Ads
Tasawuf

Zikir Penenteram Kalbu (Bagian 2)

Zikir  pada awalnya berasal dari keinginan manusia untuk mengingat betapa besarnya kasih sayang Tuhan yang telah dianugerahkan-Nya tanpa Tuhan meminta balasan dari manusia.

Apakah zikir bisa menenteramkan hati kta? Jawabannya bisa ya, dan bisa tidak. Kalau yang berkenaan dengan sisi ilahiah,yang menyangkut Dzat-Nya,  itu tidak bisa dijangkau akal pikiran kita. Karena Dzat itu tidak bisa dilihat oleh mata, tidak bisa diimajinasikan seperti apa. Karena itu jangan dipersepsikan zikir itu  membayangkan Allah. Karena berkenaan dengan Dzat-Nya ada sebutan ghaibul ghuyub, yang tersembunyi dari semua yang tersembunyi. Jadi bukan fisik Allah yang terlihat, senyum bibirnya, wajah dan matanya, tetapi kasih sayang dan perhatian-Nya yang tinggi.

Karena itu Nabi s.a.w. mengingatkan kita tentang zikir itu: “Perhatikan (pikirkan) apa yang Allah ciptakan dan jangan dipikirkan Dzat Allah.” Maksudnya kalau kamu mau mulai berpikir tentang Tuhan maka pikirkan saja lebih dahulu tentang ciptaan-Nya. Jangan langsung memikirkan Dzat-Nya. Sayidina Ali r.a. ditanya oleh sahabatnya, “Wahai Ali apakah engkau melihat Tuhanmu?” Ali  punya pengalaman di zaman jahiliah, bahwa “melihat Tuhan” itu dalam bentuk sosok, seperti patung (Latta, Manat,  Uzza) , yang mempunyai mata, telinga, dan tangan. Orang itu bertanya lagi kepada Ali. Dan ia kaget ketika Ali menjawab dengan pertanyaan balik, “Bagaimana saya bisa beribadah kepada Tuhan yang tidak saya lihat?”

Sehingga ia punya persepsi bahwa Ali melihat Tuhan sedangkan dia tidak. Maka dia bertanya lagi kepada Ali, “kaifa tara rabbak?”,  bagaimana engkau melihat Tuhanmu. Inilah yangmenjadi renungan kita: Ali akhirnya berkata, “Saya tidak melihat Tuhan dengan mata (atau dibayangkan dengan pikiran, Tuhan itu seperti apa), tetapi saya melihat Tuhan dengan bashirah, atau mata batin (hati nurani),yaitu yang disinari cahaya iman.”

Karena itu, zikir yangpaling inti, fungsional dan substansial yaitu zikir yang bisa mengembangkan potensi bashirah (mata batin) kita, yang di dalam ajaran tasawuf disebut dzikir khafi. Zikir khafi adalah zikir yang dilakukan tidak menggunakan kata-kata, tetapi dengan kesadaran mendalam dari bashirah kita untuk berlatih, sampai ke tingkat menyaksikan dan merasakan kehadiran Allah yang omnipresent.

Tetapi memang tidak otomatis seperti itu. Butuh waktu. Seperti dalam tarekat kita harus belajar dari orang-orang yang memiliki pengalaman, dan dilakukan melalui berbagai proses talqin. Itu pun tidak secara otomatis dan mudah, karena talqin adalah upaya menyambung batin kita dengan cara muhasabah. Kita sering menganggap bahwa dengan sekali talqin kita bisa menjadi ahli zikir. Tapi yang pokok harus dijaga bagaimana percikan cahaya zikir itu dirawat dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.

Maka membiasakan zikir harus diawali dengan zikir lisan. Bacaannya bisa apa saja – tentunya semua yang berhubugan dengan batin kita, yang nyambung dengan Allah. Bisa saja membaca seluruh ayat Alquran, karena membaca Alquran seperti itu juga termasuk zikir. Ditambah lagi dengan amalan wirid. Tetapi apakah yang membaca Alquran itu otomatis menjadi ahli zikir? Tidak mungkin hanya hafalan saja. Tapi kalau terbina degan intensif, membaca Alquran itu dapat ditambah dengan penghayatan arti dan makna dari yang dibaca itu. Banyak sekali orang yang melakukan hal seperti ini.

Jadi, zikir itu pada awalnya berasal dari keinginan manusia untuk mengingat betapa besarnya kasih sayang Tuhan yang telah dianugerahkan-Nya tanpa Tuhan meminta balasan dari manusia. Zikir itu sebenarnya menyebut-nyebut nama dan sifat agung Tuhan yang senantiasa memelihara, menjaga, mempehatikan, dan banyak pemberian-Nya sehingga kita tidak akan mampu menghitungnya. Zikir kepada Allah itu merupakan getaran jiwa – yaitu apabila disebut nama-Nya dan diulang-ulang penyebutannya, dan bila diresapkan atau diperhatikan dengan baik ciptaan-Nya.

Surah 8 Al-Anfal 2: “Sesungguhnya orang-orang beriman adalah mereka yang apabila disebutkan nama Allah bergetarlah jiwa (hati) mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”. Kita mungkin pernah merasakan getaran itu, karena kita punya potensi dalam batin kita. Persoalanya adalah bagaimana mengembangkan potensi itu dan kemudian mengondisikannya secara terus-menerus.  (Bersambung)

Penulis: Dr. Asep Usman Ismail (Sumber: Panjimas, Juli 2003).

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading