Semakin lama, kita cenderung semakin menerjemahkan kemerdekaan sekedar sebagai kemampuan untuk melakukan apa saja tanpa batas. Hutan digunduli, gunung dipaprasi, tambang dijuali, laut dikotori, tatanan dipunggungi, UU dipecundangi, hukum dikencingi. Tak terasa lagi kehadiran kepentingan rakyat di dalamnya.
Banyak yang membaca kemerdekaan sekedar sebagai kesempatan, sebagai peluang untuk mengumbar nafsu diri dan kelompoknya. Mumpung merdeka, lantas bisa apa saja. Kekuasaan menjadi segalanya. Negara ditunggangi untuk memuluskan kepentingan penyelenggara dan para botohnya; sementara diseberangnya, orang ramai-ramai merekrut massa untuk memaksakan agenda, dan menyulap kelompoknya menjadi negara-negara kecil dalam negara.
Yakin bahwa ‘asu gedhe menang kerahe’, mereka pun lantas berlomba menggonggong lewat media apa saja, dengan cara bagaimana saja, dengan biaya berapa saja. Yang penting menggonggong dan terus menggonggong, karena yang paling keras gonggongannyalah yang dianggap sebagai pemenang. Sungguh celaka.
Akibatnya, bukannya mengelola kemerdekaan, kita justru dikepung bencana. Yang paling langsung terasa adalah bencana sosial berupa terobeknya ikatan kebangsaan kita.
Tapi, sebelum semua bencana ini, sebuah bencana yang lebih besar sebenarnya sudah mendahuluinya: dicabutnya barokah.
Secara sederhana, barokah adalah situasi yang mengiringi pemberian Allah, situasi yang menyebabkan apapun yang diberikan selalu cukup dan bermanfaat bagi banyak pihak. Di pesantren, orang sering menggambarkan barokah seperti ini: satu piring nasi dimakan berlima, dan itu sudah cukup membuat kenyang kelimanya. Atau, dengan cara lain, meski setiap hari ditimba oleh banyak orang, tapi sumur tak pernah kering sumbernya.
Contoh yang pertama menggambarkan betapa yang namanya barokah membuat sumber yang sedikit sudah cukup memenuhi kebutuhan banyak orang. Sementara contoh yang kedua, barokah membuat sumber yang ada tak pernah habis untuk dimanfaatkan.
Secara etimologis, barokah adalah bertambahnya kebaikan atau manfaat. Barokah adalah situasi yang diturunkan Allah bagi mereka yang bersyukur. Semakin bersyukur semakin besar barokahnya. Tapi sebaliknya: syukur hilang, lenyap juga barokah. Dan ketika barokah sudah mulai hilang, adzab akan mengintai.
Kata Al Qur’an “siapa bersyukur, akan ditambah, siapa kufur (mengingkari/mengkhianati/menutupi), sungguh adzabNya sangat pedih”.
Tampaknya masalah terbesar kita adalah: kita mulai lupa bahwa kemerdekaan adalah rahmatNya, sehingga akhirnya kita juga lupa untuk mensyukurinya. Atau, jangan-jangan, kita memang sudah merasa cukup mensyukurinya setahun sekali; selebihnya kita lebih memilih kufur terhadapnya.
Buktinya, beruntunnya bencana tak juga membuat kita jera. Kita terus mengulang kebiasaan lama, kita terus saja membabat sumber-sumber alam, kita tetap mengintip kesempatan menjual apa saja, kita tetap saja memecah-mecah rakyat dalam berbagai kelompok kepentingan yang tidak jelas arahnya. Bahkan untuk memuluskan semua itu kita sangat welcome terhadap pihak-pihak asing yang sejak awal sangat setia mengipasi perpecahan kita.
Rasanya kita tak pernah merasa cukup dengan apa yang sudah kita miliki, dan selalu bermimpi untuk memiliki apa yang dimiliki orang lain. Akibatnya kita kehilangan perspektif untuk melihat kenyataan diri sejati kita. Semakin lama, kita semakin tak mengenali diri sendiri.
Padahal, menurut teori manapun, orang yang tak mengenali dirinya sendiri adalah orang gila atau setidaknya mabuk berat. Nah, akankah rahmat kemerdekan kita tukar dengan bencana kemabukan atau bahkan kegilaan?
