Ads
Cakrawala

Mendialogkan Gagasan Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Oleh Kiky Ramadhani

Karut marut hubungan antar golongan menjelang dan sesudah Pemilu 2019, memunculkan dugaan adanya salah persepsi dalam meramu pendekatan yang digunakan. Khususnya dalam membangun ide-ide bersama tentang wawasan kebangsaan.

Pendekatan yang dilakukan dengan menggunakan jargon negara kesatuan dan wacana kebutuhan deradikalisasi bagi satu golongan besar mayoritas muslim, menimbulkan resistensi dan ketersinggungan atas tuduhan-tuduhan intoleransi dan anti kebhinekaan.

Pola-pola yang digunakan, cenderung membuat segregasi sosial semakin parah dan tidak menemukan titik pijak yang produktif. Apalagi sebagai obat untuk mendamaikan dua kubu yang terlanjur terpecah. Antara kubu yang disebut kaum muslim–yang dituduh menjadi semakin radikal–dan kubu nasionalis sekuler yang tengah berkuasa. Terlebih, pihak-pihak yang berhadapan sedang berada dalam kontestasi sengit dua kubu politik pada pemilihan presiden 2019.

Padahal, jika merujuk sejarah perjalanannya, sebenarnya tidak pada tempatnya untuk menjadikan kaum muslim di Indonesia sebagai sasaran kampanye kebencian politik. Terlalu ahistoris jika mengenyampingkan sejarah perlawanan kerajaan-kerajaan muslim di Nusantara terhadap kolonialisme Belanda, perlawanan ekonomi, budaya dan politik Sarekat Dagang Islam (SDI) dan Sarekat Islam (SI) terhadap politik imperialisme, dan rentetan perlawanan politik dari berbagai golongan dan aliran kaum muslim Indonesia masa pra kemerdekaan.

Meski terjadi berbagai peristiwa atau gesekan politik pada masa pasca kemerdekaan antara muslim dan nasionalis, tetapi menjadi terlalu simplistis ketika politik hantam kromo dilakukan, terlebih bagi kepentingan-kepentingan jangka pendek pemenangan pemilu, misalnya.

Resistensi yang terjadi dari pihak yang dipojokkan, barangkali dapat dijadikan bahan perenungan atas apa yang dapat dipahami jika memandang penolakan kuat itu dari kacamata kebudayaan.

Budaya sebagai suatu cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi, diakui atau tidak, kental mewarnai perjalanan kesejarahan kaum muslim Nusantara.

Memahami budaya kaum muslim di Indonesia, harus berangkat dari sebagian besar budaya daerah yang justru terbangun dari ajaran luhur agama samawi yang hidup dan berkembang.

Di Aceh, tari Saman yang semula bernama Pok Ane dikembangkan oleh Syeikh Saman, adalah seni tari yang kemudian berkembang menjadi media dakwah yang berisi pesan dan nasehat tentang pendidikan, sopan santun, keagamaan, kepahlawanan, kebersamaan dan kekompakan. Begitu pula dengan tari Seudati juga berisi pesan dakwah, kekompakan dan keberanian/kepahlawanan.

Di ranah Minang, adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah, menjadi jiwa dan nafas adat kehidupan masyarakat Minangkabau. Termasuk juga di dalamnya jiwa kepahlawanan yang bersendikan ajaran jihad. Namun, dengan berbasiskan literasi ajaran agama, masyarakat Minang berkembang menjadi masyarakat intelek yang memunculkan banyak tokoh agama dan pemikir bangsa.

Begitu pula dengan adat dan budaya yang terbangun pada masyarakat Lampung. Filsafat hidup yang menjadi sendi adat Lampung adalah Piil Pesenggiri. Kata Piil itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘perilaku’ dan Pesenggiri berarti keharusan bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri serta tahu akan berbagai kewajibannya. Jika kedua istilah itu disatukan, maka filsafat hidup tersebut dapat dimaknai “keharusan berperilaku sopan santun atau bermoralitas, serta berjiwa besar, dan memahami kedudukannya di tengah-tengah makhluk kesemestaan lainnya”.

Lain lagi pada masyarakat Gorontalo, pengaruh kebudayaan Arab dan Islam menjadi pengaruh paling kuat yang diterima oleh masyarakat Gorontalo. Selain budaya Melayu dan Tiongkok. Karenanya, bumi Gorontalo sering disebut dengan “Bumi Serambi Madinah”, karena masyarakatnya memegang teguh ajaran Islam dalam praktek hidup keseharian. Di daerah lainnya khususnya yang mayoritas muslim apalagi di Jawa, barangkali tidak perlu disebutkan di sini berbagai bangunan adat yang mempunyai pijakan ajaran Islam.
Demikianlah, bangunan besar dari sistem budaya yang dibangun oleh sendi-sendi ajaran agama langit, menjadi basis bagi bangunan budaya bebagai daerah di Nusantara. Dikhawatirkan, resistensi yang amat kuat dari kalangan muslim Indonesia terhadap tuduhan-tuduhan intoleran, anti kebhinekaan dan anti NKRI adalah ketersinggungan atas kesalahpahaman yang terjadi terkait marwah sebenarnya dari kandungan adat budaya berbagai daerah Nusantara.

Sistem kebudayaan dan kearifan lokal yang terbangun dari adat budaya keseharian kaum muslim di Indonesia, menjadi amat lucu jika dikaitkan dengan tuduhan-tuduhan miring terhadap kaum muslim, terkait wawasan kebangsaan. Hal mana justru adat budaya yang menjadi core dari kebudayaan daerah, justru secara inheren terbangun dari ajaran agama Samawi, yang memperkuat basis wawasan kebangsaan.

Penulis adalah pemerhati sosial pokitik

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda