Konon, sayyidina Ali pernah berpesan agar sepeninggalnya kelompok Khawarij tidak lagi diperangi. Alasannya: mereka sekadar pencari kebenaran yang tersesat. Seperti diketahui, Khawarij adalah pengikut sayyidina Ali yang berbalik memerangi beliau.
Ada dua sisi yang harus dipertimbangkan untuk memahami pesan ini. Pertama, pesan ini mesti dibaca sebagai ucapan khalifah (pemimpin pemerintahan) yang punya legalitas memerangi pemberontak.
Kedua, pesan ini sekaligus juga menyiratkan kekhawatiran: jangan-jangan setelah beliau, para pengikutnya salah mempersepsikan peperangan ini dan mengangkatnya menjadi persoalan keagamaan.
Sejak awal, perang tersebut memang bertujuan menumpas pemberontakan. Sama seperti perang Jamal di Shiffin -yang diotaki Thalhah dan Zubair dengan ‘Aisyah, janda Rasulullah, sebagai simbolnya- dan perang terhadap Mu’awiyah. Semua perang ini tidak bisa dibaca sebagai upaya menumpas paham keagamaan yang dianggap sesat.
Persoalan yang sama, sebelumnya juga ditunjukkan oleh khalifah pertama, Abubakar Ash-Shidiq, saat memerangi Musailamah yang mendakwakan dirinya sebagai nabi.
Perang ini juga bukan karena Musailamah -yang kemudian dijuluki al-kadzab, pendusta- mendakwakan dirinya sebagai nabi; tapi lebih karena Musailamah menyabot pajak yang harus diserahkan pada pemerintah pusat.
Sekadar catatan: selain Musailamah di Yamamah, ada juga Aswad bin Ka’ab al-‘Unsi di Yaman yang juga mengaku sebagai nabi. Mereka berdua sudah mengaku sebagai nabi bahkan di masa hidup nabi; dan tidak pernah kita dengar reaksi berlebihan Nabi Muhammad terhadap klaim kenabian mereka.
Yang kita tahu, Musailamah ditindak ketika mulai memberontak terhadap pemerintah pusat, sementara Aswad al-‘Unsi ditindak oleh gubernur Yaman dengan alasan yang sama, dan terbunuh tepat sehari sebelum wafatnya Rasul.
Contoh lebih telanjang bahkan bisa dilihat pada gradasi penyikapan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasalam terhadap kaum Yahudi yang tinggal di Madinah. Peperangan yang dilakukan Nabi terhadap mereka, jelas bukan karena ke-Yahudi-an mereka (baik sebagai ‘bangsa’ maupun sebagai ‘kepercayaan’); karena sebelumnya mereka diterima sebagai warga yang terikat dalam pakta hidup bersama di Madinah, tapi karena mereka terang-terangan mengkhianati pakta ini dan membantu musuh memerangi Nabi dan masyarakat Madinah yang ada dalam ikatan pakta tersebut.
Artinya, klaim yang kita anggap sebagai ‘keagamaan’ seperti yang kita pahami akhir-akhir ini, tidak pernah dipakai menjadi landasan permusuhan apalagi peperangan, paling tidak bagi generasi-generasi awal kaum muslimin. Catatan tentang peristiwa semacam ini sesungguhnya berlimpah dalam sejarah awal Islam.
Agama dan Negara
Benang merah yang bisa ditarik dari sedikit ilustrasi ini adalah kenyataan diakuinya garis batas yang tegas antara klaim ‘keagamaan’ sebagaimana kita maknai sekarang dengan klaim ‘kenegaraan’ juga dalam pemaknaan kita sekarang.
Agar tak terjadi kesalahpahaman, garis batas yang dimaksud di atas tidak bisa dan memang tidak boleh dibaca dalam kaca mata pemisahan ‘gereja’ dan ‘raja’ dalam sejarah Eropa, maupun sekulerisme yang belakangan berkembang dari Amerika.
Sebagaimana kita ketahui, dalam Islam ada dua pola hubungan bagi manusia: hablum minallah dan hablum minannas; hubungan dengan Allah (sering diasosiasikan dengan hubungan vertikal), dan hubungan dengan sesama manusia (sering diasosiasikan dengan hubungan horisontal). Pada dasarnya keduanya hanyalah dua sisi dari satu mata uang yang sama, perbedaannya hanya pada gradasi penerapannya. Nah, dalam pemahaman banyak orang modern, hanya hablum minallah sajalah yang dikategorikan sebagai ‘agama’, sementara hablum minannas sepenuhnya adalah mutlak kewenangan manusia, yang hasilnya berbentuk budaya dan peradaban, dimana negara dan pemerintahan ada di dalamnya.
Secara sederhana, gradasi penerapan yang membentuk benang merah yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa klaim negara lebih didasarkan pada konsensus-konsensus dalam proses hablum minannas. Konsensus yang oleh Al Qur’an secara kategoris meliputi pengertian ma’ruf, yang sudah diketahui atau diterima bersama; dan pengertian munkar, yang diingkari bersama.
Nah, semua tindakan hukum dan militer yang kita contohkan diatas, bisa diasumsikan diambil berdasar pertimbangan-pertimbangan kenegaraan, dan bukan berdasar pertimbangan ‘keagamaan’ dalam pengertian sempit seperti kita pahami sekarang. Karena kalau yang kita pakai adalah dalam pengertian ‘keagamaan’ seperti itu, kita justru akan berhadapan dengan doktrin yang jelas tentang ‘tak ada paksaan dalam beragama’ (QS 2: 256); dan “Kebenaran itu dari Tuhanmu; maka siapa ingin, silahkan percaya (beriman), dan siapa ingin, silahkan juga menolak (kafir)” (QS 18: 29).
Pada dasarnya kekafiran terhadap klaim kebenaran yang dibawa agama sekalipun (dalam kaitannya dengan hubungan vertikal dengan Allah, hablum minallah), tidak pernah bisa menjadi argumen untuk memusuhi apalagi memerangi seseorang atau suatu kelompok.
Kekafiran hanya bisa dijadikan landasan permusuhan dan peperangan, bila pengertiannya diterjemahkan sebagai praksis sosial-politik, berupa pembelotan atau pemberontakan pada konsensus kenegaraan. Karena itu, gejala seperti ini sebenarnya akan lebih mudah dipahami bila dibaca sebagai semacam ‘kekafiran sosial politik’ sebagai bagian hablum minannas, dan bukan dibaca secara eksklusif sebagai ‘kekafiran agama’ dalam kaitan hablum minallah.
Kalau kita lebih teliti, bahkan penyataan perang terhadap kaum kafir yang disebut Al-Qur’an sekalipun, sebenarnya juga harus ditafsirkan dengan merujuk pada pengertian gejala ‘kekafiran sosial politik’ seperti ini, dan bukan kekafiran ideologis atau keagamaan seperti selama ini sangat mungkin banyak disalah pahami.
Karena kalau yang dimaksud adalah kekafiran ideologis atau keagamaan, maka jelas ini akan bertentangan dengan penyataan tentang kebebasan beragama yang sejak awal justru sudah dimaklumkan Al-Qur’an sendiri.
Semua contoh ini bertentangan secara diametral dengan argumen yang pernah dicoba kembangkan oleh kelompok Khawarij yang disebut di awal tulisan ini. Merekalah kelompok yang sejak awal justru secara eksklusif mencoba mengembangkan argumen keagamaan untuk melakukan permusuhan atau peperangan dengan pihak lain. Mereka mencoba mengeksplorasi batas mukmin-kafir dan mengkonstruksi wilayah eksklusif, lantas memerangi siapa pun yang menolak pandangan mereka ini.
Lebih jauh, dengan cara yang salah, mereka bahkan mencoba menarik realitas historis -dalam hal ini upaya perdamaian yang dilakukan pihak sayyidina Ali dengan Mu’awiyah- ke tingkat meta-historis dengan kampanyenya ‘tiada hukum kecuali bagi Allah’ (la hukma illa lillah).
