“Kecuali pelupa, bangsa kita juga suka memasak pakai geni blarak” ujar seorang kawan dalam suatu percakapan dengan saya. Kalau pelupa, saya paham karena sangat banyak contohnya; tapi geni blarak, api dari daun kelapa kering, tak segera saya pahami maksudnya.
“Api yang dibuat dari daun kelapa kering itu memang cepat berkobar-kobar, tapi juga sangat cepat padam; sehingga tak baik untuk memasak, karena hasilnya sering tak bisa matang” lanjutnya.
Sekarang saya mulai agak paham dengan ungkapan kawan tersebut. Bangsa kita memang hobi ‘hangat-hangat tahi ayam’, apalagi ditengah perkembangan informasi dan media yang begitu cepat perubahannya seperti sekarang ini.
Apa yang hari ini jadi fokus utama, minggu depan sudah dilupakan; apa yang bulan ini jadi pusat keributan banyak pihak, bulan depannya sudah hilang dari perhatian, begitu seterusnya. Akibatnya tak ada isu yang dituntaskan, kecuali sebagian kecil saja.
“Jangan-jangan geni blarak ini memang modus, yang sengaja ditiupkan pihak-pihak tertentu untuk mengalihkan, mengacaukan atau sekedar mengukur reaksi masyarakat. Kita berapi-api membahas, seolah akan menyelesaikannya; tapi selalu saja pada akhirnya tak ada yang kita tuntaskan,” lanjut kawan tadi.
“Bisa jadi,” sanggah saya, “tapi rasanya, kecuali yang terkait dengan penanganan masalah, kini tampaknya bukan cuma ada modus geni blarak…”
“Dalam kasus tertentu, kita malah pakai kayu bakar betulan, sehingga apinya terus bertahan setidaknya sampai dua tiga tahun terakhir, bahkan ada tanda-tanda akan dilanjutkan agar bisa terus menggebuk siapapun yang dianggap lawan potensial untuk nyandung-nyrimpet”
Kawan saya terbahak-bahak.
“Atau, dari sisi lain, diam-diam kita ini memang suka berperilaku seperti kepiting..,” begitu ujarnya di tengah tawa yang penuh arti.
Kepiting? Ada apa dengan kepiting? Sebelum mengaitkannya dengan kondisi bangsa ini, ada baiknya diperjelas dulu segala hal berkait dengan kepiting.
“Kepiting dalam konteks ini bisa dipakai dalam dua pengertian; denotatif dan konotatif. Yang pertama, dalam pengertian denotatifnya adalah ketam yang hidup di pantai, binatang berkaki sepuluh, dua diantaranya berfungsi sebagai supit yang tajam,” jelasnya.
“Yang kedua, sebagai ungkapan konotatif dalam bahasa Jawa yang artinya dijepit atau dikunci dengan lengan atau kaki sehingga tak bisa bebas bergerak. Ungkapan ini tampaknya muncul dari kebiasaan hidup ketam.”
“Sebagai binatang, konon kepiting punya kebiasaan aneh. Kalau kita tangkap satu kepiting, lantas kita taruh baskom tanpa terlebih dahulu mengikat kaki-kakinya, dijamin ia akan lari begitu kita tinggalkan.”
“Tapi, kalau kita taruh sepuluh atau dua puluh kepiting dalam satu baskom, tanpa mengikat kakinya pun dijamin jumlahnya tak akan berkurang meski kita tinggal pergi semalaman.”
“Kenapa? Karena para kepiting itu secara otomatis akan saling ‘menjaga’ satu sama lain. Kepiting memang punya kebiasaan aneh bila dikumpulkan dalam satu wadah. Apabila ada satu kawannya mencoba lepas, maka yang lain akan menariknya kembali. Begitu seterusnya, sehingga akhirnya tak ada seekor pun yang bisa lolos.”
“Mungkin mereka menganut ‘ideologi’ tiji tibeh, mukti siji mukti kabeh, mati siji mati kabeh: mulia satu mulia semua, mati satu mati semua. Tentu saja ini tak bisa disebut solidaritas apalagi gotong-royong, karena yang seperti ini malah lebih mirip bunuh diri massal.”
“Artinya, secara otomatis para kepiting ini akan saling ‘memiting’, mengunci langkah satu sama lain dari kemungkinan memerdekakan diri. Dan, dari semua ini, yang paling diuntungkan sudah pasti adalah para pemilik baskom.”
“Nah, bangsa ini dalam satu dan lain hal tampaknya memang gampang ‘mabuk’ jadi kepiting dalam baskom besar. Kita berkelahi, saling jegal, saling serang dan beramai-ramai saling memiting; padahal, celakanya, yang paling diuntungkan selalu saja mereka yang menguasai baskom besar itu. Sementara kita ribut, banyak hal bisa mereka kerjakan,” tegasnya mengakhiri percakapan.
Saya cuma bisa melongo.
