Niatan untuk hanya mencari titik-titik lemah agama lain sama buruknya dengan sikap keras kepala yang mengingkari pengakuan positif kita kepada ajaran yang memancing rasa hormat kita dari agama lain.
Dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Pengasih
Segala puji bagi Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam
Maha Pemurah, Maha Pengasih
Pemilik Hari Pembalasan
Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan
Tunjukanlah kami jalan yang lempang
Jalan orang-orang yang Engkau beri anugerah, bukan mereka yang kena murka, bukan pula mereka yang sesat.
Mungkinkah saudara-saudara yang berada di luar Islam, yang hanya mengenal agama ini lewat, misalnya saja, kegemaran membaca, berdiskusi, atau studi, mampu mengapresiasi Alquran seperti yang dilakukan para muslimin, yang mengagungkannya bukan sekadar sebagai kitab pegangan, melainkan juga, disadari maupun tidak, penubuh keindahan?
Asal tidak ada tuntutan pengakuan iman, jawabannya: ya. Berikut ini satu pembicaraan, dari satu sisi, tentang apresiasi agama lintas umat. Orang bisa saja menghormati, dan memuliakan, suatu ajaran dari agama yang tidak dia peluk, baik yang menyangkut keindahannya maupun isinya, baik yang bertentangan (meskipun ini teoretis jatrang) maupun, idealnya, yang sejalan dengan ajaran agamanya sendiri.
Tapi orang juga bisa datang dengan sikap tak tulus. Pandangan kritis selalu terpuji, juga keterusterangan bahwa kita tak bisa menyetujui sebuah ajaran yang dari satu segi kita hormati. Tetapi niatan sejak semula untuk hanya mencari titik-titik lemah agama lain sama buruknya dengan sikap keras kepala yang mengingkari pengakuan positif kita kepada ajaran yang memancing rasa hormat kita dari agama lain.
Dan yang tidak kurang parah dari itu adalah semangat seorang “pengguna”. Ia dapat saja menguasai banyak ilmu Islam, dan mungkin meresapkan keindahan Alquran, toh ia bisa hanya, boleh dengan senyum simpul, merasa punya cukup banyak bekal untuk melaksanakan tujuan yang sudah digariskannya sejak mula, yang bukan tujuan iman seperti yang dimiliki para pemeluk.
Dua dari kelompok-kelompok yang tersebut itu kita berikan contohnya di bawah ini. Pertama adalah seorang nonmuslim yang mengapresiasi surah Fatihah dari segi kandungan dan kaidah keindahan, tetapi yang di kalangan Islam justru menimbulkan pertanyaan mengenai ketulusan hatinya. Ini kita ambil dari ilustrasi yang diberikan penulis Tafsir Al-Manar, Saiyid Muhammad Rasyid Ridha, yang menuturkan ihwal seorang evangelis dari satu himpunan misionaris Inggris-Amerika, yang secara menarik menilai surah Al-Fatihah dan memberikan sebuah “bandingan”
“Fatihah Bandingan” Itu
Kita ketahui bersama, bagi orang islam, Alquran adalah kalam yang paling plastis dan paling fasih. Ayat-ayat seperti Q. 2:23, 4:82, 16:102-103, 21:5, 36:69, 37:36, 52:30, 69: 40-41, 72:1 adalah klaim yang memperkuat kenyataan itu bagi para muslmin.
Dan di antara seluruh Quran, Al-Fatihah disepakati sebagai yang paling atas dari segi fashahah dan balaghah (kefasihan dan plastisitas) yang dimaksudkan, di samping dari segi makna.
Tapi itulah yang tampaknya ingin dipatahkan oleh penulis dari kalangan di atas, yang oleh Rasyid Ridha dikutip dari penerbitan mereka yang berbahasa Arab. Di situ, seperti yang disimpulkan Rasyid, ia justru menilai jauhnya Al-Fatihah dari mutu balaghah yang sudah disebut. Alasan: semua kalimat sesudah shirathal mustaqim, katanya, sebenarnya hanya pemanjangan dan kebertele-telean (hasywun wa tahshilu hashil) yang pleonastis atau redundan alias mubazir, sementara semua yang sebelum shiratal mustaqim sebenarnya “bisa disingkat tanpa kehilangan butir makna”.
Tidak apa, kalau argumennya bagus. Tapi, menarik, kemudian sang penulis mengusulkan teks “Al-Fatihah bandingan”. Begini:
Alhamdu lir-rahmaan
Rabbil akwaan
Al-malikid daiyaan
Lakal ‘ibadaatu wa bikal musta’aan
Ihdinaa shiratal iman
Segala puji bagi Yang Rahman
Tuhan seluruh alam kejadian
Raja yang membuat perhitungan
Bagimulah ibadah dan kepadamulah yang dimohoni pertolongan
Tunjukkan kami jalan iman
Andai saja, kata si pengarang yang tidak mencantumkan namanya itu, Al-Fatihah “digubah” seperti yang dituliskannya di atas, sudah kelihatan ia menjadi “singkat-padat”, sementara mengandung seluruh makna, terhindari dari kelemahan susunan dan sisipan, dan bersih dari “kalimat-kalimat tidak berharga seperti yang ada di antara ar-rahman dan nasta’in.”
Luar biasa. Padahal Pembaca bisa membandingkan sendiri kandungan makna dalam karangannya yang singkat, cukup enak, tetapi miskin (dan karena itu tidak padat) itu dengan yang dimuat Al-Fatihah, yang mengandung pokok-pokok ajaran yang hanya tidak dipahami oleh penulis bersangkutan. (Bersambung)
Penulis: Syu’bah Asa (Panjimas, September2003).