Fatwa Ahmad Surkati membuat marah golongan Arab Sayid. Sebagai guru tempat meminta fatwa di Al-Isyad dia lebih menonjol ketimbang para pendiri organisasi itu. Bagaimana dia sampai Indonesia?
Tahun 1913, dalam sebuah pertemuan makan malam di Solo yang dihadiri kebanyakan orang Arab, Syekh Ahmad Surkati Al-Anshari mengeluarkan sebuah fatwa yang menekankan bahwa Islam memperjuangkan persamaan sesama Muslim dan tidak mengakui kedudukan yang mendiskiriminasikan berbagai kalangan, disebabkan oleh darah turunan, harta ataupun pangkat.
Fatwa itu bermula dari kasus seorang syarifah (anak perempuan seorang sayid) yang hidup bersama-sama dengan seorang Cina. Surkati menyarankan kepada yang hadir mengumpulkan uang untuk keperluan syarifah tadi agar bisa melepaskan diri dari orang Cina itu. Tetapi karena tidak seorang pun yang bersedia memberikan uangnya untuk keperluan ini, Surkati menawarkan saran lain. Yakni mencari seorang Muslim yang bersedia mengawini syarifah tersebut. Golongan Sayid (Alawiyyin) yang hadir pada pertemuan itu keberatan atas saran tersebut dengan alasan kafa’ah (tidak sekufu, atau tidak sederajat). Kata mereka, seorang syarifah hanya bisa dikawini seorang sayid. Pada malam itu juga golongan Sayid di Solo mengirim kawat kepada para Sayid di Jakarta mengenai fatwa Surkati. Harap maklum: kaum Sayid di Jakarta adalah para pengurus Jamiat Kheir, yang memberikan pekerjaan pekerjaan kepada Ahmad Surkati.
Tahun 1911 Surkati tiba di Jakarta bersama dua kawannya: Syaikh Muhammad bin Abdul Hamid al-Sudani (juga orang Sudan) dan Syaikh Muhammad at-Tayyib dari Maroko.
Ketika mengajar di Mekah, ia bersedia menerima tawaran dari Jamiat Kheir untuk menjadi guru di sekolah-sekolah yang mereka dirikan di Jakarta dan tempat lain. Prestasi yang membuat dia sampai diundang ke Hindia oleh pemimpin Jamiat Kheir. Kata Surkati, ia bersedia pindah ke Hindia karena merasa dapat lebih menyumbang dan bermanfaat bagi Islam sini. “Antara kematianku mengejar iman di Jawa dan kematianku tanpa mengejar iman di Mekkah, aku memilih Jawa,” katanya.
Jamiat Kheir mengangkat Surkati sebagai pengawas di sekolah-sekolah yang dibuka oleh Jami’at Khair di Jakarta dan Bogor. Berkat kepemimpinan dan bimbingannya, sekolah-sekolah tersebut mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tetapi Syaikh Ahmad Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami’at Khair karena perbedaan paham yang prinsipil dengan para pengurus organisasi itu yang umumnya keturunan Arab Sayyid (Alawiyyin) Alu B’lawi. Ini memang agak aneh, mengingat organisasi yang didirikan tahun 1905 itu merupakan organisasi terbuka untuk setiap Muslim tanpa diskriminasi asal-asal. Tapi begitulah menyusul kasus Fatwa Solo yang menhebohkan golongan Arab Sayid itu, Surkati akhirnya keluar dari Jamiat Kheir dan menyelenggarakan sekolahnya sendiri di rumahnya.
Sementara itu, kalangan Arab non-Sayid mengumpulkan sebuah perkumpulan bernama jam’iyat al-Islam wal-Ersyad al-Arabia yang disingkat Al-Irsyad. Para pendiri Al-Irsyad umumnya adalah para pedagang. Surkati kemudian bergabung dengan Al-Irsyad. Dan sejak itu ia mengajar di Al-Irsyad sampai ia wafat tahun 1943, dengan hanya masa jeda 4 tahun ketika dia mencoba berdagang dari tahun 1920 sampai 1924. Sebagai guru tempat meminta fatwa, keberdaan Ahmad Surkati memang lebih terlihat di Al-Irsyad ketimbang para pendiri organisasi ini seperti Syekh Umar Mangus, kapten orang Arab di Batavia, Saleh bin Ubeid Abdad, Said bin Salim Masjhabi, Salim bin Umar Balfas, Abdullah Harharah dan Saleh bin Nahdi.
Ahmad Surkati lahir di Dunggula, Sudan, tahun 1872. Ia tidak sempat memenuhi keinginannya belajar di Mesir karena ayahnya keburu meninggal. Nasib kemudian membawanya ke negeri Arab. Ia tinggal di Madinah selama empat tahun dan Mekah 11 tahun. Tahun 1906 ia menerima sertifikat mengajar dari pemerintah di Istanbul (Turki Usmani), dan menjadi orang Sudan pertama yang menerima sertifikat tersebut. Sejak itu ia mengajar di Mekah, dan mulai mengenal pikiran-pikiran pembaruan Muhammad Abdul melalui majalah Al-Manar. Sampai kemudian nasib membawanya ke Tanah Jawa di tahun 1911, sampai menghembuskan nafas terakhir sebelum negeri yang dicintainya ini merdeka. Sejak 1922 Ahmad Surkati dan pemimpin Al-Irsyad bersama para pemimpn Islam lainnya memang sudah aktif membicarakan Indonesia merdeka