Syekh Asnawi Caringin berhasil lolos dari bencana letusan Gunung Krakatau yang meluluhlantakan pemukiman sepanjang pantai dari Merak sampai Labuan. Usahanya mengajak masyarakat meninggalkan maksiat. Mengapa dia diasingkan Belanda?
Salah satu tujuan wisata ziarah yang ramai dikunjungi adalah “keramat” Syekh Asnawi di pantai Caringin, Labuan, Banten. Syekh Asnawi atau Kiai Agung Caringin memang dipercaya sebagai waliyullah atau wali Allah yang punya berbagai karomah, kemampuan supranatural di bawah mukjizat yang dimiliki para nabi. Dan berkat karomah yang dimikinya ini Syekh Nawawi termasuk dari sedikit warga Caringin yang selamat dari bencana letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883, yang menimbulkan gelombang tsunami setinggi 30 meter, dan menyapu bersih perkampungan di sepanjang pantai dari Merak sampai Labuan. Ribuan orang tewas dalam peristiwa yang menerbangkan debu hingga Srilanka itu.
Kiai Asnawi, waktu itu berumur 33 tahun, dan beberapa pengikutnya mengungsi ke desa Muruy di Kecamatan Menes, Pandeglang. Sayang dia harus kehilangan salah satu putranya yang masih kecil, yang meninggal dalam pengungsian. Bocah bernama Halimi ini merupakan buah perkawinannya dengan Nyai tufi Halimah, seorang putri ningrat Caringin bernama Patih Rasinah.
Asnawi lahir di Caringin sekitar tahun 1850. Ayahnya Abdurrahman adalah seorang ulama sekaligus pejabat penghulu setempat, dan punya garis keturunan sampai Sultan Agung Mataram. Sedangkan ibunya Ratu Sabi’ah adalah keturunan keluarga Sultan Banten. Ia belajar agama kepada ayahnya sendiri, yang mendidiknya secara keras, dan dalam usia 9 tahun sudah hapal Alquran. Belum lagi akil balig, Kiai Abdurrahman mengirim putranya ke Mekah untuk memperdalam ilmu agama, Asnawi dititipkan kepada sejumlah ulama. Gurunya antara lain Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Sambas, dan Syekh Abdul Karim Tanara (Banten). Salah satu kawan belajarnya di Mekah adalah KH Tubagus Waseh dari Cadasari, Pandeglang, Banten, yang kelak menjadi besannya. Salah satu putrinya menikah dengan KH Tubagus Ahmad Chatib, residen pertama Banten setelah Indonesia merdeka, yang terlibat pemberontakan tahun 1926. Akibat pemberontakan itu Ahmad Chatib dibuang ke Digul, sedangkan mertuanya diasingkan ke Cianjur.
Pulang dari Mekah Asnawi meneruskan tugas ayahnya, yaitu berdakwah. Sebelum Krakatau meletus Caringin merupakan kota kabupaten. Di kota ini ternyata telah berkembang kemaksiatan, mulai dari pelacuran, perjudian, mabuk-mabukan, penjarahan sampai pembunuhan. Bersama para ulama lainnya, Kiai Asnawi mengajak masyarakat kembali ke jalan lurus. Akan tetapi usaha para ulama itu tidak banyak membuahkan hasil. Caringin tetap bergelimang kemaksiatan dan kemungkaran. Sampai kemudian Gunung Krakatau meletus, meluluhlantakan dan menenggelamkan kota dan penduduk Caringan.
Setelah peristiwa itu, Caringin berubah menjadi sebuah kampung kecil, dengan penduduk yang bisa dihitung dengan jari. Syekh Asnawi yang waktu itu mulai dipercaya sebagai wali, bersama warga yang masih tersisa membangun Caringin dari puing-puing kehancuran. Yang pertama adalah membangun kembali masjid Caringin, yang sekarang dikenal sebagai Masjid Agung As-Salafi. Ia lalu membangun rumah dan pondok pesantren. Setelah berhasil membangun dan membina kembali masyarakat Caringin, Syekh Asnawi banyak didatangi tamu, untuk meminta mulai dari nasihat, doa, fatwa sampai keberkahan. Ia juga memelopori kegiatan sosial gotong royong, antara lain turut andil dalam pemugaran Masjid Agung Banten, dan terlibat dalam pembukaan kembali Jalan Labuan-Anyer bersama Syekh Husein. Ia juga mendirkan Madrasah Masyariqul Anwar, yang pengelolaannya kemudian diserahkan kepada anak-anaknya. Sampai sekarang madrasah ini masih berdiri. Tahun 1931 Syekh Asnawi Caringin dibebaskan oleh Belanda tanpa syarat. Ia kembali ke kampung halamannya dari tempat pembuangannya di Cianjur. Menghabiskan sisa hidup di Caringin sampai meninggal pada tahun 1938