Syekh Ahmad Khatib Sambas tidak menggunakan namanya untuk menamai ordo tarekat yang dia dirikan. Ia punya peranan penting dalam melahirkan para pemimpin tarekat di Jawa. Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah juga menyebar di Thailand, Malaysia, Singapura dan Brunei.
Nama aslinya Ahmad Khatib Sambas bin Abdul Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. la dilahirkan di kampung Dagang atau Kampung Asam, Sambas, Kalimantan Barat, pada 1217 H./1802 M. Ia menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama ke sejumlah ulama di daerah kelahirannya. Di usia 19 ia berangkat ke Mekah bersama pamannya, untuk melanjutkan studi, dan menunaikan ibadah haji tentu. Selain belajar, dan kemudian mengajarkan, fikih ia juga memperdalam tasawuf kepada Syekh Syamsuddin. Sebelum sang guru mangkat, ia mengangkat Ahmad Khatib menjadi “Syekh Mursyid Kamil Mukammil” dalam lingkungan tarekat Qadiriyah dan NaqsHabandiyah. Guru-gurunya yag lain adalah Daud al-Fatani, Arsyad al-Banjari, dan Abdus Samad al-Falimbani.
Kelenturan ajaran Qadiriyah bisa disebut sebagai faktor yang memotivasi Syekh Sambas untuk mendirikan Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN). Dalam tradisi sufi memodifikasi ajaran tarekat merupakan hal yang biasa dilakukan. Misalnya, terdapat 29 aliran tarekat yang merupakan cabang dari tarekat Qadiriyah. Sebenarnya bisa saja Syekh Khatib Sumbas menamakan tarekat yang didirikannya dengan Tarekat Sambasiyah atau Khatibiyah sebagaimana kebanyakan aliran tokoh tainnya yang biasanya menamakan tarekat dengan nama pendirinya. Namun ia justru mcmilih menamakan tarekatnya dengan Qadiriyah wa Naqshabandiyah. Di sini ia lebih menekankan aspek dua aliran tarekat yang dipadukannya dan lebih jauh menunjukkan bahwa tarekat yang didirikannya benar-benar asli.
Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren menyatakan bahwa Syekh Sambas punya peranan penting dalam melahirkan para pemimpin tarekat terkemuka di Jawa, yang menyebarkan ajaran Islam di Indonesia dan Malaysia pada pertengahan abad ke-19. Sebagian besar murid Syekh Khatib Sambas mremang berasal dari Jawa dan Madura. Mereka itulah yang meneruskan TQN ketika pulang ke Indonesia. Salah satu muridnya yang masyhur adalah Syekh Abdul Karim dari Tanara (Banten), yang kemudian meneruskan kepemimpinannya.
Syekh Sambas tidak mengajarkan kedua tarekat ini secara terpisah tetapi mengkombinasikan kedua ajaran tarekat tersebut sehingga dikenali sebagai aliran tarekat baru yang berbeda baik dengan Qadiriyah maupun Naqshabandiyah. Dalam prosedur zikir, Syekh Sambas mengenalkan Zikir negasi dan afirmasi (Dzikr al-Nafiy wal-Itsbat) sebagaimana yang dipraktekkan dalam tarekat Qadiriyah.
Selain itu, ia juga melakukan sedikit perubahan dari praktek Qadiriyah pada umumnya yang diadopsinya dari konsep Naqshabandiyah tentang lima lathaif (jamak dari lathifah, substansi yang sangat lembut yang ada dalam diri manusia baik jasmani mauun ruhani sehingga memungkinkan manusia berhubungan dengan berbagai alam yang menjadi asal-muasal lathifah). Sedangkan pengaruh lain dari Naqshabandiyah dapat dilihat dalam praktek visualisasi rabithah (menghubungan ruhani murid dengan ruhani guru), baik sebelum maupun sesudah zikir dilaksanakan. Selain itu, jika zikir dalam tarekat Naqshabandiyah biasanya dipraktekkan secara samar dan dalam Qadiriyah diucapkan dengan suara yang keras maka Syeikh Khatib Sambas mengajarkan kedua cara dzikir ini. Demikianlah Khatib Sambas menggabungkan dua tarekat yang berbeda sehingga akhirnya TQN pun mengambil teknik spiritual utama dari dua aliran tarekat, Qadiriyah dan Naqshabandiyah.
Ajarah Syeikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karyanya berupa kitab Fathul Arifin yang merupakan notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Mekah pada tanggal tahun 1295 H. Kitab ini memuat tentang tata cara baiat, talqin, zikir, murAqabah dan silsilah TQN.
Buku inilah yang hingga saat ini masih dijadikan pegangan oleh para mursyid dan pengikut TQN untuk melaksanakan prosesi-prosesi peribadahan khusus mereka. Dengan demikian maka tentu saja nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas selalu dikenang dan di panjatkan dalam setiap doa dan munajah para pengikut tarekat ini.
Sepulang dari Mekah, murid-murid Syeikh Sambas yang sebelumnya telah diabaiat oleh sang Guru kemudian menyebarkan TQN ke daerah mereka masing-masing. Dari murid-muridnya inilah kemudian TQN tersebar luas di Nusantara. Tarekat Qadiriyah wa Naqsabhandiyyah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan pada akhir abad ke-19 tarekat ini menjadi sangat terkenal. TQN juga tersebar luas di Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalaam.
Di Indonesia, terdapat empat tempat penting sebagai pusat tarekat Qadiriyahh wa Naqshabandiyyah di Pulau Jawa yaitu: Rejoso (Jombang) di bawah bimbingan Syekh Romli Tamim, Mranggen (Semarang) di bawah bimbingan Syekh Muslih, Suryalaya (Tasikmalaya) di bawah bimbingan Syekh Ahmad Sahhibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom), dan Pagentongan (Bogor) di bawah bimbingan Syekh Thohir Falak. Rejoso mewakili garis aliran Ahmad Hasbullah, Suryalaya mewakili garis aliran Syekh Thalhah dan yang lainnya mewakili garis aliran Syekh Abdul Karim Banten dan penggantinya