Ads
Cakrawala

Berkaca Pada Umar dan Abu Bakr

Ada dua orang yang celaka dalam urusan kekuasaan.  Pertama, orang yang berambisi menjadi penguasa padahal dia tahu bahwa ada orang yang lebih pantas dan lebih mampu.  Kedua, orang yang menolak ketika diminta dan dipilih padahal dia tahu dirinyalah yang paling pantas dan paling mampu; dia menolak semata-mata karena lari dari tanggung jawab dan enggan berkhidmat kepada umat

Ketika dalam keadaan sakit menjelang kewafatannya Abu Bakr Shiddiq sempat memanggil “tangan kanan”-nya, Umar ibn Khaththab. Khalifah berterus terang mengemukakan keinginannya agar Umar bersedia menggantikannya.

“jangan, Abu Bakr,” kata Umar. “Aku tidak memerlukan jabatan itu.”

“Tetapi kekhalifahan memerlukanmu, Umar,” sahut Khalifah. “Aku khawatir maut menjemputku dan meninggalkan rakyat tanpa khaifah lalu terjadi seperti yang di Saqifah dulu.”

“Tunjuklah selain aku.”

“Siapa?”

“Abu Ubaidah, misalnya. Dia aminul ummah, kepercayaan umat.”

“Itu sudah aku pikirkan juga. Namun aku tdiak melihat pada diri Ubaidah ibn Jarrah kekuatan seperti yang ada pada dirimu. Dia memang dapat dipercaya; tapi aku ingin orang kuat yang dapat dipercaya.”

“Allah akan menyempurnakan cahaya Islam, betapapun orang-orang kafir tidak senang.”

“Allah menyempurnakan cahaya Islam melalui hamba-hamba-Nya yang patut, yang berjuang, yang ikhlas!”

“Bagaimana kau memilihku, wahai Khalifah, sedang aku sering berbeda pendapat denganmu.”

“Justru itu yang memperkuat pilihanku. Aku ingin seorang yang bila mengatakan tidak, ia mengatakannya dengan sepenuh hati; bila mengatakan ya, ia mengatakannya sepenuh hati.’

Mereka terus berdebat. Yang satu berkeras meminta, yang lain kukuh menolak. Didesak terus, akhirnya umar yang perkasa itu menangis.”Abu Bakr, aku mengkhawatirkan diriku, agamaku, dan akhiratku…”

“Wahai Umar, dalam urusan kekuasaan ini ada dua orang yang celaka. Pertama, orang yang berambisi menjadi penguasa padahal dia tahu bahwa ada orang yang lebih pantas dan lebih mampu daripada dirinya. Kedua, orang yang menolak ketika diminta dan dipilih padahal dia tahu dirinyalah yang paling pantas dan paling mampu; dia menolak semata-mata karena lari dari tanggung jawab dan enggan berkhidmat kepada umat.”

“Wahai Abu Bakr, demi persahabatan dan kecintaanku kepadamu, jauhkanlah aku dari beratnya hisab di hari Kiamat kelak.”

“Kau lupa, Umar. Imam yang adil kelak akan dipayungi Allah di hari tiada payung kecuali payung-Nya.”

Umar semakin keras menangis, “Imam yang adil, ya. Tapi aku?”

“Kau juga. Kau juga, Umar.”

“Besok di hari Kiamat, kau tidak bisa menolongku apa-apa, Abu Bakr, bila Allah menghendaki menghukumku.”

“Wahai Umar, bukan demikian Allah ditakwai dengan sebenarnya. Bukankah kau tahu ayat ayat yang longgar selalu dibarengi dengan ayat yang keras dan sebaliknya, agar orang mukmin selalu dalam harap dan cemas. Tidak mengharap dari Allah sesuatu yang dia tidak berhak atasnya, dan tidak cemas atas sesuatu yang diletakkan Allah di tangannya. Bila setiap orang yang mempunyai tanggung jawab tidak melaksanakannya karena takut kepada Allah, niscaya takut kepada Allah akan berubah menjadi buruk sangka kepada-Nya.”

“Apakah tidak ada yang lain?”

“Baiklah, mari kita nilai dirimu.”

“Baik.”

“Katakan, demi Allah yang mengetahui apa yang ada dalam hatimu, apakah kau melihat orang yang lebih pantas memegag jabatan ini melebihimu?”

“Pasti.”

“Jawab pertanyaanku, wahai Umar, apakah kamu melihat di antara kaum muslimin setelah aku, ada orang yang lebih kuat ketimbang dirimu dalam mempertahankan kedaulatan mereka?”

Umar menahan deras air matanya dan menjawab lirih, “Allahumma Laa. Memang tidak.

“Alhamdulillah.”

“Tapi kau harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan orang-orang, wahai Abu Bakr.”

“Aku akan melakukannya, Umar. Hambatan yang terberat sudah kulalui, insya Allah yang lain akan lebih mudah.”

Kisah di atas saya nukil-sarikan dari Malhamah Umar-nya Ali Ahmad Baktsir. Siapa tahu di tengah suasana banyak orang yang berebut kekuasaan, dan ngiler mencalonkan diri  mejadi penguasa, orang dapat mengambil pelajaran dari tokoh-tokoh salaf itu.  

Penulis: A. Musthofa Bisri (Sumber: Panjimas, Juli 2003)

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading