Jangankan orang luar, warga Nahdliyin pun tidak banyak yang tahu pendiri NU yang seorang ini. Kiai Abdul Chalim Majalengka, memang hanya tercatat di arsip dan jarang dibicarakan di lingkungan organisasi kaun tradisi itu. Padahal dia juga pejuang kemerdekaan.
Satu di antara delapan kiai pendiri Nahdlatul Ulama adalah KH Abdul Chalim dari Leuwimunding, Majaengka, Jawa Barat. Tapi tidak banyak orang yang mengenal tokoh ini, bahkan dari kalangan warga NU sekalipun. Namanya hanya tercatat di arsip, jarang dibicarakan dalam sejarah grakan organisasi yang turut didirikannya itu. Nama Abdul Chalim Leuwimunding mulai muncul ke ermukaan setelah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menziarahi kuburnya di tahun 2003.
Syahdan, pada awal 2003 sejumlah pengurus dan anggota Banser NU Majalengka bersilaturahim ke Gus Dur di kediamannya di Ciganjur. Ternyata mereka harus menunggu beberapa hari karena waktu itu mantan Ketua Umum PBNU dan Presiden ke-4 ini belum pulang dari mancanegara. Waktu Gus Dur menerima mereka, Gus Dur bertanya dari mana para tamunya itu. Ketika diberi tahu bahwa mereka u dari Leuwimunding, Majalengka, Gus Dur pun kaget. “Leuwimunding? Saya punya guru di sana, sudah wafat memang. Namanya Kiai Abdul Chalim,” kata Gus Dur, yang kemudian mengagendakan untuk berziarah le makam KH Abdul Chalim. Dalam sambutannya sekitar 45 menit di depan warga Leuwimunding di area makam Kiai Chalim, Gus Dur mengemukakan peran besar Kiai Chalim di masa sebelum berdirinya NU, saat pendirian, dan dalam perkembangan NU.
Abdul Chalim lahir tahun 1898. Ia putra tunggal seorang kuwu di Majalengka. Abdul Chalim menimba ilmu di Pesantren Trajaya Majalengka, Pesantren Kedungwuni Kadipaten dan Pesantren Kempek Cirebon. Pada usia 16 tahun (1914), Abdul Chalim menunaikan ibadah haji dan bermukim selama beberapa tahun untuk memperdalam ilmu agamaya. Ia menimba ilmu secara langsung dari Abu Abdul Mu’thi, Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani. Ketika menuntut ilmu di Mekah, ia bertemu dengan berbagai ulama dari Indonesia yang kemudian menjadi teman sekaligus gurunya. Salah satu di antara ulama yang paling akrab adalah K.H. Wahab Chasbullah dari Jombang. Selain belajar, Abdul Chalim juga menjadi anggota sekaligus pengurus Sarekat Islam (SI) termuda di Hijaz. Saat itu SI sering menentang kebijakan pemerintah penjajahan Hindia Belanda di Nusantara yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan sangat merugikan rakyat.
Selama menuntut ilmu di Mekah, Abdul Chalim menunjukkan sifat moderat dan berjiwa besar. Ia sempat mendamaikan seniornya yang tengah berkonflik, yaitu K.H. Wahab Chasbullah Jombang dan K.H. R. Asnawi Kudus. Ia suka ditegur gurunya, K.H. Wahab Chasbullah, karena suka menyanyikan lagu Pasundan ketika sedang mengulang pelajaran.
Pada tahun 1917, Abdul Chalim embali ke Tanah Air. Di desa kelahirannya, Kiai Chalim membantu ayahnya yang menjadi kepala desa. Berkat pendidikannya dan pengetahuannya yang luas, beliau bahkan diminta membantu kegiatan ayahnya dalam urusan kemasyarakatan sebagai jurutulis Wedana Leuwimunding. Ketika ayahnya wafat pada 1921, Kiai Chalim putar haluan terjun ke dunia pendidikan.
Suatu hari, ketika hatinya gelisah Abdul Chalim teringat teman dan sekaligus gurunya Kiai Wahab. Maka, Pada tahun 1922 Abdul Chalim ditemani saudara iparnya, Abdullah, kemudian pergi ke Surabaya, dengan berjalan kaki selama 141 hari, untuk bergabung dengan teman-teman seperjuangannya. Ia bertemu kembali dengan K.H. Wahab Chasbullah senior sekaligus gurunya selama di Mekah, dengan bantuan Kiai Amin Peraban di Surabaya. Ia kemudian mengajar di Nahdlatul Wathan di kampung Kawatan VI Surabaya. Ia juga dipercaya sebagai pengatur administrasi dan inisiator kegiatan belajar mengajar serta menyelenggarakan forum diskusi. Abdul Chalim menjadi asisten K.H. Wahab Chasbullah. Melalui aktivitasnya di Nahdlatul Wathan, ia juga menerapkan gagasan keagamannya tentang interaksi sosial dan solidaritas politik serta kebangsaan dalam masyarakat. Selain aktif di Nahdlatul Wathan, ia juga tercatat sebagai pengajar di Tashwirul Afkar Surabaya. Sebagai seorang santri Pasundan yang pandai berkidung dan menguasai ilmu Balaghah (sastra Arab), Abdul Chalim banyak menggubah syair berbahasa Arab untuk menyemangati perjuangan santri yang tergabung di dalam Nahdlatul Wathan.
Pada tahun-tahun 1920-an itulah ia ikut aktif dalam perbincangan serius menyangkut pentingnya sebuah perkumpulan yang menjamin pelaksanaan faham Ahhlus Sunnah Wal Jama’ah hingga kemudian melahirkan Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Itu terjadi terutama setelah perubahan politik besar terjadi di Hijaz dengan berkuasanya Abdul Aziz bin Saud yang didukung kaum Wahabi, yang berkeinginan untuk melenyapkan tempat atau kepercayaan yang dianggap bid’ah dan musyrik. Termasuk Makam Nabi Muhammad SAW. Dalam kepengurusan pertama PBNU, Kiai Chalim dipercaya untuk memegang jabatan sebagai Wakil Katib atau Katib Tsani. Kiprah Kiai Chalim tetap tinggi pada tahun-tahun setelah lahirnya NU pada 1926. Hampir semua Kongres NU dihadiri, kecuali saat penjajahan Jepang ketika NU dibekukan.
Selama mengabdi di Surabaya, Abdul Chalim sering pulang ke Majalengka untuk menyampaikan kabar terbaru dari Surabaya yang saat itu merupakan pusat perjuangan kaum santri dalam membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan. Ia sering mendatangi rumah-rumah penduduk untuk menyrbarkan paham Ahlussunnah Waljamaah, Ia juga suka membagi-bagikan gambar dan surat kabar Swara Nahdlatoel Oelama kepada masyarakat di daerah Majalengka dan sekitarnya.
Pada tahun 1942 ketika ormas-ormas Islam dibekukan oleh pemerintah pendudukan Jepang, Abdul Chalim mendapat dua tantangan besar di daerahnya yaitu intervensi Jepang kepada para pemuda untuk bergabung dalam pasukan militer Jepang dan ketertarikan para pemuda untuk menjadi komunis. Dalam situasi inilah Abdul Chalim membentuk Hizbullah cabang Majalengka bersama K.H. Abbas Buntet Cirebon. Hizbullah Majalengka kemudian bersatu bersama dengan kelompok-kelompok pejuang lainnya, baik dari laskar-laskar santri maupun laskar-laskar pemuda lainnya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Tahun 1955, KH Abdul Chalim ia menjadi anggota DPR dari partai NU, perwakilan Jawa Barat, sekaligus anggota Konstituante. Perjuangan Abdul Chalim lebih dikhususkan pada pemberdayaan warga NU Jawa Barat dengan membentuk berbagai wadah pemberdayaan masyarakat seperti Persatuan Petani NU (Pertanu) U, Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) dan lembaga pendidikan NU di Jawa Barat lainnya.
Pada 11 April 1972, Abdul Chalim meninggal dunia selepas menunaikan shalat, Ia dimakamkan di kompleks Pesantren Sabilul Chalim Leuwimunding, Majalengka. Namanya kini diabadikan dalam sebuah lembaga pendidikan yaitu Institut KH Abdul Chalim (IKHAC) di Mojokerto, Jawa Timur, yang dipimpin salah satu putranya, Dr. KH Asep Saifuddin Chalim, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah