Mutiara

Yang Indah di Luar Rencana

Haji Agus Salim dikirim polisi Belanda untuk mematai-matai Sarekat Islam di Surabaya. Setelah bertemu Tjokroaminoto ia justru berbalik. Berkat menjadi pegawai Belanda pula ia bisa meperdalam agama islam bahasa Arab di Mekah.

Perjalanan hidup Haji Agus Salim  seakan diatur Tuhan. Yang mengatakan ini Deliar Noer,   ilmuwan politik dan cendekiawan Muslim Indonesia terkemuka. Kata dia, adalah nasib yang membawanya ke Jazirah Arab tempat ia bekerja pada konsulat Belanda di Jeddah, di mana dia mendapat kesempatan belajar bahasa Arab dan memperdalam agama Islam di Mekah kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.  Nasib pula yang membawanya ke lingkungan Sarekat Islam. Perkenalannya dengan partai pimpinan Tjokroaminoto ini adalah ketika dia dikirim oleh polisi Belanda untuk mengamati kongres dan kegiatan SI di Surabaya, alias sebagai intel atau spion.

Haji Agus Salim bergabung dengan SI tahun 1915. Ia berhubungan dengan organisasi ini dalam kapasitas seorang “anggota seksi politik dari kepolisian” pemerintah Hindia Belanda. Perkenalan Haji Agus Salim dengan Sarekat Islam boleh dibilang unik, kalau bukan ganjil, sebagaimana dikatakannya sendiri. “Kontak saya yang pertama dengan Sarekat Islam memang aneh, dan caranya mungkin agak merugikan nama saya juga,” ungkap Salim.

Waktu itu itu (1915) ia baru  kembali dari Sumatera, dan berjumpa dengan  teman sekolahnya yang sudah menjadi pegawai tinggi  pemerintah Hindia Belanda. Namanya Datuk Tumenggung. Ia mengatakan kepada Salim  bahwa polisi mendapat laporan tentang akan pecahnya suatu pemberontakan di Jawa. Waktu itu memang  sedang belangsung Perang Dunia I, di mana kapal-kapal Jerman banyak berkeliaran di samudra seantero dunia. Laporan menyebutkan bahwa sebuah kapal Jerman sedang menuju ke Jawa dengan membawa 40.000 pucuk senjata. Dikabarkan, Tjokroaminoto sepakat untuk memimpin revolusi bila senjata-senjata itu diserahkan kepadanya. “Secara pribadi saya tak mempercayai berita itu, tak lain karena adalah gila untuk memberikan senjata kepada orang-orang yang telah lebih dari seabad tak pernah memegang senjata dan menyuruhnya mengadakan pemberontakan. Itu sama dengan melakukan bunuh diri.  Kepada komisaris polisi yang meminta saya untuk menyelediki kasus ini, langsung saya katakan bahwa hal itu tidak mungkin,” kata Salim.

Meski begitu, Salim menyatakan kesediaannya untuk memata-matai Tjokroaminoto. Yang memperkenalkannya dengan pemipin SI itu adalah temannya yang  pegawai tinggi tadi. Menurut Salim, Tjokroaminoto pasti sudah menyadari sejak awal bahwa dia punya hubungan dengan pemerintah ketika itu. Meski begitu, kata Salim, Tjokro  mengajaknya menghadiri kongres partainya pada tahun 1915 itu di Surabaya. “Iulah saat bersejarah saya berkenalan betul dengan Tjokroaminoto dan Sarekat Islam. Setelah kongres usai, Tjokro mengajak saya menghadiri beberapa pertemuan lokal di kota kecil di Jawa Timur. Di sana saya melihat hal-hal yang sulit saya percaya, misalnya pertemuan yang dipadati oleh lebih 50.000 orang yang semuanya secara hangat mengelu-elukan Tjokroaminoto. Pada waktu ia berjalan melewati orang-orang itu, mereka berjongkok di tanah dan mencium kakinya, sambil mengatakan pujaan yang tak saya senangi. Menurut kepercayaan orang Jawa ada ramalan yang bakal menjadi kenyataan tentang akan munculnya seorang Ratu Adil bernama Heru Tjokro. Mungkin orang menganggapnya sebagai Ratu Adil karena ia bernama Tjokro,”kenang Salim.

Dalam perjalanan pulang dari pertemuan, Tjokroaminoto  bertanya kepada Salim tentang perkumpulannya. “Luar biasa, saya tak mengira keadaan seperti itu dapat terwujud,”jawab Salim,  Namun, ia juga mengingatkan bahwa hal itu mengandung bahaya, karena hanya sedikit orang yang dapat mengalami dipuja-puja seperti itu tanpa menjadi lupa daratan. Setelah itu, Salim dan Tjokro bersepakat untuk saling membantu. Maka, langsung pada waktu itulah antara mereka  berdua tercetus kesepakatan: untuk saling membantu. Dan setelah mereka kembali di Surabaya, Salm pun resmi masuk SI, dan pada saat bersamaan, dia mengirim kawat ke komisaris di Jakarta yang menugaskan dia, yang menyatakan bahwa dia bergabung masuk SI. “Sesudah itu saya benar-benar mendalami tentang gerakan yang potensinya begitu besar dan berdasar Islam,” kata Salim.

Menurut Salim, setelah lebih kurang enam atau tujuh minggu dia kembali ke Jakarta dan bertemu dengan si komisaris polisi yang menugasinya itu.  Ia pun ditanya mengapa tak memberi laporan dan juga tak minta ganti ongkos perjalanan padanya. Salim menjawab, bukankah dia telah memberikan laporan yang terpenting  bahwa dia telah masuk SI? Komisaris itu mengatakan, ia mengira bahwa demi penyelidikan itu Salim sengaja masuk perkumpulan tersebut.

“Terus terang, pada saat itu saya malu. Mengapa orang bisa berpikir saya akan berbuat seperti itu: memata-matai SI! Itulah perkenalan saya yang pertama dengan Sarekat Islam. Lagi-lagi jalan hidup saya memang menuju ke agama Islam, kedua-duanya saya didorong oleh phak Belanda. Pertama kali saya terpaksa menuruti kemauan orangtua dan dikirim ke Saudi Arabia. Sekarang Belanda membukakan jalan sampai Sarekat Islam. Kalau tak karena Belanda, mungkin lama sekali saya baru akan mendengar dan melihat ada perkumpulan seperti SI ini,” kenang Salim.

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda