Ads
Tasawuf

Gergaji, Cangkul dan Palumu adalah Tasbihmu

Bagi orang-orang yang bertakwa, kesehatan lebih baik dari kekayaan, dan lapang dada lebih baik dari segala kenikmatan. Tapi  bukan kehidupan berat yang diharapkan.

Bertutur seorang sahabat, “Ketika kami duduk, datang Nabi s.a.w. menghampiri, dan tampak bekas air di kepala beliau.”

“Ya Rasulallah, kami melihat Anda berhati lapang,” mereka berkata.

“Tentu,” Nabi menjawab.

“Kemudian kami berbicara tentang kekayaan,” sahabat itu menambahkan.

“Tidak mengapa kaya jika kalian bertakwa kepada Allah. Tapi bagi orang-orang yang bertakwa, kesehatan lebih baik dari kekayaan, dan lapang dada lebih baik dari segala kenikmatan.”

Kebahagiaan memang tidak terletak pada keberlimpahan harta, tapi pada kelapangan dada. Bukankah orang-orang yang sengsara, hidup tersiksa, adalah mereka yang sesak dada?

Menurut Ibn ‘Athailah as-Sakandari, orang yang bakal memetik kebahagiaan dan yang akan menuai kesengsaraan bisa dilihat dari kecenderungan jiwa mereka masing-masing. Jika melihat orang bermaksiat, yang pertama akan mengingkari perbuatan itu, lahir maupun batin. Dia akan berdoa agar orang itu diampuni dan diterima tobatnya, serta dibimbing taat. Sedangkan orang yang akan sengsara secara lahir mengingkari perbuatan dosa itu, tapi diam-diam merasa senang dan ingin keburukan orang itu diketahui orang banyak. Bahkan, kalau perlu, ia sendiri yang akan merusak kehormatannya. “Padahal mukmin harus selalu menasihati saudaranya, di saat sendiri atau jauh dari penglihatan orang, dan ia tutup aib saudaranya itu di hadapan manusia. Lalu membimbingnya ke jalan yang benar,” kata As-Sakandari.

Bukan Kehidupan yang Berat

Syahdan, harta yang diperlukan mukmin untuk mencapai kebahagiaan adalah yang mencukupi dirinya sehingga tidak perlu meminta-minta. “Barangsiapa yang pagi harinya merasa aman di tengah kaumnya, sehat tubuhnya dan memiliki pangan untuk hari itu, ia seakan memiliki dunia dan segala isinya.” (Hadis riwayat Bukhari).

Ketka diputuskan khalifah harus bergaji, Abu Bakr berkata, “Berilah aku gaji menurut kehidupan menengah orang Quraisy. Bukan yang terendah, bukan yang tertinggi.” Maklumlah, di awal tugasnya, khalifah pertama ini tidak berhonor, sampai-sampai untuk memenuhi kebutuhannya bapak ini jadi buruh peras susu. Mu’awiah, itu khalifah kocak berperut gendut, pernah berkata: “Abu Bakr tidak menghendaki dunia, dan dunia pun tidak menghendakinya. Sedangkan Umar, dunia menghendakinya tetapi dia tidak menghendaki. Adapun kami-kami ini bergelimang dalam kesenangan dunia dengan punggung dan perut kami.”

Zaman Mu’awiah dan seterusnya adalah zaman makmur. Para penggeda dan keluarga Istana hidup mewah. Itulah yanh kemudian menimbulkan oposisi sebagian ulama – dalam bentuk kehidupan zuhud. Pelopornya antara lain Al-Hasan al-Bashri. Kehidupan yang seakan meninggalkan dunia ini kemudian dijadikan jalan hidup orang tasawuf, meskipun di antara mereka ada yang mencoba “meluruskan” sikap berlebih-lebihan itu. Berkata Syekh Ibrahim Al-Khawwas: “Alangkah indahnya kehidupan ini bila seorang penggergaji menjadikan gergajinya tasbih, jika petani menjadikan cangkulnya tasbih, jika pandai besi menjadikan palunya tasbih.” (bisa diperpanjang dengan penanya, kalkulatornya, pc-nya, laptopnya, hp-nya, dan seteusnya).

Cara hidup Rasulullah dan para sahabat yang menjaukan dunia, dan rela dengan harta sedikit, memang tidak wajb diikuti seluruh muslimin. Sebab yang diharapkan bukanlah kehidupan yang berat, tetapi bagaimana orang mengikuti tauladan mereka, trutama para pemimpin. Bukankah pula, orang yang dianugerahi harta, jika bertakwa, lebih utama dari yang tdak berharta?

Suatu hari, Rasulullah s.a.w. kedatangan orang-orang misikin dari kaum Muhajirin. Mereka berkata, “Ya Rasulallah, orang-orang kaya itu sudah  lebih dulu sampai pada kedudukan tinggi serta kenikmatan yang langgeng.”

“Ada apa dengan mereka?” tanya Rasulullah.

“Mereka bisa salat seperti kami, berpuasa seperti kami, bisa bersedekah, sementara kami tidak. Mereka bisa memerdekakan budak. Kami tidak.”

“Bukankah aku pernah mengajarkan kepada kalian sesuatu yang dengan itu kalian bisa mengejar orang yang mendahului kalian, dan bisa pula mendahului orang yang datang setelah kalian? Tidak ada yang lebih utama dari kalian, kecuali ia yang melakukan  yang kalian lakukan.”

“Tentu, ya Rasulallah,” jawab mereka.

“Bertasbih, bertakbir dan  bertahmidlah kalian, 33 kali sesudah salat.”

Berkata Abu Shalih, yang meriwayatkan hadis ini dari Abu Hurairah, orang-orang itu kembali menghadap Rasulullah dan berkata, “Para pemilik harta itu mendengar apa yang kami lakukan.”   

Rasulullah s.a.w. menjawab: “Itulah anugerah Allah. Dia memberi siapa yang Dia hendaki.” (H.r. Bukhari dan Muslim).

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading