Ads
Mutiara

Pejuang Kemerdekaan yang (Mungkin)Terlupakan (1)

Pendiri Pesantren Al-Fattah Tulungagung ini 24 tahun menjadi santri kelana. Sebagai pejuang kemerdekaan ia pernah ditahan Jepang,  Ia diyakini punya karomah, dan konon berkat doanya pula sebuah jembatan kokoh berdiri sampai sekarang.

Kiai Abdul Fattah Mangunsari adalah pendiri Pesantren Al-Fattah, Mangunsari, Kedungwaru, Tulungagung, Jawa Timur. Ulama pengembara pencari ilmu dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia ini pernah dipenjara pada masa pendudukan Jepang. Ia  juga dikenal perawat situs-situs makam keramat dan benda purbakala..

Lahir pada 1873 di  Tulungagung, dengan nama kecil Raden Muhammad Ma’ruf, Abdul Fattah  pasangan K.H. Hasan Tholabi dan Nyai Dokhinah. Ayahnya keturunan ke-14  Sayid Nawawi yang dikenal dengan sebutan Sunan Tembayat atau Ki Ageng Pandanaran.  Ibunya buyut Raden Prawiro Projo, patih Ponorogo ke-5. Usai menunaikan ibadah haji, ia berganti nama menjadi Abdul Fattah. Ini nama  teman akrabnya dari Popongan, Jawa Tengah, ketika sama-sama nyantri di Pesantren Jamsaren, Solo.

Abdul Fattah adalah “santri kelana”. Usai ngaji kepada ayahnya, ia belajar ilmu tauhid kepada K.H. Imam Bahri. Lantaran lebih   menonjol dibanding santri lainnya, ia dibaiat untuk bergabung dalam Tarekat Khalwatiyah oleh gurunya. Selanjutnya ia belajar tasawuf kepada K H. Zaenuddin, pengasuh Pesantren Mojosari, Loceret, Nganjuk. Pesantren ini dikenal melahirkan sejumlah ulama terkenal, seperti K.H.  Abdul Wahab Chasbullah, K.H. Marzuqi Dahlan Lirboyo dan K.H. Ahmad Djazuli Usman Ploso. Ia juga sempat nyantri pada K.H. Zaenuddin, pengasuh Pesantren Cempaka, Brebek, Nganjuk, belajar ilmu fikih. Ia menuntut ilmu di Pesantren Jamsaren Solo, dan belajar ilmu tafsir pada K.H. Idris, lalu nyantri di Pesantren Tebuireng, Jombang, dan berguru ilmu hadits pada K.H. Hasyim Asy’ari, dan ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, berguru ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab) pada Syekhuna Cholil Bangkalan. Tidak sampai di situ, Abdul Fattah pun sempat berguru pada K.H. Munawir, pengasuh Pesantren Krapyak, Yogyakarta, yang dikenal sebagai pesantren ilmu qira’ah dan tafsir.  Saat menunakan ibadah haji, Abdul Fattah juga berguru kepada sejumlah ulama di Mekah, di antaranya  Syekh Mahfudz at-Termasi dari Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Total sekitar 24 tahun ia habiskan untuk mengembara dan mencari ilmu sebagai santri kelana.

Kembali ke kampung halamannya, Abdul Fatah menikah dengan putri Kiai Yusi dari  Grobogan, Mangunsari, Tulungagung. Kemudian menikah untuk kedua kalinya dengan Nyai Shofiyah binti Haji Umar, Kauman, Tulungagung. Mereka dikaruniai putra-putri: Khudzawi Wali, Bagus Wali dan Bagus Santri. Namun ketiganya meninggal dunia sebelum menginjak usia dewasa. Sekitar tahun 1935 ia mendirikan pesantren. Awalnya berupa bangunan madrasah dan masjid dengan sebuah menara yang dikenal dengan nama Madrasah Bundar. Kemudian berkembang seiring banyaknya santri dari luar yang butuh pondokan sebagai tempat menetap dan tinggal. Sejak itu masyarakat mengenalnya dengan sebutan Pesantren Menara. Para santri ngaji kitab Tanbihul-Ghafilin, Bulughul-Maram, Riyadush-Shalihin, Daqaiqul-Akbar, Bahjatul-Wasail, Al-Minahus-Saniyah, dan kitab Irsyadul-‘Ibad. Ada pula pengajian khusus untuk para jamaah masyarakat sekitar pesantren dan santri bukan mukim. Hingga kini pengajian tersebut masih berlangsung usai shalat subuh yang jamaahnya hingga 500-an orang.

Pejuang kemerdekaan yang sempat dibui tentara Jepang ini juga dikenal sebagai pelopor penggalian benda bersejarah dan makam kuno di sekitar Kabupaten Tulungagung, seperti komplek pemakaman Bedalem Campurdarat, makam Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak, Pangeran Benowo dari Kesultanan Pajang, dan Dampu Awang, salah seorang tokoh penyebar Islam awal di Tanah Jawa. Di dekat kompleks makam itu, Abdul Fattah mendirikan Masjid Bedalem sebagai sarana untuk berdakwah di sekitar masyarakat Campurdarat, juga sebagai wadah masyarakat untuk merawat pemakaman bersejarah tersebut.

Menurut cerita lisan di Tulungagung, Kiai Fattah atau Mbah Fattah memiliki sejumlah karomah. Salah satunya adalah jembatan Plengkung Mangunsari yang sampai sekarang masih berdiri kokoh. Konon, ketika jembatan itu selesai dibangun Kiai Fattah mendoainya agar tetap kokoh. Dan ketika Jepang hendak masuk Tulungagung, Belanda bermaksud merobohkan jembatan itu dengan memasang bom di jembatan itu. Upaya pengeboman itu gagal total. Jembatan Plengkung tetap berdiri kokoh, dan masyarakat percaya itu berkat dia Mbah Fattah.   

K.H. Abdul Fattah wafat pada 29 November 1954, dan dimakamkan di  lingkungan Pesantren Mangunsari, Tulungagung. Kepemimpinan pesantren kemudian dilanjutkan oleh K.H. Ibnu Katsir Siroj, kemenakan dan santrinya. Untuk mengenang jasa-jasa dan perjuangan pendiri pesantren ini, nama pesantren pun diubah menjadi Pesantren Menara Al-Fattah.

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda