Ads
Cakrawala

Menjinakkan Kekuatan Politik Islam

Pada masa Orde Baru terjadi pergeseran-pergeseran dalam orientasi partai Islam.  Hal ini tak luput dari upaya pemerintah untuk “masuk ke dalam” tubuh partai-partai Islam dalam upaya menggusur tampilnya kembali para pemimpin Islam yang sudah mengakar di masyarakat dan berpotensi menggoyang kekuasaan yang bertumpu pada kekuatan kaum militer itu.

Pemerintah Orde Baru agaknya  merasa kurang percaya diri untuk bisa leluasa menjalankan roda pemerintahannya kelak jika kekuatan politik yang berlandaskan (sentimen) agama masih diberi ruang gerak yang bebas. Adanya tindakan represif pemerintah karena melihat kekuatan politik kalangan Islam secara generalisasi itu terpantul dari Rancangan Undang-undang  Kepartaian yang diajukannya pada November 1966. Dalam rancangan itu, antara lain, pemerintah menginginkan agar semua partai yang ada tidak lagi mencantumkan asas dan ciri masing-masing selain Pancasila dalam anggaran dasar dan rumah tangga partai. Tetapi pembicaraan tentang rancangan undang-undang tersebut mengalami deadlock karena kalangan partai masih ingin mencantumkan  asas/ideologinya.

Presiden Soeharto dan ABRI menyadari bahwa mereka meraih kemenangan antara lain berkat dukungan tokoh-tokoh umat Islam; termasuk dari ormas-ormas simpatisan Masyumi. Pada era 1960-an kekuatan melawan komunis, yang terhimpun dalam barisan Front Pancasila, bisa dikatakan solid. Barisan ini lantas bergabung dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Organisasi ini dibentuk untuk menghadapi sisa-sisa kekuatan komunis Indonesia.

Salah satu unsur terpenting dalam barisan itu adalah kekuatan Islam, termasuk dari anggota-anggota (eks) Masyumi, mahasiswa dan pelajar Islam (Himpunan Mahasiswa Islam/HMI dan Pelajar Islam Indonesia/PII) yang menjadi kekuatan inti Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Kekuatan-kekuatan Islam, terutama Masyumi, merupakan kekuatan sipil yang konsekuen dan berada di garis depan dalam menentang komunisme. Seperti terlihat dalam sejarah bahwa Masyumi sangat gigih menentang kegiatan PKI dalam segala bentuk manifestasinya. Tetapi ketika muncul tuntutan dari tokoh-tokoh Masyumi yang baru bebas dari tahanan rezim Orde Lama untuk merehabilitasi partainya, Presiden Soeharto tegas menolak dengan alasan “yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis”. Soeharto  bersikap tegas dengan menyatakan bahwa pemerintah menolak setiap teror keagamaan dan akan menindak setiap usaha eksploitasi masalah agama untuk maksud-maksud kegiatan politik yang tidak pada tempatnya.

Sementara menolak upaya rehabilitasi Partai Masyumi, pemerintah Orde Baru menyiapkan wadah politik lain untuk menampung keinginan politik sebagian umat Islam  yang tidak tertampung dalam partai-partai Islam yang sudah ada. Pemerintah juga ingin meredam faktor-faktor yang bakal menyulitkan dukungan dan partisipasi umat Islam dikemudian hari, akibat penolakannya terhadap tuntutan rehabilitasi Masyumi tahun 1968 itu.

Selain itu, tahun 1967, terbetik pula berita bahwa Bung Hatta dan para alumni HMI yang antara lain dipelopori oleh Deliar Noer bermaksud mendirikan partai pengganti Masyumi bernama Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Tetapi PDII  tidak mendapat restu pemerintah dan kurang mendapat sambutan dari kalangan umat Islam. Sebelumnya, tahun 1964, juga muncul kabar adanya keinginan Muhammadiyah untuk mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) sebagai alternatif jika Masyumi tidak diperkenankan hidup lagi.

Maka, melalui SK Presiden No.70 tahun 1968 berdirilah partai baru, pada 5 Februari 1968, dengan nama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Djarnawi Hadikusumo diangkat  ketua umum dan Lukman Harun sebagai sekretaris jenderal. Anggota pengurus lainnya di antaranya Agus Sudono (Gasbiindo/Gabungan Sarikat Buruh Islam Indonesia), H.M. Sanusi (Muhammadiyah), Djailani  Naro (Al Washliyah), Daud Badaruddin (KBIM), Chadidjah Razak (Wanita Islam) dan Umar Tusin (SNII).

Parmusi, secara formal, dianggap bukan merupakan kelanjutan Masyumi dan disediakan sebagai wadah yang menampung aspirasi politik umat Islam di luar partai yang sudah ada (NU, PSII dan Perti). Dalam pertemuan dengan Presiden Soeharto sebelum diumumkannya “Partai Muslimin Indonesia”, Presiden Soeharto antara lain mengatakan, “Partai Muslimin  Indonesia ini bukanlah merupakan rehabilitasi Masyumi. Oleh karena itu hendaknya orang-orang bekas pimpinan Masyumi jangan ikut dalam pimpinan partai, cukuplah memberi nasihat dari belakang.”

Paling tidak ada sembilan ormas yang mendukung dan masuk menjadi anggota Parmusi; yaitu Muhammadiyah, Wanita Islam, HSBI, Al-Wasliyah, Persatuan Islam Nahdatul Wathan, Mathlaul Anwar, Sarekat Nelayan Islam Indonesia, Kesatuan Buruh Islam Merdeka, dan Persatuan Umat Islam, yang sebelum membentuk partai tergabung dalam wadah Amal Muslimin. Aisyah Aminy, yang ikut terlibat pembentukan Parmusi mengatakan, bahwa partai tersebut  Parmusi itu didirikan atas arahan Presiden Soeharto untuk menampung aspirasi umat Islam yang tidak bisa disalurkan melalui partai-partai Islam lainnya, setelah permintaan rehabilitasi Masyumi ditolak. Meski umat Islam ikut berjuang menghancurkan komunis bersama ABRI, tentara masih trauma dengan pemberontakan PRRI. Padahal yang terlibat bukan Masyumi, tapi oknum-oknumnya saja. Dengan didirikannya partai politik Islam yang baru ini pula,  berarti pemerintah telah secara tegas menutup kemungkinan rehabilitasi Masyumi, dan pendirian PDII dan PII.

Partai Islam Berbaju Baru

Dengan membuat partai baru itu, paling tidak ada dua keuntungan yang diperoleh rezim. Pertama, hendak memutus kaitan historis partai dengan para pendukungnya, terutama di tingkat grass-root-nya. Kedua, menciptakan hubungan dan pola-pola baru para aktivisnya dengan pemerintah. Ini merupakan salah satu strategi yang dimainkan pemerintah Orde Baru agar lebih mudah mengontrol gerak perkembangan partai di masa-masa mendatang. Dalam konteks tertentu, Parmusi juga dirancang sebagai bagian yang dapat diandalkan untuk menangkal kemungkinan tumbuh-kembalinya gerakan komunis. Oleh karena itu bisa dipahami jika muncul pertanyaan, apakah Parmusi merupakan wadah untuk menampung aspirasi umat Islam atau untuk menampung aspirasi pemerintah. Bahkan tidak sedikit yang merasa bahwa Parmusi adalah partai Soeharto. Di daerah-daerah kekecewaan umat Islam terhadap wadah baru ini tampak dari rendahnya keinginan untuk menjadi anggota Partai. Para pendukung juga kecewa terhadap kualitas kepemimpinan partai; beberapa pemimpin partai ini juga tampak lemah, khususnya jika dibandingkan dengan kepemimpinan dalam Masyumi yang kuat dan berpengalaman. Jika mereka melihat pemimpin yang sekarang, kata seorang pendukung tua Masyumi, serta merta mereka akan mengingat Natsir dan Prawoto.

Pada kenyataannya, orang-orang yang duduk dan aktif dalam Parmusi bukanlah orang yang jauh dari Masyumi. Apalagi jika melihat bahwa tawar-menawar atau pencarian jalan tengah apakah merehabilitasi atau membentuk partai baru, yang dilakukan pemerintah rupanya memang lebih untuk mengatasi kengototan tokoh-tokoh Masyumi yang menuntut hak berpolitik melalui cara rehabilitasi partai Islam terbesar era 1950-an tersebut. Dalam proses pembentukan Parmusi itu, misalnya, Presiden Soeharto menunjuk Ali Murtopo, Sudjono Humardani dan Tjokropranolo (ketiganya asisten pribadi presiden yang membidangi politik, sosial dan militer) untuk berunding dengan Panitia 7 dari pihak kalangan Islam yang diketuai oleh Prawoto Mangkusasmito, bekas ketua umum Masyumi terakhir saat dibubarkan oleh Presiden Soekarno tahun 1960.

Kehadiran Parmusi sebagai partai Islam “berbaju baru” — yang dianggap  kelanjutan dari Masyumi — relatif mendapat sambutan berbagai kalangan umat Islam. Namun, sebagaimana kerapkali menimpa partai baru, Parmusi juga mempunyai beberapa persoalan bawaan  yang mengiringi para tokoh terasnya. Dari kacamata lain, sebenarnya persoalan baru partai Islam paska G30S, adalah kesiapan mereka menghadapi perubahan. Perdebatan tentang perlu atau tidaknya partai politik  dengan orientasi ideologis diperkenankan hidup lagi terjadi kala itu. Kritik dari dalam dilontarkan sebagian orang. Mochtar Lubis menyuarakan tuntutan agar partai politik dibubarkan karena sepak terjangnya telah merusak demokrasi dan tidak lagi memiliki daya kreatif untuk pembaharuan. Juga, Sjafruddin Prawiranegara, bekas anggota pimpinan teras Masyumi, mengajukan tuntutan yang mengejutkan dengan manyatakan bahwa partai-partai Islam yang ada saat itu dibubarkan saja, sebab mereka saling bertentangan bukan karena masalah khilafiah, tetapi lebih karena kursi dan kedudukan.

Hal ini bisa dilihat dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang masih ingin mempertahankan romantisme politik masa lalu, yang sebagian didukung oleh tokoh-tokoh tua Masyumi berpengaruh — yang biasanya disebut kelompok Islam ideologis dengan tampak luar ingin terus mempertahankan Islam formal —  berhadapan dengan kelompok yang lebih melihat realitas di alam/suasana baru dalam kenyataan represif pemerintah yang mendesakkan konsep baru pembangunan yang menitik-beratkan pada pemulihan kondisi ekonomi — biasanya disebut kelompok reformis atau akomodasionis yang tampak memiliki hubungan lebih dekat dengan  pemerintah.

Konstelasi ini terlihat jelas ketika Parmusi menyelenggarakan Kongres I di Malang, 1968. Dalam kongres itu terpilih Mohammad Roem sebagai ketua umum dengan suara telak. Pemerintah, melalui Sekretaris Negara Letjen Alamsjah Ratu Prawiranegara, menyatakan tidak menyetujui pengangkatan Mohamad Roem yang pernah menjadi Wakil Ketua III Masyumi sebelum dibubarkan. Terjadilah kondisi dilematis. Di satu sisi keputusan Kongres merupakan bentuk aspirasi riil dan amanah para anggotanya, di sisi lain diperlukan “restu” dan pengesahan pemerintah untuk formalitas dan administrasi sebagai syarat keikutsertaan partai dalam proses berpolitik selanjutnya. Sementara menunggu clearence dari pemerintah, pimpinan Parmusi tetap dipegang Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun.

Dalam masa menunggu klarifikasi pemerintah itu terjadi kemelut di kalangan pimpinan Parmusi. Djailani Naro-Imran Kadir dan kawan-kawan melakukan manuver politik dengan membentuk dewan pimpinan Parmusi tandingan, yang dianggap pula sebagai sebuah kudeta terhadap kepemimpinan Djarnawi-Lukman. Kemelut pun merembet ke beberapa pimpinan cabang Parmusi di daerah. Parmusi berada dalam situasi krisis di usia belum genap dua tahun. Padahal, Parmusi sebagai partai yang cukup mendapat sambutan itu juga memiliki kans dalam pemilu yang akan segera dilaksanakan.   

Untuk mengatasi kemelut di tubuh Parmusi itu, dicari jalan tengah di antara pimpinan yang bertikai. Akhirnya, kemelut teratasi dengan pengangkatan H. Mohammad Safaat Mintaredja, SH, aktivis Muhammadiyah, ketua umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam periode 1947-1948, sebagai ketua umum,  dan Sulastomo, juga mantan Ketua Umum PB HMI, sebagai sekretaris jenderal. H.M.S. Mintaredja ditetapkan pemerintah sebagai pemimpin Parmusi melalui Surat Keputusan (SK) No. 77 Tahun 1970. Kepemimpinan Mintaredja ini berlangsung hingga terjadi fusi partai-partai Islam menjadi PPP tahun 1973. Dan ia diangkat menjadi ketua umum PPP hingga tahun 1978, saat menyerahkan jabatan ketua umum itu kepada Djailani Naro.

Dari dinamika internal Parmusi itu sesungguhnya dapat dicarikan kaitan lebih lanjut untuk melihat perkembangan partai Islam berikutnya, bahwa telah terjadi pergeseran-pergeseran dalam orientasi partai Islam melalui sepak terjang tokoh-tokohnya. Hal ini tak luput dari upaya pemerintah untuk “masuk ke dalam” tubuh partai-partai Islam dalam upaya menggusur tampilnya kembali para pemimpin Islam yang sudah mengakar di masyarakat dan berpotensi menggoyang kekuasaan Orde Baru.  Dari sudut pandang tertentu, kiranya benarlah pandangan yang menyatakan bahwa penolakan terhadap tokoh Masyumi moderat Mohammad Roem sebagai ketua Parmusi, kudeta Naro, hingga terpilihnya H.M.S. Mintaredja sebagai keberhasilan selangkah demi selangkah pemerintah untuk memperlambat pertumbuhan, kalau bukan membonsai, partai-partai sekaligus melakukan sekularisasi atau penghilangan ideologi agama di dalam tubuh partai Islam. Tokoh-tokoh seperti H.M.S. Mintaredja, Agus Sudono, H.M. Sanusi, Imran Kadir, dan Djaelani Naro dikenal sebagai kalangan yang cenderung memandang Islam sebagai identitas agama yang bersifat pribadi belaka. Dalam praktik politiknya mereka cenderung akomodatif terhadap pemerintah. Bagi mereka politik merupakan masalah duniawi yang terpisah dari agama. Tentu saja, pemerintah lebih suka kepada mereka yang cenderung berwawasan seperti itu (sekuler).

Penggambaran lain tarik-menarik kepentingan para tokoh elite politik di tubuh partai Islam itu dilukiskan M. Dawam Rahardjo (1995) dengan cukup menarik. Menurut aktivis dan pemikir Muslim ini, jika berbicara tentang Islam sebagai Masyumi atau  kelompok modernis, maka tidak seluruh kelompok ini melakukan oposisi terhadap Orde Baru, seperti halnya Dewan Dakwah Islam (DDI) yang dipimpin oleh M. Natsir dan kemudian Dr Anwar Harjono. Unsur-unsur Masyumi ––yang  dalam Pemilu 1955 kuat di Jawa Barat dan luar Jawa, atau di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan yang kuat NU-nya–– di masa Orde Baru (ternyata) bergabung dengan Golkar. Di Jawa Barat disimbolkan oleh KH E.Z. Muttaqien; dan di Jawa Timur, penampilan K.H. Mukti atau Ridwan Hasyim dapat disebut mewakili unsur Masyumi dalam Golkar. Di Jawa Barat, justru karena besarnya pendukung Masyumi, umat Islam merasa lebih selamat bergabung dengan Golkar. Sebaliknya di Jawa Timur, karena menghadapi NU, orang-orang Masyumi memilih bergabung dengan Golkar. Sebaliknya, Golkar sejak awal juga tidak bermaksud menyisihkan Masyumi, karena kekuatan ini diperlukan, terutama dalam menghadapi NU yang dalam pemilu-pemilu secara tradisional menjadi tulang punggung PPP.

Teologi Politik Umat

Di Departemen Agama, sebagai tangan pemerintah yang dilatar-belakangi Golkar itu, untuk menegakkan orde Korpri dan sekaligus juga Golkarisasi, sangat memerlukan orang-orang Masyumi yang  militan dalam menghadapi NU. Karena itu maka tokoh Golkar Ali Murtopo menyetujui pengangkatan Prof. H.A. Mukti Ali sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan I dan anak buahnya yang berorientasi Masyumi, seperti Kafrawi Ridwan dan Zarkowi Suyuti, untuk melaksanakan misi itu. Sementara untuk tandingan terhadap kekuatan ulama NU di tingkat masyarakat, GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam, yang didirikan tahun 1950) dirangkul oleh Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani menjadi keluarga besar Golkar. Padahal GUPPI mempunyai basis sosial dan aliran keagamaan yang sama dengan NU. Tetapi orang-orang Masyumi dimasukkan  ke tubuh organisasi ini melalui Departemen Agama.

Dalam konteks pergulatan lebih lanjut dari para tokoh partai Islam, memang tampak perhadapan antara dua kelompok tersebut; yang akomodatif terhadap pemerintah berseberangan dengan yang tetap ingin memegang ideologi, aliran, dan asas-asas ala partai Islam dan yang ingin tetap terus mengibarkan formalitas (bendera) Islam. Dinamika tersebut sebenarnya juga menimpa semua partai Islam Indonesia pada dasawarsa pertama hingga kedua pemerintahan Orde Baru. Dengan semakin longgarnya pemikiran, sikap, dan pandangan ideologis yang menyatukan agama dan partai, maka lobi-lobi untuk mencapai kesepakatan dalam politik dengan azas “tak ada perjuangan dan sahabat yang abadi melainkan ‘kepentingan’-lah yang abadi” memperoleh tempatnya.

Episode berikutnya adalah semakin menguatnya pengaruh kekuasaan eksekutif melalui kaki-tangannya di berbagai ruas jalan perpolitikan nasional. Pemerintah boleh dikata, menutup semua ruas jalan, ke dalam dan ke luar. Yang ke dalam meliputi dua cara; yaitu  penguatan partai pendukung pemerintah (Golkar) dan melakukan pembersihan sekaligus penguatan jajaran birokrasi pemerintahan hingga ke daerah guna menjamin loyalitas mereka terhadap pemerintah pusat. Yang ke luar ialah dengan menciptakan ketergantungan partai-partai politik kepada pemerintah melalui berbagai aturan main perpolitikan nasional.

Agar mereka tergantung, pemerintah menempuh dua langkah, yaitu dengan berupaya melakukan sekularisasi politik dan agama melalui tokoh-tokohnya, dan ––secara struktur–– menyederhanakan jumlah partai politik. Sekularisasi kemudian berubah bentuk menjadi keharusan penerimaan asas tunggal, dan penyederhanaan jumlah partai selanjutnya berbentuk fusi atau peleburan partai-partai. Setelah pemilu pertama masa Orde Baru (Pemilu 1971) hasilnya dimenangkan secara telak oleh Golkar yang memperoleh 62,8 persen  suara yang mengalahkan sembilan kontestan lain, maka menjadi bukti dan legitimasi bagi pemerintah untuk menindaklanjuti konsep-konsep dan kebijakan politik yang sudah dirancang itu.

Sekularisasi berkaitan dengan peran politik Islam semakin berkembang lebih lanjut setelah gagasan “pembaruan pemikiran Islam” dari cendekiawan Muslim muda usia, Nurcholish Madjid,  muncul dan menyeruak ke tengah-tengah masyarakat melalui slogan seperti “Islam yes, partai Islam no”, yang dimunculkan sejak awal tahun 1970-an. Lebih lanjut pemikiran mantan ketua umum PB HMI yang “mengguncangkan” teologi politik sebagian kaum Muslim Indonesia ini akan didiskusikan pada bagian lain.   

Akhir November 1969, mengikuti jadwal Pemilu yang harus diselenggarakan tahun 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan Undang-Undang No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan Undang-Undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Dengan kata lain, UU untuk Pemilu pertama era Orde Baru itu baru selesai tiga tahun setelah keluar amanat Tap MPRS 1966; dan pemilihan umumnya diselenggarakan 5 tahun kemudian. Rupanya, ada semacam skema yang memang sedang dibuat dalam rentang waktu tersebut. Dengan ditundanya penyelenggaraan pemilihan umum, berarti pemerintah mempunyai waktu untuk menyiapkan Golkar dan mesin politik lain untuk memenangkan pemilu.  

Dalam Pemilu 1971, ada beberapa hal yang membedakannya dengan Pemilu 1955. Salah satu yang signifikan ialah tentang netralitas para pejabat negara. Jika pada Pemilu 1955 para pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai, bisa ikut menjadi calon partai secara formal, tetapi pada Pemilu 1971 para pejabat negara diharuskan bersikap netral. Namun pada praktiknya, pada Pemilu 1971 itu, para pejabat pemerintah ternyata berpihak kepada salah satu peserta pemilu (Golkar).

Sesungguhnya pemerintah telah melakukan berbagai rekayasa yang menguntungkan Golkar. Seperti kebijakan-kebijakan yang mengarahkan pada dukungan penuh terhadap partai baru bentukan rezim Orde Baru itu. Tahun 1969, Menteri Dalam Negeri Amirmachmud mengeluarkan Peraturan Menteri No. 12 Tahun 1969, populer dengan nama ‘Permen 12’ yang memuat ketentuan-ketentuan guna memurnikan Golkar di DPRD Tingkat I dan II. Menyusul kemudian, keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 1970 yang mewajibkan seluruh pegawai negeri untuk memiliki loyalitas tunggal kepada pemerintah. Dan bersamaan dengan konteks itu, dikeluarkan pula formulir Korps Karyawan Pemerintahan Dalam Negeri atau Kokarmendagri.

Selanjutnya, upaya pemerintah menata birokrasinya itu antara lain dengan membuat wadah tunggal Korps Pegawai Negeri (Korpri) bagi seluruh pegawai negeri dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) No. 82 Tahun 1971. Tujuannya ialah menggiring pegawai negeri dan keluarganya agar memberikan dukungan kepada Golkar. Meskipun, dalam Pasal 2 Anggaran Dasar-nya dinyatakan bahwa tujuan wadah ini ialah untuk ‘lebih meningkatkan pengabdiannya dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan’. Sehingga, tujuan dalam Anggaran Dasar Korpri itu lantas menjadi formalitas belaka dibanding dengan kepentingan pemerintah untuk memenangkan Golkar.

Sementara itu, penyempitan ruang gerak dan pembungkaman terhadap tokoh-tokoh yang dianggap berhaluan keras di tubuh partai, terutama partai-partai Islam, tak henti dilakukan. Setelah penolakan terhadap Mohamad  Roem dan mengangkat H.M.S. Mintaredja, yang dianggap lebih akomodatif, giliran PSII yang juga “dibersihkan”. Ini terjadi ketika PSII menyelenggarakan Muktamar paska Pemilu 1971. Dalam Muktamar PSII di Majalaya, Jawa Barat, itu terpilih H.M. Ch. Ibrahim sebagai Presiden Lajnah Tanfidziah, H. Wartomo Dwidjojuwono sebagai Sekjen, dan H. Bustaman SH sebagai Ketua Dewan Pusat.

Pemerintah tidak menyukai orang-orang tersebut karena dianggap berhaluan keras. Para pimpinan PSII hasil Muktamar Majalaya itu menolak ide fusi partai-partai Islam. Mereka mengeluarkan instruksi (No.193/18 Oktober 1972) kepada wilayah dan cabang PSII untuk tidak menghadiri pertemuan yang membicarakan fusi partai-partai. Lalu, terjadi kemelut internal di PSII, sehingga beberapa pimpinan partai PSII yang lain membentuk Tim Penyelamat dipimpin Anwar Tjokroaminoto, M.A Gani, Syarifuddin Harahap, H. Th. M. Gobel, dan Farid Bakry Laksamana dan kawan-kawan. Tim penyelamat itu yang kemudian mengambil alih pimpinan PSII setelah dilakukan perundingan kedua belah pihak. PSII dengan kepemimpinan Anwar Tjokroaminoto inilah yang kemudian bergabung bersama empat partai Islam lain dalam PPP tahun 1973.

Sedangkan dalam partai NU, relatif tidak terjadi gejolak berarti di permukaan, meskipun Partai NU memperoleh suara terbanyak setelah Golkar pada Pemilu 1971. Tampaknya, pola-pola hubungan khas antara kyai dan ulama sebagai elite dengan massa pendukung atau para anggota dalam organisasi NU lebih bisa menyatukan suara di lapisan bawah dan atas ormas Islam terbesar ini. Dan bagi pemerintah, pendekatan terhadap NU tampaknya lebih mudah dilakukan. Sementara untuk Perti, pemerintah merasa tidak perlu khawatir mengingat potensi organisasi yang sarat dengan muatan lokal ini dianggap tidak akan bisa berkembang menjadi besar.     

Pada mulanya semua partai politik yang ada cukup antusias untuk segera mengadakan pemilu. Partai-partai ingin segera bisa memasuki pemilihan umum karena berharap akan dapat mengembalikan nama baiknya dan mengembalikan peranan dan fungsinya seperti masa-masa kejayaannya di masa sebelumnya. Bung Karno sendiri, pada akhir-akhir upayanya untuk mengembalikan posisinya yang sudah di ujung tanduk, berteriak agar segera diadakan pemilihan umum sebagai batu ujian bagi siapa saja yang berhak menamakan dirinya atas nama rakyat.

Tetapi ABRI masih ingin lebih yakin dengan persiapan dirinya agar partai bentukannya, Golkar, dapat memenangkan pemilu pertama yang akan dijadikan kunci untuk penguasaan pemerintahan Orde Baru secara lebih kuat. Sesuai dengan amanat Seminar Angkatan Darat di Bandung 1966, ABRI harus mengawal pemerintah Orde Baru dan menjamin berlakunya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Berbagai upaya pengamanan dilakukan. Salah satu di antaranya ialah melalui pemantapan fungsi politik ABRI yang memposisikan dirinya dalam dwifungsi. Dengan dicanangkannya dwi-fungsi ABRI berarti ada jaminan kuat bagi peran politik bagi ABRI dalam pemerintahan.

Dwifungsi lantas menjadi semacam legalitas bagi ABRI dan sekaligus bukti akan kecenderungan, arah dan gaya pemerintahan Soeharto kemudian. Dengan menyatakan diri menganut Demokrasi Pancasila yang diungkapkan dengan slogan ‘pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen’ menjadi dorongan moril bagi rezim Orde Baru (dengan kekuatan dan dukungan penuh ABRI, terutama Angkatan Darat) untuk menancapkan pilar-pilar bangunan pemerintahannya. Selain upaya awal permurnian Golkar hingga ke DPRD Tingkat II, juga dilakukan konsolidasi pejabat pemerintahan hingga ke tingkat Kecamatan dan Desa. Jumlah pejabat militer yang mengepalai pemerintahan daerah  tetap signifikan Pada tahun 1968, 68 persen jabatan kepala daerah tingkat satu didiki tentara. Dominasi militer juga tampak dalam pemerintahan kabupaten/kotamadya. Pada tahun awal 1970-an, misalnya, perwira militer yang menjadi bupati di Jawa Timur 72 sampai 84 persen. Dominasi tentara dalam jabatan eksekutif di tingkat lokal ini sangat menguntungkan Golkar Posisi-posisi birokrasi yang strategis itu selanjutnya menjadi perpanjangan tangan rezim pemerintahan dan menjadi unsur dalam Golkar. Partai ini membuat “jalur-jalur” yang merupakan unsur-unsur dalam tubuh partainya; jalur A (ABRI), B (birokrasi) dan G (kekaryaan atau sipil).

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda