Di pengadilan akhirat, tak ada lembaga perwakilan. Semua akan bicara untuk dirinya sendiri. Bahkan mulut manusia pun dikunci untuk bicara mewakili organ-organ lain. Dia hanya boleh bicara untuk mewakili posisinya sendiri sebagai salah satu organ; sejajar dengan organ lain yang juga akan bicara dan memberi kesaksiannya sendiri.
Masalahnya: di dunia ini mulut sudah begitu digdaya sebagai lembaga perwakilan. Dia berkuasa dan punya hak prerogatif untuk bicara apa saja mewakili dan mengatas namakan organ-organ lain.
Baik disuruh atau tidak oleh yang bersangkutan, dia bisa bicara mewakili kepala, tangan, kaki, perut atau organ-organ lain yang ada di tubuh manusia, yang memang dari sononya tidak punya kemampuan verbal untuk menyuarakan kepentingannya sendiri.
Tapi celakanya, mulut malah tidak pernah berkuasa atas dirinya sendiri. Posisi uniknya sebagai organ yang mampu jadi saluran munculnya bunyi-bunyi simbolik yang dikenal sebagai bahasa; telah menyebabkan perannya sering dimanipulasi menjadi sekedar corong atau public relation bagi kekuatan lain yang lebih berkuasa atas dirinya.
Meski demikian, justru peran terakhir inilah yang menempatkan posisi mulut menjadi sangat sentral sekaligus rentan dalam peradaban. Karena mulut bisa sekaligus mengangkat derajat atau sebaliknya menghinakan. Bisa menjadi juru bicara kebenaran, tapi bisa juga jadi juru bicara kejahatan. Bisa mewakili Tuhan, tapi sekaligus bisa mewakili Iblis.
Ketika kaki terantuk batu, mulut mewakilinya mengungkapkan kesakitan. Tapi bisa juga: mulut berteriak-teriak soal kelaparan seolah sedang mewakili perut yang sebenarnya tidak sedang lapar.
Ini karena di satu sisi kerja mulut tergantung pada perintah syaraf yang berpusat di otak, sementara di sisi lain kerja syaraf otak pun pada dasarnya tidak mandiri. Ketika mulut menyuarakan kesakitan, dia bekerja atas sistem koordinasi sistem syaraf di otak yang terpicu oleh antukan batu di kaki. Dan, dalam hal ini dia jujur.
Tapi ketika dia berteriak soal kelaparan, dia bekerja karena tombol koordinasi syaraf di otak telah dikacaukan dengan sinyal palsu dari nafsu. Sinyal palsu yang sengaja direkayasa nafsu untuk merebut tujuannya sendiri. Dalam hal ini peran mulut jadi manipulatif.
Disinilah masalah dimulai: manusia cenderung bernafsu menciptakan dalil dan dalih untuk menilai perbuatannya sendiri, dan ini telah menempatkan mulut sebagai pembela paling utama dan paling ulung bagi manusia.
Sedikit sekali orang yang berani melepaskan perbuatannya untuk dinilai oleh sejarah dan Tuhan, tanpa perlu pusing-pusing memutar mulut untuk membuat penilaiannya sendiri. Kebanyakan orang lebih suka ‘mengarang’ penilaian bagi tindakan yang sudah maupun yang akan dilakukannya.
Tentu saja, penilaian ini dimaksud untuk membangun citra artifisial yang bisa memperkecil rasa bersalah atau, kalau perlu, malah mencitrakan kebenaran. Bayangkan, dengan mulutnya manusia bisa terus memilih untuk menyebut seribu satu dalih yang kira-kira akan mendukung ‘kebenaran’ tindakannya. Tapi di sisi lain, sengaja menyembunyikan satu alasan pokok yang sebenarnya menjadi alasan utamanya melakukan perbuatan tersebut.
Tak heran bila mulut telah berubah menjadi agama utama manusia. Orang merasa cukup menempatkan agama di mulutnya, lantas merasa aman dari semua substansinya. Orang sudah merasa alim, bila mulutnya sudah fasih dengan dalil-dalil. Orang sudah merasa punya kapling di surga, bila di tiap kesempatan bisa memamerkan kelihaiannya menyebut nama Tuhan.
Orang sudah merasa pemimpin, bila sudah ahli merekayasa dukungan publik. Orang merasa sudah berdemokrasi bila sudah ada pemilihan umum. Orang merasa sudah berbhineka bila sudah ada beberapa kelompok yang sesuai dengan kepentingannya.
Apalagi kecanggihan teknologi mutakhir, menyediakan media yang sangat luas untuk disesaki mulut; yang kadar kebisingannya melebihi gerombolan peseda motor yang meraung-raung dengan knalpot terbuka. Sahut menyahut melukai telinga pendengarnya.
Dulu, yang ada hanya mulut resmi: mulai dari DPRD, DPR, DPD sampai MPR; yang keberadaannya bahkan diberi tempat terhormat, dan setiap bulan menerima gaji ditambah fasilitas-fasilitas yang memberi kenyamanan. Sekarang banyak beredar mulut swasta, yang gaji dan fasilitasnya entah dari mana, dan tiba-tiba berhamburan seolah sedang mewakili bukan hanya dirinya, tapi juga kebenaran dan bahkan Tuhan.
Tapi, lepas dari mulut, semua ini tak berjejak dalam kenyataan. Sama seperti fasihnya orang mengutip dalil tak menghalanginya untuk terus menyumbang kerusakan di semesta; keahlian merekayasa dukungan juga tak pernah mendorong orang cancut taliwondho menyelamatkan rakyat yang mulai kehilangan harapan
Tak beda dengan kelihaian orang menyebut nama Tuhan tapi tak menumbuhkan kasih sayang pada saudara-saudaranya; keunggulan bicara demokrasi pun tak membuat orang berani membiarkan rakyat mandiri membuat penilaian.
Sebangun dengan seringnya orang bicara tentang luasnya pengampunan Tuhan sambil tak percaya pada manusia yang tak dibimbingnya; kesuntukan bicara kebhinekaan juga tak berarti tak membawa gunting untuk memotong tananam yang tak disukai.
Nah, dalam konteks ini bisa dipahami alasan ‘pembungkaman’ mulut dalam pengadilan akhirat. Sebagai lembaga perwakilan, mulut sering menjadi alat manipulasi dan apologi, bahkan untuk sesuatu yang jelas-jelas disadari sebagai kejahatan.
Mulut memang luar bisa. Hanya butuh lima sampai tujuh tahun untuk belajar menggunakannya, tapi butuh seumur hidup untuk belajar mengendalikannya.

Mulut lebih licin dari belut,,,