Jalan menunju Allah sebanyak orang yang beriman kepada-Nya; sebanyak makhluk ciptaan-Nya. Stasiun-stasiun yang harus dilewati para pengamal tasawuf sebelum mencapai makrifat?
Al-Junaid al-Baghdadi mengibaratkan para pengamal tasawuf alias kaum sufi sebagai bumi. Semua kotoran dicampakkan kepada mereka, tapi tidak menumbuhkan kecuali segala tumbuhan yang baik. Mereka bagaikan bumi yang diinjak orang salih maupun pendosa. Seperti mendung yang memayungi segala yang ada; laksana air hujan, mengairi segala sesuatu. Sedangkan Dzun Nun al-Mishri menyebut mereka “kelompok yang mengutamakan Allah di atas segala-galanya, dan yang diutamakan Allah di atas segala makhluk yang ada.”
Hakikat tasawuf adalah proses mendekatkan diri kepada Tuhan, yang dengan itu seseorang menempuh berbagai jalan yang mengantarkannya ke satasiun-stasiun tertentu yang disebut maqam. Menurut Abu Thalib al-Makki (wafat 996 M), terdapat banyak sekali jalan menuju Tuhan. “Jalan menunju Allah sebanyak orang yang beriman kepada-Nya. Jalan menuju Allah sebanyak makhluk ciptaan-Nya: untuk merenunginya terdapat satu jalan yang akan ditemukan oleh setiap makhhluk ciptaan-Nya.” Pandangan ini sejalan dengan pandangan sufi di kemudian hari bahwa hamparan dunia ini adalah buku Allah Yang Maha Tinggi, dan di balik sebutir atom (zarrah) yang terselubung pun tersembunyi keindahan jiwa yang menggairahkan dari wajah yang dicintai-Nya.
Imam Al-Qusyairi menyebut maqam atau stasiun-stasiun tertentu yang harus dilampaui para penempuh jalan tasawuf sebagai tahapan adab seorang penempuh jalan tasawuf untuk dekat kepada Tuhan, yang harus mereka tempuh dengan sepenuh upaya, dan lewat riyadhah (latihan spiritual). Kata dia, seseorang tidak akan naik dari satu maqam ke maqam lain sebelum memenuhi kualifikasi maqam tersebut. Maka, barangsiapa yang belum sepenuhnya ber-qana’ah ia belum bisa mencapai tahap tawakkal. Dan barangsiapa yang belum ber-wara’ , tidak sah ber-zuhud.
Kitab-kitab tasawuf sendiri tidak selamanya memberi peringkat yang sama terhadap stasiun-stasiun itu. Menurut Harun Nasution (1999), Al-Kalabadzi, misalnya, memberikan susunan sebagai berikut: taubah, zuhd, shabar,faqr, tawadhu’, taqwa, tawakkul, ridha, hubb, dan ma’rifah. Sedangkan As-Saraj: taubah, wara’, zuhd, faqr, shabr, tawakkul, ridha. Sementara Al-Ghazali membuat peringkat sebagai berikut: taubah, shbar, faqr, zuhd, tawakkul, hubb, ma’rifah, ridha. Lain lagi dengan Al-Qusyairi yang memberi susunan seperti berikut: taubah, wara’, zuhd, tawakkul, shabar, ridha. Tetapi menurut Harun Nasution, yang dikenal pengikut Muktazilah yang kemudian berguru tarekat kepada Abah Anom Suryalaya, di antara stasiun-stasiun itu yang biasa disebut adalah taubah, zuhd, shabr, tawakkul dan ridha. Di atas stasiun-stasiun ini, kata dia, ada lagi stasiun-stasiun yang lebih tinggi, yaitu mahabbah, ma’rifah, fana’, dan baqa’.Selain maqam, ada istilah lain untuk menggambarkan keadaan ruhani yang disebut hal. Menurut Qusyairi, hal merupakan makna yang turun begitu saja di kalbu, tanpa adanya unsur kesengajaan, usaha menariknya, atau lainnya. Seperti rasa senang dan sedih , leluasa (busth) atau tergenggam (qabdh), takut atau suka cita. Karena itu setiap hal merupakan karunia. Hal berlainan dengan maqam yang diperoleh lewat usaha, tetapi sebagai anugerah Tuhan. Jika maqam bersifat tetap, hal datang dan pergi. Sesuai dengan intensitas dan lamanya, hal (jamak ahwal) atau “keadaan-keadaan” ruhani itu disebut “cahaya yang redup” (law’ih), “cahaya yang menyilaukan” (lawami’), dan “penyinaran” (tajalli). (Bersambung)