Ads
Cakrawala

Rumah Laba-Laba

Akhir-akhir ini, hampir seluruh dunia, sekali lagi dipaksa menyaksikan sebuah panggung komedi gelap kemanusiaan. Di Suriah, di Yaman, di Irak, di Palestina dan beberapa wilayah lain, sebuah panggung yang mempertontonkan dengan telanjang wajah peradaban kita yang sakit, sedang digelar.

Sekali lagi, kita dipaksa melihat pemakluman kemenangan jalan kekejaman atas jalan akal sehat, jalan kesewenangan atas jalan keadilan, jalan perendahan kemanusiaan atas jalan pemuliaan kemanusiaan.

***

Tapi, mungkin kita tak akan sesakit itu bila menyadari betapa sebenarnya yang terjadi di sana juga merupakan bagian bangunan peradaban yang selama ini telah ikut pula kita sanjung-sanjung kehebatannya. Inilah realitas modernitas yang -suka tak suka, mau tak mau- telah pula ikut kita rawat keberadaannya.

Sehingga, karena begitu terlenanya, kita sering lupa bahwa peradaban ini didirikan di atas landasan yang sangat rapuh. Kerapuhan ini, misalnya, langsung terasa begitu kita sadari ketergantungannya yang besar pada minyak, yang menjadi sumber energi utamanya.

Betapapun minyak adalah sumber alam yang relatif terbatas dan hanya ada di beberapa kawasan tertentu, yang mungkin bukan kebetulan dihuni oleh mayoritas muslim. Kenyataan ini saja seharusnya sudah cukup membuat kita was-was: akan ada saatnya dimana sumber energi tersebut menipis dan memancing beragam reaksi berantai yang sulit diprediksikan.

Atau setidaknya akan ada saatnya dimana negara-negara tertentu akan terangsang untuk menggunakan segala cara guna menguasai sumber-sumber energi ini demi kelanggengan perputaran peradabannya sendiri.

Belum lagi, kerapuhan yang bersifat fundamental ini, harus ditambah dengan kenyataan betapa masih sangat rentannya tatanan politik internasional dimana peradaban ini disandarkan. Kerentanan ini sebenarnya muncul sejak awal pendirian negara modern, yang salah satu ‘doktrin’nya secara tersirat dirumuskan dengan cukup ‘mengerikan’: menempatkan ‘negara lain’ -tentu saja dengan ‘nasionalisme’ masing-masing- sebagai faktor ancaman potensial.

Tentu saja, doktrin ini cenderung mendorong tiap negara untuk selalu memperkuat dirinya sedemikian rupa dengan cara menyiapkan alat pemusnah bagi lawan-lawannya. Akibatnya, tiap negara mengalokasikan sebagian terbesar anggaran tahunannya untuk pengembangan teknologi militer. Perlombaan ini -dengan dukungan kecepatan perkembangan teknologi- hari ini telah mencapai skala destruksinya yang demikian massif dan mengerikan, termasuk pengembangan pola perang asimetris yang lebih mengandalkan software. Sehingga tidak salah bila dikatakan bahwa puncak pencapaian peradaban kita adalah: kemampuannya untuk menghancurkan diri sendiri.

Akibatnya, negara-negara yang sudah demikian jauh mengembangkan teknologi dan kekuatan militernya, selalu punya kemungkinan dan kesempatan (apalagi bila ditambah dengan superioritas ekonomi dan industri) untuk mendikte negara-negara lain yang belum berkembang sejauh itu.

Sementara di sisi lain, tatanan politik internasional pasca Perang Dunia II justru mengukuhkan kenyataan ini. Tatanan ini dibangun dengan basis kekuasaan para pemenang, dalam hal ini Amerika Serikat dan sekutunya. Merekalah para raja dan penguasa sebenarnya dari dunia modern, yang akhir-akhir ini justru sedang kembali menajamkan persaingan kepentingan di antara mereka sendiri.

Kenyataan ini bahkan dengan telanjang tercermin di PBB. Banyak negara anggotanya pada akhirnya terkesan diposisikan sekedar sebagai figuran. Mereka tak punya kekuasaan apapun untuk mengontrol tindakan negara-negara pemenang, karena hak veto yang tiap saat bisa digunakan.

Dua hal yang disebut diatas, ketergantungan pada sumber energi alam dan kerapuhan tatanan internasional, cukup memberi gambaran betapa sangat lekatnya hubungan tatanan politik kontemporer dengan kekerasan dan kekejaman; dan betapa mengambangnya pengertian perdamaian, apalagi keadilan dan kesetaraan.

Lebih jauh lagi, menengok sejarah, tentu kita berhak untuk was-was: betapa sistem politik internasional yang berlaku tetap tidak bisa memberi jaminan tidak akan munculnya satu atau dua orang ‘gila’, yang bebas melenggang untuk memanipulasi keadaan, dan menjerumuskan kita semua dalam kehancuran kemanusiaan. Apalagi makin kesini makin tampak dengan telanjang, betapa yang namanya negara lebih merupakan kepanjangan tangan kekuatan ekonomi dan industri, ketimbang representasi bangsa.

***

Apa yang terjadi di Suriah, Yaman, Irak dan lainnya hanyalah salah satu simpul dari rangkaian kekejaman yang tampaknya sejak awal sudah tumbuh sebagai bagian integral dari peradaban modern. Bukan cuma puluhan, tapi bahkan ratusan juta nyawa sudah melayang akibat kekerasan dan perang sejak apa yang kita sebut sebagai peradaban modern dimulai.

Dan akhir-akhir ini sekali lagi kita harus melihat bagaimana ‘para pemenang’ tersebut mempertontonkan kegilaannya secara terang-terang tanpa bisa dihentikan oleh siapapun. Konvensi Jenewa, Piagam HAM dan seterusnya dan sebagainya cuma kumpulan kata-kata, yang tidak akan punya pengaruh apa-apa bila pelanggarnya adalah para pemegang kuasa, para pemenang. Setumpuk pembenaran sudah siap dibeberkan. Yang salah cuma yang lemah. Sungguh sebuah ironi.

Yang melawan mereka pun lantas dapat kehormatan untuk disebut gerombolan teroris, karena itu pantas dibombardir. Irak adalah penyimpan senjata pemusnah massal, maka ribuan bom layak dijatuhkan di atasnya. Afghanistan adalah negeri gembong teroris, maka ribuan bom pun dikirim kesana. Suriah dan Yaman pun nasibnya hampir serupa. Ribuan warga sipil dan anak-anak yang jadi korban hanya angka statistik yang pasti cepat dilupakan orang. Ini yang selalu terulang dan terulang lagi.

Dan ini semua cuma demi alasannya sungguh sangat-sangat sederhana: minyak plus tambang-tambang lain. Minyak yang selalu menjadi pemicu perang sejak perang dunia I. Masalahnya, siapa yang berani menyeret para ‘teroris’ yang sebenarnya? Atau, siapa yang bisa mengadili para ‘teroris’ ini? Bagaimana ini mungkin, kalau untuk soal sederhana saja (seperti: apakah tindakan Israil termasuk kejahatan perang?), para ahli hukum internasional malah cuma berdebat panjang lebar tanpa ada kesimpulan?

***

Tampaknya setelah sekian lama dinina-bobokan dengan fasilitas-fasilitas teknologi yang serba memberi kemudahan, kemajuan industrial yang menyilaukan, impian globalisasi yang menyesatkan, atau impian tentang superioritas manusia di tengah semesta yang begitu gegap gempita; kita sering lupa: betapa peradaban kita sebenarnya dibangun diatas landasan filosofi dan tatanan politik internasional yang sangat rentan. Peristiwa di Suriah, di Yaman, di Irak, di Palestina dan beberapa wilayah lain sekaligus mempertunjukkan pada kita kerapuhan substansial peradaban industrial modern yang berkembang sejak awal abad 20.

Di sisi lain, ketergantungan kita yang begitu dalam pada energi konvensional, yang sebagian terbesar dinyalakan oleh minyak dan batubara; yang kecuali tak bisa diperbarui juga sewaktu-waktu bisa tiba-tiba lenyap begitu saja, baik karena bencana, perang atau mal-praktek; membuat kita selalu dalam ancaman untuk mundur ke zaman lampau; karena semua yang kita kerjakan hari ini sepenuhnya kita gantungkan pada ketersediaan energi, listrik utamanya. Mati listrik massal yang kemarin terjadi di Jakarta dan sebagian Jawa Barat adalah simulasi berharga, betapa kita bisa tiba-tiba menjadi bukan apa-apa tanpa ketersediaan listrik.

Belum lagi bila kita bicara tentang dua ancaman lain, yang menurut para ahli, mengintai peradaban ini di masa depan, yakni: masalah pangan dan air bersih. Apabila krisis listrik saja sudah sangat membuat kita begitu montang-manting, apalagi bila ditambah krisis pangan dan air bersih; sungguh tak terbayangkan daya hancurnya bagi peradaban yang kita sanjung-sanjung sebagai telah masuk ke 4.0, bahkan ke 5.0 ini.

Yang selalu kita lupakan: apa pun yang kita bangun, termasuk bangunan peradaban, selalu lebih lemah dari rumah laba-laba. Sekedar untuk diketahui, sampai hari ini belum ada bahan konstruksi apapun yang kekuatannya melebihi bahan konstruksi yang dihasilkan laba-laba untuk membangun rumahnya. Konstruksi rumah laba-laba mampu menanggung beban jauh lebih kuat dan lebih lentur dibanding semua bahan konstruksi yang sampai hari ini digunakan manusia mendirikan bangunan.  

Nah, apabila rumah laba-laba yang faktanya dibangun dari bahan konstruksi yang paling kuat dan paling lentur di dunia ini, bahkan dengan mudah bisa diporak porandakan oleh sentuhan lembut tangan kanak-kanak sekalipun; sehingga oleh Qur’an disebut sebagai serapuh-rapuh rumah (QS: 29 – 41); bagaimana bisa kita gantungkan hidup pada bangunan peradaban yang lebih rapuh dari itu?

Budayawan, tinggal di Pati Jawa Tengah. Pendiri Rumah Adab Indonesia Mulia

Tentang Penulis

Avatar photo

Anis Sholeh Ba'asyin

Budayawan, lahir di Pati, 6 Agustus 1959. Aktif menulis esai dan puisi sejak 1979. Tulisannya tersebar di koran maupun majalah, nasional maupun daerah. Ia aktif menulis tentang masalah-masalah agama, sosial, politik dan budaya. Di awal 1980an, esai-esainya juga banyak di muat di majalah Panji Masyarakat. Pada 1990-an sempat istirahat dari dunia penulisan dan suntuk nyantri pada KH. Abdullah Salam, seorang kiai sepuh di Kajen - Pati. Juga ke KH. Muslim Rifai Imampuro, Klaten. Sebelumnya 1980an mengaji pada KH. Muhammad Zuhri dan Ahmad Zuhri serta habib Achmad bin Abdurrahman Al Idrus, ahli tafsir yang tinggal di Kudus. Mulai 2001 kembali aktif menulis, baik puisi maupun esai sosial-budaya dan agama di berbagai media. Juga menjadi penulis kolom tetap di beberapa media. Sejak 2007 mendirikan dan memimpin Rumah Adab Indonesia Mulia, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan non formal, penelitian, advokasi dan pemberdayaan masyarakat. Karya lainnya, bersama kelompok musik Sampak GusUran meluncurkan album orkes puisi “Bersama Kita Gila”, disusul tahun 2001 meluncurkan album “Suluk Duka Cinta”. Sejak 2012, setiap pertengahan bulan memimpin lingkaran dialog agama dan kebudayaan dengan tajuk ”Ngaji NgAllah Suluk Maleman” di kediamannya Pati Jawa Tengah mengundang narasumber tokoh lokal maupun nasional.

Tinggalkan Komentar Anda