Allah SWT, setelah mengeluarkan SK (takdir dan keputusan), hanya menerima hamba-Nya yang kembali dengan hati yang utuh. SK-nya dalam surah Asy-Syu’ara ayat 89-90: “Orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih, dan di hari itu didekatkan surga kepada orang-orang yang bertakwa.”
Hewan tidak punya ruh. Ia hanya mempunyai hayat. Kita juga, ketika dalam rahim ibu, hanya mempunyai hayat, tapi setelah empat bulan kemudian mempunyai ruh. Berbeda dengan hewan, nah ruhnya apa, tidak ada manusia yang bisa tahu. Tapi kalau kita berbicara tentang jiwa, itu hal yang banyak diketahui orang. Ahli jiwa (psikolog) sebenarnya bukan ahli jiwa, tapi ahli dalam tingkah laku manusia –karena jiwa ini belum ada yang mengetahui seperti apa. Yang pasti kita tahu betul dalam jiwa kita itu ada sesuatu yang sangat menentukan, yaitu pikiran dan perasaan. Jadi pikiran dan perasaan inilah yang eksis dan merupakan inti dari isi hati manusia. Yang beriman itu pikiran dan perasaan, yang tidak beriman itu pikiran dan perasaan, yang menentukan baik atau tidak itu pikiran dan perasaan, yang dikatakan hati bersih itu pikiran dan perasaan yang bersih.
Jadi kalau dikatakan kerang di dasar laut, yang berharga mutiaranya — karena kulitnya dibuang. Nah, begitu pula badan diri kita ini seperti kerang. Badan ini hanya kulitnya, sedangkan mutiara manusia adalah jiwa. Jadi yang asli diri kita itu jiwa. Jadi manusia yang menyanyangi dirinya itu pasti menyayangi jiwanya, dan itu yang abadi. Segala yang asal kembali ke asal. Karena jasad kita terbuat dari sayur mayur, dari susu menjadi daging, yang asalnya dari tanah, maka akan kembali ke tanah. Nah, sedangkan ruh kita ini bukan dari tanah, tapi berasal dari Allah dan akan kembali ke Allah.
Nah, Allah SWT, setelah mengeluarkan SK (takdir dan keputusan), hanya menerima hamba-Nya yang kembali dengan hati yang utuh — jiwanya, bukan badannya. Itu sudah keputusan Dia. SK-nya lihat dalam surah Asy-Syu’ara ayat 89-90: “Orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih, dan di hari itu didekatkan surga kepada orang-orang yang bertakwa.”
Ayat ini mengandung arti bahwa “kembalinya manusia itu kepada-Ku (Allah), Aku hanya menerima apa isi hatinya. Aku hanya menerima mereka yang kembali dengan hati yang sehat.” Jadi, kalau begitu, apa ada hati yang berpenyakit? Jawabannya jelas ada, dan di Alquran banyak disebutkan: fi qulubihim maradhun. (“di hati mereka ada penyakit” – Q. 2:10; dst).
Dalam Alquran Allah menyebutkan ada tiga jenis jiwa manusia. Yaitu jiwa yang muthmainnah atau jiwa yang tenang dan damai. Coba kita lihat dalam Alquran: “Hai orang-orang yang jiwanya tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai, masuklah bersama hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” Saya kira ayat ini bahasanya manja betul, dari Allah kepada manusia. Tapi Allah berbahasa seperti itu bukan kepada manusia yang berhati putih dan berkulit hitam, berhidung mancung atau tidak. Bukan jasadnya yang dinilai, tapi hatinya yang tenang itu. Inilah kiranya yang orang-orang mukmin ingin mencapainya. Nah, jiwa yang muthmainnah itu yang bagaimana? Manusia diciptakan Allah setengah robot, jadi setengah diprogram, yang sebagian lain lagi. (Bersambung)
Penulis: Zein Alhady (Panjimas, 6-19 Februari 2003)