“Tampaknya bangsa ini sedang kesandung oyot mimang” celetuk seorang kawan seusai menghadiri dialog dengan beberapa pakar keIndonesiaan; yang menurut saya pribadi, pada dasarnya justru tidak pernah jelas juga letak keIndonesiaannya, kecuali penguasaannya atas sekian data atau mungkin fakta, itu pun yang sudah dibaca dalam framing disiplin ilmunya yang hampir pasti tidak bebas nilai.
Tapi fokus kita kali bukan itu, tapi tentang perumpaan ‘kesandung oyot mimang’ yang dipakai kawan saya. Oyot mimang atau akar mimang adalah sejenis akar tumbuhan yang dipercaya punya daya magis. Konon orang yang tersandung akar ini akan berputar-putar di sekitar akar tersebut. Kemanapun arah dia berjalan, pada akhirnya akan selalu kembali ke tempatnya semula.
Di Jawa misalnya, kepercayaan ini sedemikian kuat sehingga istilah ‘tersandung akar mimang’ secara konotatif acap dipakai untuk menyebut orang yang kebingungan mencari jalan keluar bagi masalahnya.
Tentang bagaimana situasi ‘tersandung akar mimang’ itu, seorang kawan saya yang lain, yang kebetulan seorang tentara, pernah bercerita tentang pengalamannya tersesat di tengah hutan. Semula ia dan pasukannya heran, karena setiap kali berjalan untuk keluar hutan, selalu saja kembali ke tempat semula.
Dan itu terjadi berulang-ulang, sehingga kawan-kawan sepasukannya mulai terlibat dalam perdebatan yang makin lama makin sengit. Mulai dari masalah kompas yang dianggap bermasalah, pembacaan kompas yang dicurigai keliru, pencari jalan yang dituding teledor sampai dengan komandan yang dinilai agak ngawur dalam menentukan pilihan.
Yang membuat mereka tak habis pikir, begitu katanya, setiap kali berjalan mereka selalu yakin seyakin-yakinnya bahwa arah yang mereka tempuh sudah benar menurut kompas dan petunjuk-petunjuk lainnya. Tapi kenyataannya mereka tak pernah keluar dari hutan, tapi tetap saja kembali ke tempat semula.
Melihat gejala perjalanan yang aneh tersebut, kawan saya mulai berpikir: jangan-jangan mereka tersandung akar mimang. Tak semua kawan sepasukannya percaya hal tersebut, sebagian malah menertawakannya.
Tentu saja kawan saya ketakutan. Penyebabnya: konon mereka yang tersandung akar mimang semakin lama akan semakin panik dan akhirnya malah seperti kesetanan untuk mencari jalan keluar. Tentu saja ini bukan saja menguras tenaga, tapi juga pikiran dan secara psikologis sangat menekan. Itu sebabnya, menurut kepercayaan di masyarakat, tersandung oyot mimang berpotensi menyebabkan kematian; karena kehabisan tenaga dan kelaparan.
Cerita inilah yang terlintas di ingatan ketika mendengar celetukan kawan saya tadi. Jangan-jangan memang benar: bangsa kita memang sedang tersandung akar mimang?
Lihat saja di lapangan, semua orang seperti sedang sibuk menyelesaikan sesuatu, tapi di akhir cerita kita selalu disuguhi fakta: sesuatu itu ternyata masih tetap seperti sebelumnya, bahkan -tak jarang- malah jauh lebih ancur lagi. Atau, orang seperti menyelesaikan masalah dengan cara membuat masalah baru untuk menutupinya. Luar biasa.
Orang sibuk membuat program pengentasan kemiskinan, tapi orang miskin malah membengkak jumlahnya. Orang ribut memperbaiki perekonomian, tapi barisan penganggur malah semakin panjang dan pasukan yang menyandarkan hidup dari hutang makin berekor kemana-mana. Orang ramai mendeklarasikan perang melawan korupsi, tapi para koruptor malah makin bejibun. Dan seterusnya, dan sebagainya. Semua seperti jalan di tempat, atau bahkan mundur.
Sementara di sisi lain, kita juga melihat betapa masyarakat semakin terfragmentasi oleh jutaan kepentingan yang amburadul dan tidak jelas arah tujuannya. Orang seperti didorong untuk saling curiga, saling sikut dan saling serang; saling menghabiskan tenaga dan pikiran untuk sesuatu yang tidak jelas substansi dan tujuannya. Melihat semua ini, sepertinya kita memang benar-benar sedang tersandung akar mimang.
Ketika kawan tentara yang tersesat tersebut saya tanya tentang cara dia keluar dari ‘jebakan akar mimang’ di hutan; dia bilang “Cara yang diajarkan adalah mencari sungai terdekat, kemudian menyusurinya, sampai kita bisa keluar dari hutan. Tapi, itu saja tak cukup, karena kepanikan akan membuat orang tak jernih dan tak tepat mengambil putusan. Untuk mengatasinya, tak ada jalan lain, akhirnya kami memutuskan untuk berdoa sebisa-bisanya. Kami bertaubat dan memohon ampun pada Allah dengan setulus-tulusnya.”
Masalahnya: di dalam kaitan berbangsa dan bernegara, dimanakah letak ‘sungai terdekat’ yang kira-kira bisa digunakan untuk memandu kita keluar dari jebakan akar mimang tersebut? Ada yang berpendapat bahwa sungai terdekat itu adalah Pancasila dan UUD 45.
Tak semua setuju terhadap pendapat ini. Alasannya: UUD 45 sudah bermetamorfosa dan Pancasila malah berubah jadi jargon saja. Jangan-jangan, begitu menurut mereka, akar mimang kita justru berawal dari sana.
