Ads
Mutiara

Kekuasaan yang Dendam

Di tengah masyarakat beragama, politik kerap tampil dengan wajah garang. Ia kehilangan aspek spritualitasnya, yang termanifestasikan antara lain dalam prinsip kemuliaan moral para pelaku. Ini seakan membenarkan ungkapan Nicolo Machiavelli bahwa politik itu busuk.

Abdurrahman bin Habib memang luar biasa. Gubernur Afrika Utara (nama lama untuk Aljazair, Libya, dan Tunis) di zaman Umaiyah ini serta-merta menanggalkan pakaian dinasnya yang putih. Memakai uniform  baru warna hitam, seragam Abbasiyah, ia berkampanye keliling wilayah, mencari dukungan untuk Abul Abbas As-Saffah yang baru menggulung Umaiyah. As-Saffah pun mengukuhkan kedudukannya sebagai penguasa wilayah itu. Tapi, ketika pendiri Daulah Abbasiyah itu mangkat (berkuasa hanya empat tahun, dan digantikan oleh saudaranya,  Abu Ja’far Al-Manshur, 134 H/754 M), Abdurrahman melancarkan gerakan separatis. Ia berdalih: Bagdad memintanya menyetor penarikan jizyah, pajak khusus nonmuslim. Ia lalu memproklamasikan Afrika Utara dan Maroko sebagai negara merdeka. Abdurrahman adalah cucu Uqbah bin Nafi r.a, yang menaklukan Afrika  di masa kekhalifahan Mu’awiyah dan diangkat menjadi gubernur.

Toh Abdurrahman belum merasa aman. Ia khawatir sisa-sisa keluarga Umaiyah suatu ketika akan mendongkelnya, meski Abdurrahman yang lain, yang  putranya Mu’awiyah bin Hisyam — anggota keluarga Umaiyah yang selamat dan pengejaran Abbasiyah — sudah berada di Andalusia, Spanyol. Di Qairuan, ibu kota Afrika Utara, memang ada beberapa anggota keluarga Istana Damaskus (Umaiyah) yang tidak ikut ke Spanyol. Di antaranya dua putra mendiang Khalifah Walid dan Yazid: Ashi dan Musa. Mereka inilah yang kemudian dibunuh oleh Abdurrahman yang mantan gubernur ini.

Tapi tanpa disadari, ia sebenarnya sedang menggali kuburnya sendiri. Sebab sepupu Ashi dan Musa, yang keluarga Umaiyah, berniat menuntut balas. Dia itu Nyonya Ilyas bin Habib. Dan Ilyas tak lain adalah adik sang penguasa. Nyonya Ilyas terus-menerus memprovokasi suaminya agar bersama-sama adik si suami, Abdul Warits bin Habib, melakukan makar. Abdurrahman bukan tidak mencium aktivitas kedua adik. Justru karena itu, atau lantaran belum ada bukti yang jelas, ia mengirim mereka menjadi penguasa di daerah —  dan Ilyas ke bagian Tunis, menggantikan Umran saudaranya yang lain.

Tapi belum lagi Ilyas meninggalkan Qairuan, Abdurrahman mendadak sakit, Ilyas pun membesuk sang abang. Ia menyatakan berpamitan. Lalu, dengan tenang, dari  balik jubahnya ia keluarkan pisau. Abdurrahman terkapar. Dan Ilyas mempermaklumkan dirinya sebagai penguasa baru Afrika Utara. Ini terjadi pada 137 H/754 M.

Sekarang giliran anak Abdurrahman bin Habib yang akan menuntut balas atas kematian ayahnya. Anak Abdurrahman ini  namanya seperti nama kakeknya, yaitu Habib. Jadi, namanya Habib bin Abdurahman bin Habib. Ia berada di Tunis bersama pamannya yang tadinya akan digantikan, ya Umran bin Habib itu. Mendengar ayahnya terbunuh, Habib bin  Abdurrahman berniat menyerang Qairuan. Tapi, tidak sempat terjadi perang, karena setibanya di Ibu Kota rupanya mereka bisa mencapai kesepakatan untuk berbagi wilayah kekuasaan.

Selesai?  Belum, rupanya. Sebab belum lama meninggallkan Qairuan, Habib dan Umran dihadang  oleh orang-orang Ilyas. Paman dan keponakan itu diringkus dan dijebloskan ke penjara di luar kota. Lalu untuk mengamankan posisi, Ilyas mengirim utusan ke Bagdad, menyatakan kesetiannya kepada Khalifah Abbasiah Al-Manshur.

Tapi beleid itu rupanya tidak disukai kroni mendiang Abdurrahman, yang kemudian mengirim pasukan untuk membebaskan Habib dan Umran. Berhasil. Nah, begitu Ilyas tahu, ia sendiri meninggalkan Qairuan, memburu sang kemenakan. Tapi sementara sang paman terus-menerus mengejar hingga pedalaman, Habib dengan cerdik berbalik ke Ibu Kota. Apa boleh buat, ketika Ilyas kembali ke Qairuan, kota ini sudah dikuasai oleh Habib. Bentrokan pun tidak terelakkan, dan Ilyas tewas di tangan kemenakan yang membalas kematian ayahnya. Habib pun mencabut kembali pernyataan setia kepada Bagdad, yang rupanya belum sempat dikirim Ilyas. Afrika Utara kembali menjadi wilayah merdeka.

Drama perebutan kekuasaan yang penuh darah  seperti itu memang bisa terjadi kapan di mana pun — -kita bisa membacanya dalam sejarah Eropa, Cina, atau Jawa . Ini terjadi ketika kekuasaan adalah kekuasaan pribadi,  dan sang penguasa bisa saja menghitamputihkan pemerintahannya, meski dengan mengorbankan hak-hak oran lain. Itu karena kekuasaan tidak berbasis daulat rakyat, penghormatan hak asasi dan keadilan sosial yang merupakan ciri negara demokratis modern.

Karena itu, meski di tengah masyarakat beragama, politik tampil dengan wajah garang. Ia kehilangan aspek spritualitasnya, yang termanifestasikan antara lain dalam prinsip kemuliaan moral para pelaku. Ini seakan membenarkan ungkapan Nicolo Machiavelli, “Politik itu busuk”. Tapi, bukankah dengan nada frustasi Nabi pernah mengatakan, “La’natullah ‘ alas siasah (Semoga Allah mengutuk politik)?” Tentu, berbeda dengan pada Machiaveli, yang kedua ini bukan keyakinan — -dari seorang Nabi Muhammad, yang justru peletak fondasi iman dan moralitas dalam segala aspek, juga politik.

Aspek moral itu pula yang  absen dalam kehidupan politik kita sekarang, yang cenderung pragmatis dan transaksional.

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading