kita lakukan secara sederhana. Misalnya, kita sering mendapat ceramah dari media massa, seperti televisi dan radio, (dan media sosial, ed). Lalu kita mencari referensi ayat Aquran dengan masalah yang dibahas itu. Itu juga zikir. Contoh lain yang sederhana misalnya salat. Dalam salat itu kita mengucapkan takbiratul ihram, membaca ayat Quran, i’tidal, membaca salawat sesudah sujud, kesemuanya adalah cerminan dari makna zikir yang sesungguhnya.
Pertanyaannya, apakah salat itu bisa menenteramkan jiwa kita? Jawabannya: bisa, walaupun hanya standar. Bahkan kalau salat kita bisa dilakukan dengan khusyuk, itu merupakan tanda bahwa kita sudah mikraj (sampai atau terhubung) dengan Allah. Tapi zikir dalam salat itu tergantung pada porsi yang kita lakukan: apakah porsinya standar, atau apakah kita baru belajar salat. Karena itu berbagai cara atau ibadat sebaiknya kita pahami secara intensif, sehingga semua perbuatan kita yangtertuju kepada Allah itu bisa disebut dengan zikir.
Uraian yang paling baik, yang bisa kita temukan tentang zikir dan penenterman batin, itu dari Al-Hakim dan At-Tirmizi. Kitab yang dikarang At-Tirmizi ini berjumlah 20 jilid, satu jilid sekitar 200 halaman. Dalam jilid yang ke-11 kita menemukan uraian At-Tirmizi yang membandingkan susunan batin kita dengan susunan sebatang pohon. Jadi diri kita ini diibaratkan dengan sebatang pohon.
Setelah ditelusuri, sumber inspirasi At-Tirmizi adalah Q. 14:24, yang artinya: “Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yag baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”. “Kalimat yang baik” adalah kalimat tauhid, segala ucapan kebajikan yang mencegah dari kemungkaran, serta perbuata yang baik. Kaimat tauhid itu seperti kalimat laa illaha illallah. Kalau diuraikan secara filosofis, itu disebut sajaratul kaun atau disebut juga pohon eksistensi (diri).
Coba kalau kita analisis secara sederhana. Pohon itu tumbuh di bumi. Di dalam diri kita buminya, atau tempat pohon itu tumbuh, yaitu kalbu. Ini kan pemberian Allah – subhanallah. Karena itu bagaimana ungkapan-ungkapan zikir yang kita baca itu dapat ditanamkan dalam diri kita dengan sebaik-baiknya – apakah seluruh Aquran, atau sebagiannya, kedua-duanya bisa dilakukan. Kata – subhanallah yang bar kita ucapkan itu, seperti juga kalimat istighfar (astaghfirullah), atau kalimat pengagungan (allahu akbar), itu semua zikir.
Penulis: Dr. Asep Usman Ismail (Sumber: Panjimas, Juli 2003).