Relung

Kembali ke Zaman Negara Otoritarian?

Akhir-akhir ini istilah “Islam radikal” kembali mencuat, seiring dengan munculnya gerakan protes terhadap pemerintah yang terkait dengan produk perundang-undangan yang dianggap bermasalah. Seperti RUU KUHP yang dianggap  mengancam hak privasi dan demokrasi, dan revisi UU KPK yang ditengarai melemahkan pemberantasan rasuah itu . Tidak sedikit kalangan yang menuduh bahwa akasi yang tak urung mengarah kepada Presiden Jokowi itu ditungangi oleh elemen-elemen Islam radikal, di antaranya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).  

Sebagai sebuah istilah, Islam radikal muncul setelah reformasi dan merujuk pada kehadiran ormas-ormas seperti Front Pembebasan Islam (FPI), HTI, Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Waljamaah yang lebih populer dengan sebutan Laskar Jihad, Majelis Mujahidin, Ikhwanul Muslimin, dan lain-lain. Beberapa tahun lalu di antara ormas-ormas itu sempat dikabarkan akan membentuk Partai Islam Radikal Indonesia alias PIRI.

Apa yag disebut “Islam radikal” sesungguhnya sinonim belaka dari istilah serupa yang juga dulu populer, seperti “Islam fundamentalis” atau “Islam ekstrem”. Ini sejatinya tidak baru-baru amat, karena para pemimpin gerakan ini menyatakan, bahwa mereka hanyalah meneruskan perjuangan para pendahulu yang  mencita-citakan negara Islam seperti Kartosuwirjo, atau melanjutkan Piagam Jakarta yang berisi ketentuan mengenai pelaksanaan syariat Islam. Untuk perjuangan yang disebut terakhir ini antara lain muncul melalui slogan “ NKRI Bersyariah” yang diusung oleh FPI.

Cita-cita negara Islam, yang antara lain diperjuangkan oleh HTI dengan gagasan khilafahnya, seungguhnya tidak berbeda dengan cita-cita menegakkan syariat Islam. Yang pertama adalah wadah atau alatnya, sedangkan yang kedua adalah substansinya. Dengan demikian, negara yang melaksanakan syariat Islam boleh dikatakan negara Islam. Untuk melaksanakan cta-cita ini, bisa ditempuh melalui dua cara: merebut  kekuasaan seperti yang dilakukan Kartosuwirjo dengan DI/TII-nya, bisa juga melalui prosedur demokrasi seperti yang dilakkan parta-partai Islam di tahun 1950-an.

Boleh dikatakan, tidak ada partai Islam yang secara resmi ingin memperjuangkan Piagam Jakarta, apalagi mendirikan negara Islam. Sementara  itu, belum ada dorongan kuat di antara gerakan-gerakan Islam radikal itu untuk menggabungkan diri dalam sebuah perkumpulan partai politik. Atau dengan kata lain, mengikuti prosedur demokrasi. Pada sebagian mereka, demokrasi merupakan sistem politik yang berasal dari luar Islam. Mereka melihat Islam dan demokrasi secara saling berhadapan. Sumber kekuasaan demokrasi adalah rakyat, sedangkan Islam memandang kekuasaan berasal dari Tuhan.

Itulah perbedaannya dengan pandangan sebagian besar kalangan muslimin Indonesia yang mengikuti prosedur demokrasidan mengakui kedaulatan rakyat, berdasarkan prinsip syura. Kalangan yang disebut Islam moderat ini, antara lain direpresentasikan oleh NU dan Muhammadiyah, percaya bahwa demokrasi  bukan hanya kompatibel dengan Islam, tapi bahwa di dalam ajaran Islam itu sendiri terkandung prinsip dan nilai-nilai demokrasi. NU maupun Muhammadiyah, keduanya menolak penghidupan kembali Piagam Jakarta. NU bahkan punya slogannya sendiri, NKRI harga mati.

Tetapi, sungguh gegabah jika setiap gerakan menentang kebijakan pemerintah, serta merta dicurigai sebagai disusupi atau ditunggangi oleh kelompok Islam radikal; atau jika ada aktivis muslim yang menentang atau mengeritik pemerintah dengan mudahnya dituduh Islam radikal. Jika ini yang terjadi, sesungguhnya kita  tengah kembali ke era otoritarianisme

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda