Abuya Dimyati atawa Mbah Dim menjadikan ngaji sebagai jalan hidupnya. Kiai karismatis dari Banten yang dipercaya memiliki karomah ini berguru kepada sejumlah ulama terkemuka di Jawa. Di pesantren-pesantren itu pula dia dipercaya mengajarkan berbagai kitab.
Menjelang pemilu tahun 1977 sejumlah ulama di Banten dianggil dan ditahan di Kodim setempat. Mereka dituduh melakukan subversi alias menghasut rakyat untuk melawan pemerintah. Salah satu kiai yang mengalami perlakuan represif adalah Abuya Dimyati dari Cidahu, Pandeglang. Kiai kharismatis ini ditangkap dan dipenjarakan menjelang Pemilu 1977. Dia ditangkap terkait dengan pernyataannya yang dinilai menyerang pemerintah dan Golkar. Sebelum menyampaikan khutbah Jum’at, Abuya Dimyati mengingatkan kepala desa setempat agar tidak menakuti-nakuti dan mengintimidasi masyarakat, salah satunya dengan menyatakan bahwa “Golkar itu pemerintah”. Abuya Dimyati menegaskan bahwa “Pemerintah adalah RI dan bukan Golkar”. Kurang lebih enam bulan Abuya berada dalam tahanan.
Selama berada dalam tahanan Abuya tetap menjalankan kegiatan rutinnya, berzikir, qiyamul lail, dan tetap memberikan pengajian rutin kepada para santrinya. Kok bisa, apakah Abuya dapat izin khusus untuk keluar dari tahanan dan memberi pengajian? Tidak rupanya. Sebab, sebagaimana dipercayai para santri dan jamaah pengajiannya, dia bisa keluar dari jasadnya, dan dalam waktu bersamaan bisa berada di lebih satu tempat. Ini memang salah satu karomah yang dimiliki oleh Abuya Dimyati, yang di Jawa Tengah atau Jawa Timur dipanggil Mbah Dim.
Dikisahkan, seorang kiai dari Jawa ziarah ke makam Syekh Abdul Qadir Jailani di Irak. Penjaga makam bertanya, dari mana dia berasal, dan dijawab dari Indonesia. Sang penjaga mengatakan, bahwa setiap malam Jumat ada seorang ulama dari Indonesia yang rutin ziarah, dan hanya duduk di depan makam. Para penziarah lain pun ikut diam sebagai tanda penghormatan. Ia lalu membaca Alquran, dan kemudian diteruskan oleh para penziarah lain. Kiai dari Jawa itu kaget, dan berniat menunggu sang ulama hingga malam Jumat. Benar, ternyata yang datang adalah Mbah Dim. Ketika pulang ke Jawa ia menceritakan kembali peristiwa pertemuannya dengan Abuya Dimyati, yang ternyata dalam waktu bersamaan sesungguhnya sedang memberikan pengajian di pesantrennya.
Muhammad Dimyati bin Muhammad Amin lahir di Pandeglang pada tahun 1911
Pesantrennya di Cidahu, Pandeglang, Banten, tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syariah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf.
Ribuan murid pernah belajar kepadanya, dari dalam maupun luar negeri. Majelisnya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim (Pandeglang), Abuya Mukri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syekh Nawawi al-Bantani.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol dan pondok-pondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, ia banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih dikenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’iannya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.
Meski menganut tarekat Syadizliyah, Abuya Dimyati sering mengatakan, “Thariqah aing mah ngaji!” Ngaji memang sudah menjadi jalan hidup Abuya Dimyati. Maka tidak heran jika mengatakan, “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur.”
Yang juga menarik dari Abuya Dimyati, dia tidak hanya mengajarkan kitab tetapi juga memberikan pelajaran seni kaligrafi atau khat. Ia mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jalli, naskhy dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu seni membaca Quran (qira’ah).
Abuya Dimyati wafat pada 3 Oktober 2003 dalam usia 78 tahun. Makamnya di kompleks Pesantren Cidahu, selalu ramai dikunjungi para peziarah dari beragai kota.