Orang yang sempurna tidak pernah menganggap kesuksesan sebagai satu kemenangan. Nabi pun meyakini benar kemuliaan yang diraihnya berkat an karena Allah. Bukan karena dirinya.
“Ya Rasulallah, kami mendengar sesuatu darimu yang tidak kami pahami,” kata para sahabat, begitu Nabi s.a.w. turun dari mimbar.
Rasulullah minta para sahabat mendekat ke tempat khutbah itu. “Kami pun serentak memenuhi panggilan beliau,” tutur Ka’b ibn Ujrah r.a., seperti diriwayatkan Al-Hakim. “Ketika Rasulullah menjejakkan kaki di undakan pertama mimbar, tiba-tiba beliau mengucap ‘amin’. Di undakan kedua beliau kembali mengucap ‘amin’. Begitu juga di undakan ketiga.”
“Jibril datang kepadaku,” kata Rasulullah, “dan berkata, .’Celakalah orang yang mengetahui bahwa bulan itu adalah bulan Ramadan tapi dosanya tidak diampuni.’ Aku mengucap’amin’.”
“Ketika aku naik ke undakan kedua,” Rasulullah melanjutkan ceritanya, “Jibril berkata lagi, ‘Celakalah orang yang mendengar namamu disebut, namun tidak bersalawat kepadamu.’ Aku pun mengucap ‘amin’.”
“Sewaktu di tangga ketiga Jibril berkata lagi, ‘Celakalah orang yang berbuat zalim kepada kedua orangtuanya atau kepada salah satunya, sehingga mereka memohon agar orang itu tidak masuk surga.’ Kembali aku mengucap ‘amin’.”
Ada sejumlah versi sehubungan dengan hadis seputar mimbar itu. Satu di antaranya seperti yag driwayatkan Baihaqi. Hadis ini menyebutkan bahwa Rasulullah baru saja selesai membuat mimbar. Lalu neliau memasang tiga anak tangga. Disebutkan pula Jibril a.s. sudah menaiki tangga, mendahului Rasulullah. Dan kurir yang bertugas menyampaikan wahyu itu pula yang menyuruh Nabi mengucapkan ‘amin’. Riwayat lai menyebutkan, Rasulullah mengucap ‘amin’ untuk yang pertama dan ketiga, meski Jibril tidak menyuruhnya. Sedang dalam hal salawat untuknya, Rasulullah menunggu instruksi sang malaikat.
Rasululah tidak segera mengucap ‘amin’ ketika malaikat mengatakan “celaka orang yang tidak bersalawat kepadamu,” kata Ibn Hajar al-Haitami, karena beliau tidak ingn memuliakan diri sendiri. “Orang yang sempurna tidak pernah menganggap kesuksesan sebagai satu kemenangan. Beliau meyakini benar kemuliaan yang diraihnya berkat dan karena Allah. Bukan karena dirinya.”
“Innallaha wa malaikatahuu yushaluuna ‘alan nabiy. Ya ayyahulladziina aamanu shallu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa (Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat atas Nabi. Hai orang-orang yang beriman bersalawatlah untuknya dan ucapkanlah salam penghormatan untuknya). Begitulah, surah Al-Ahzab ayat 56 ini selalu kita dengar dari khutbah Jumat. Jadi, orang yang celaka lantaran tidak bersalawat kepada Nabi bukan karena melangkahi kehormatannya, melinkan karena melanggar perintah Allah. Maka inilah cerita Al-Hasan al-Bashri yang didatangi seorang perempuan.
“Syekh, putriku telah meninggal,’ katanya. “Aku ingin sekali bertemu walau hanya dalam mimpi.”
Al-Hasan menasihati dia sembahyang empat rakaat setelah salat isya. Setiap rakaat membaca Al-Fatihah dan At-Takatsur. Lalu duduk sambil membaca salawat sampai terlelap. Perempuan itu pun menuruti advis Syekh. Hanya, dalam mimpinya ia melihat sang putri amat menderita karena mendapat azab.
Dirundung sedih, perempuan itu menceritakan mimpinya kepada Al-Hasan. Tabi’i kelahiran Madinah yang bermukim di Basrah itu kemudian menyuruh bersedekah atas nama anaknya. “Mungkin dengan amal kebajikan itu Allah SWT berkenan mengampuni dosa-dosanya,” kata Al-Hasan.
“Tahukah Bapak, siapa aku?” tanya seorang gadis. “Saya anak perempuan yang mendatangi Bapak tadi siang.”
“Bagaimana mungkin?” jawab Al-Hasan. “Ibumu bercerita keadaanmu tidak seperti ini.”
“Cerita Ibu benar.”
“Lantas, apa yang membuatmu terbebas dari azab?” Orang tua itu mungkin berpikir, ibu anak itu paling tidak baru besok melaksanakan sarannya.
“Sebenarnya, saya tidak sendiri, Pak,” kata gadis itu. “Ada tujuh puluh ribu lainnya yang diazab bersama-sama saya. Namun mendadak ada orang salih yang melintasi kubur kami. Ia membaca salawat kepada Rasulullah dan memberikan pahalanya kepada kami. Allah mengabulkannya. Dia membebaskan kami semua dari azab yang kami jalani. Ya, seperti yang Bapak lihatlah, sekarang saya dalam keadaan senang.”
Malam itu Al-Hasan memang mimpi bertemu dengan seorang gadis cantik jelita, wajahnya bersri-seri. Tidak diceritakan, apakah emaknya, yang dua kali menemuinya, sudah tahu