Dengan sikap ini, mereka dengan sengaja menjumbuhkan pengertian agama dengan negara, dan memandang negara semata-mata sebagai ekstensi agama. Sementara pengertian agama sendiri dirumuskan secara sangat sempit dan abstrak, sehingga sulit dilacak aplikasi dan otorisasinya dalam realitas sejarah. Dengan kata lain, mereka justru telah menjumbuhkan hablum minallah dengan hablum minannas, dan mengaburkan gradasi penerapannya.
Tanggapan sayyidina Ali terhadap klaim ini, mungkin bisa dipakai untuk menggambarkan sikap generasi muslim awal terhadap substansi polemik hubungan agama dengan negara.
Terhadap klaim ini, beliau berargumen: “Memang benar ‘tiada hukum kecuali bagi Allah’. Tapi dengan kalimat ini, orang-orang itu bermaksud mengatakan ‘tiada pemerintahan kecuali bagi Allah’. Padahal masyarakat harus punya pemerintahan, apakah baik atau buruk!”
Apa yang diungkapkan sayyidina Ali ini secara substansial membongkar pandangan yang mencoba memberi stempel universalitas atau keabadian pada kekuasaan duniawi. Kekuasaan duniawi selalu akan berwajah parsial, partikular dan rapuh. Mengingkari watak ini hanya akan menggiring orang untuk tergoda membangun rezim otoritarian.
Sayangnya, polemik ini terhenti bersamaan dengan wafatnya sayyidina Ali dan berkuasanya Mu’awiyah. Munculnya kerajaan menggantikan apa yang lazim disebut sebagai kekhalifahan, dianggap tidak lagi merepresentasikan Islam; dan mengubur dalam-dalam (mungkin sampai sekarang) upaya untuk mengeksplorasi wacana ini.
Belakangan, para ulama bahkan hanya mengakui empat khalifah pertama (khulafaur rasyidun, para pengganti yang mendapat petunjuk) sebagai representasi kepemimpinan Islam, tanpa perumusan yang jelas tentang keniscayaan format hubungan antara agama dan negara; termasuk didalamnya tanpa penjelasan rinci tentang pengertian kekhalifahan itu sendiri, kecuali sekadar penanda posisinya sebagai pengganti kepemimpinan ummat yang sebelumnya dipegang oleh Rasulullah.
Sementara kepemimpinan sultan-sultan dalam sejarah kaum muslim -meski sering secara sepihak menyandang gelar amirul mukminin (pemimpin orang-orang beriman) dan sistemnya sering disebut sebagai ‘kekhalifahan’- tidak pernah diakui sebagai representasi sahih dari Islam.
Ulama dan Kekuasaan
Tidak diakuinya sultan-sultan sebagai representasi Islam, tentu saja menjadikan peran ulama sangat penting. Apalagi hal ini didukung oleh adanya hadits yang mengatakan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Kenyataan ini diam-diam menciptakan ketegangan baru antara kalangan ulama, yang dianggap sebagai pemangku otoritas keagamaan; dengan kalangan pemerintah, yang dianggap sebagai pemangku otoritas kenegaraan.
Ketegangan yang dikutub ekstrimnya bahkan memunculkan -sebagaimana diungkapkan Al-Ghazali- idiom ulama su’ (busuk) bagi ulama yang membina hubungan dengan kekuasaan pemerintah/negara. Ketegangan yang secara laten cenderung bersifat oposisional semacam ini, terus mengalami pengerasan atau pelunakan sepanjang sejarah dan cenderung menjadi arus utama tradisi keulamaan.
Tapi, meski demikian, harus diakui bahwa keniscayaan hubungan ulama dan kekuasaan pemerintah/negara pada dasarnya tak pernah bisa benar-benar dihindari. Betapapun, pemerintah atau negara butuh ulama untuk menjustifikasi kekuasaannya; sementara ulama butuh pemerintah atau negara untuk mengefektifkan pemberlakuan pendapatnya.
Ini sering menyebabkan terjadinya kompromi-kompromi -atau bahkan identifikasi- ulama dengan kekuasaan pemerintah atau negara. Dan pola hubungan semacam ini tidak selalu menghasilkan hal-hal yang positif. Sementara mereka yang tetap mencoba bertahan pada sikap oposisional sering diberangus, atau setidaknya harus menyingkir dari percaturan. Banyak tokohnya yang dibunuh atau dipenjarakan.
Tentu ini tidak menguntungkan perkembangan pemikiran Islam. Karena versi-versi pemikiran yang berkembang kemudian hanyalah versi-versi yang relatif akomodatif terhadap kekuasaan pemerintah atau negara. Versi yang lahir dari hasil perkawinan pemikiran ulama dan kepentingan pemerintah atau negara yang berkuasa. Sesuatu yang sempat dikritik oleh Hassan Hanafi sebagai menifestasi ‘Islam Kanan’.
Dibalik semua ini, satu catatan penting yang sepertinya sering dilupakan adalah: meski dicoba kawinkan dengan kekuasaan negara, peran ulama tetap tidak pernah bisa disejajarkan dengan peran khalifah, dalam pengertian pemimpin negara atau pemerintahan.
Oleh sebab itu, mereka tidak pernah boleh dan tidak pernah bisa berperan seolah sedang memimpin atau menjaga suatu wilayah atau suatu komunitas atau suatu konsensus, karena untuk peran ini dibutuhkan prasyarat-prasyarat lain yang berada di luar kapasitas keulamaan itu sendiri.
Bukan kebetulan bila pendapat ulama kemudian disebut sebagai fatwa, yang secara kategoris berarti pendapat hukum yang tidak mengikat, yang dikeluarkan untuk menanggapi persoalan hukum yang muncul di masyarakat.
Tanpa sokongan kekuasaan pemerintah atau negara yang mengangkatnya menjadi hukum positif (yang justru menghasilkan komplikasi sejarah seperti disebut diatas), pendapat mereka hanya mungkin berlaku efektif pada orang atau kelompok yang mengakui otoritas mereka tanpa boleh memaksakan pemberlakuannya secara umum.
Nah, kalau seorang yang disebut khalifah saja tidak bisa secara eksklusif memusuhi atau memerangi suatu kelompok berdasar klaim ‘keagamaan’ seperti dicontohkan di muka; apalagi kalangan ulama yang nota bene tak pernah memiliki mandat kenegaraan.
Kalau kebiasaan semacam ini tetap diteruskan, ada kekhawatiran tradisi keulamaan akan terdegradasi sekadar menjadi salah satu lembaga kekuasaan. Dan kalau sudah begitu, biasanya yang mengemuka adalah semangat konservatifnya dalam mengusung klaim sebagai penjaga kebenaran. Ini terjadi karena fokus utama mereka rawan tergelincir menjadi mempertahankan kekuasaan.
Al Qur’an memberi contoh, lewat kisah Isa alaihi salam, betapa semangat semacam ini justru potensial menjegal realisasi ‘kebenaran’ itu sendiri. Para penentang Isa alaihi salam adalah para ulama yang merasa sedang mengusung bendera ‘konservativisme’ keagamaan (yang sejatinya sekedar jubah untuk melindungi kepentingan sosial-politik), yang dengan satu dan lain cara merasa sedang menjadi wakil paling sah dari suara Tuhan.
Tak heran mereka begitu bersemangat ‘membunuh’ kebenaran Isa alaihi salam, atas nama ‘kebenaran’ yang mereka yakini. Paling tidak, karena dalam perspektif mereka, suara Isa alaihi salam adalah suara Iblis. Sementara bagi Isa alaihi salam sendiri, kehadiran mereka justru bersemangat Iblis yang tak berhenti menjegal tiap realisasi kreatif dari kebenaran. Sungguh sebuah ironi yang menyakitkan: pertarungannya selalu atas nama Allah dan kebenaranNya.
Masalahnya, bila dalam kisah Isa alaihi salam, dengan gampang kita bisa mengidentifikasi siapa dipihak mana, itu pun karena bantuan kitab yang diwahyukan; kini, di tengah konstelasi global yang ada, kita sungguh kesulitan memastikannya.
Atau, jangan-jangan, masalah utamanya justru tidak pada semua itu, tapi pada cara pandang kita saja: yakni selama ini selalu menaikkan pangkat gelanggang yang sejatinya sekedar la’ibun wa lahwun, permainan dan gurauan, menjadi sesuatu yang seolah layak dengan serius kita genggam dan pertahankan.
