Pada masa Demokrasi Terpimpin pendulum kekuasaan sebenarnya bergerak di sekitar tiga pusat kekuasaan: Soekarno, PKI dan Angkatan Darat. Mengapa Orde Baru mencurigai Islam politik yang ikut menumbangkan kekuatan komunis
Partai NU, PSII dan Perti adalah tiga partai Islam yang mampu bertahan hidup selama periode Demokrasi Terpimpin. Mereka dapat bertahan karena, seperti dikatakan Deliar Noer (1992), menganut politik penyesuaian diri. Meski begitu, dalam menghadapi komunisme, partai-partai Islam ini boleh dibilang keras. Bahkan NU dan PSII selalu menolak saran dimasukkannya unsur PKI dalam kabinet. Partai-partai ini juga secara spontan memberi dukungan terhadap komandan wilayah militer Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan yang membekukan kegiatan PKI pada tahun 1960
Melihat berbagai kemerosotan ekonomi di masyarakat, partai-partai Islam pun tidak tutup mata. Hanya saja dalam menghadapinya, seperti yang diperlihatkan oleh NU, seolah tidak tegas karena menghadapinya dengan dua cara. Kepada rakyat NU ingin mengesankan bahwa pemerintah, terutama Soekrno, sudah bekerja untuk kepentingan Islam dan rakyat umumnya. Sedangkan kepada pemerintah NU meminta perhatian untuk mencari jalan bagi perbaikan ekonomi yang sedang merosot itu – hal ini antara lain ditandai dengan besarnya inflasi yang mencapai 650 persen, kurang tersedianya bahan pangan dan pakaian sehingga terjadi antrean di depan toko. Ahasil, keadaannya mirip seperti pada zaman pendudukan Jepang.
Salah satu usaha yang dilakukan NU, PSII dan Perti dan boleh dibilang berhasil adalah di bidang pendidikan. Pertama, dimasukkannya pendidikan agama di perguruan tinggi mulai tahun 1960 berdasarkan keputusan MPRS. Pelajaran agama sebelum diusahakan oleh ketiga partai ini hanya diberikan di jenjang pendidikan dasar sampai menengah. Kedua adalah pembukaan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) pada tahun 1960 di Yogyakarta dan Jakarta. Dibandingkan dengan dua partai lainnya, saham NU dalam pendirian IAIN yang paling besar. Kalangan NU-lah yang kemudian paling banyak terlibat dalam usaha pembinaan IAIN, yang berada di bawah Departemen Agama. Hal ini wajar-wajar saja karena Departemen Agama pada masa Demokrasi Terpimpin dikuasai oleh NU. Oleh karena keterbatasan tenaga di kalangan tradisional, Menteri Agama akhirnya mengangkat staf IAIN dari kalangan moderenis karena banyak di antara mereka yang mampu mengajar di perguruan tinggi.
Tapi mengapa ketiga partai Islam ini bagai tanpa reserve mendukung setiap kebijaksanaan Soekarno, bahkan dengan dalil-dalil keagamaan termasuk dalam mengganyang Malaysia yang notabene sebagian besar penduduknya Muslim?
Kita ketahui, ketiga partai tersebut amat gigih mempertahankan ideologi Islam di Konstituante, tapi mereka bersedia duduk di Kabinet Djuanda pada tahun 1957 yang hanya menjalankan konsepsi Presiden Soekarno yaitu Demokrasi Terpimpin. Bagi NU, yang punya pengikut besar dibandingkan dengan dua partai lainnya, tampaknya beranggapan bahwa Islam di Indonesia sudah berada di tangan yang baik. Ketua Umum PBNU Idcham Chali dalam pidato menyambut ulang tahun NU ke-35 pada bulan Desember 1961 menyerukan agar umat Islam tidak meratap dan menangis tentang nasib agama Islam jika urusannya sudah berada di tangan ahlinya; umat boleh menangis jika urusannya ditangani orang bukan ahlinya.
Bagi Idham Chalid, yang terpenting dalam berpolitik adalah berorientasi pada kemaslahatan dan berguna bagi banyak orang. Oleh karena itu, dalam pelaksanaanya tidak perlu atau harus ngotot dan kaku dalam bersikap, sehingga umat senantiasa terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi di masa itu kondisi politik sedang mengalami banyak tekanan keras dari pihak penguasa dan partai politik radikal semacam PKI dengan gerakan reformasi agraria (land reform) dan pemberontakannya. Strategi politik yang dijalankannya berpegang pada tiga prinsip. Pertama, lebih menekankan sikap hati-hati, luwes dan memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi yang justru membahayakan kepentingan umat. Kedua, politik yang memperhitungkan kekuatan umatnya di hadapan kekuatan rezim atau kekuatan lain di tengah masyarakat. Ketiga, dengan melibatkan diri dalam pemerintahan berarti punya peluang untuk memengaruhi kebijakan penguasa demi kemaslahatan umat. Ahmad Muhajir (2007)
Akan tetapi, menurut Deliar Noer (1992) ada beberapa faktor mengapa ketiga partai itu menyokong Spekarno. Pertama, hubungan mereka dengan Masyumi tidak mesra; Perti pada 1945/1946 ketika organisasi ini berubah menjadi partai politik; untuk PSII sejak ia dihidupkan kembali sebagai partai pada tahun 1957, sedangkan bagi NU sejak ia menjadi partai politik pada tahun 1952. Oleh karena ada ada persaingan dengan Masyumi, lambat laun mereka tergantung kepada Presiden Soekarno yang sebelumnya ditentang oleh Masyumi.
Kedua faktor kharisma Soekarno sendiri. Bagi PSII, hubungan pribadi keluarga Tjokroaminto dengan Soekarno pada tahun 1920-an tampaknya mengikat juga. Soekarno pernah menikah dengan salah satu putri Tjokroaminoto, dus dia pernah jadi ipar Tjokro bersaudaraa yaitu Anwar dan Harsono.
Ketiga, pertimbangan-pertimbangan agama terutama yang digunakan NU dan Perti. Bahkan jauh sebelum masa Demokrasi Terpimpin Soekarno diberi gelar waliyyul amri dharuri bisy-syaukah. Pada awalnya gelar dan kedudukan ini diberikan berkaitan dengan masalah nikah. Tetapi pada masa Demokrasi Terpimpin keterikatan NU dan Perti berdasarkan gelar tersebut.
Pada masa Demokrasi Terpimpin pendulum kekuasaan sebenarnya bergerak di sekitar tiga pusat kekuasaan: Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Angkatan Darat. Soekarno yang berusaha melakukan konsolidasi berbagai kekuatan tersebut gagal karena kekuatan-kekuatan tersebut sebenarnya saling menghancurkan. Begitulah ketika terjadi percobaan kudeta pada 30 September 1965, Soekarno dan Partai Komunis Indonesia dihancurkan oleh kekuatan Angkatan Darat – tentunya dengan sokongan luar biasa dari kalangan Islam, yang sejak awal memang sudah dikenal anti-komunis. Maka, tidak heran jika di kalangan umat muncul optimisme yang luar biasa menyambut zaman baru itu.
Jadi Sasaran Kecurigaan Orba
Sebelum Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto berdiri pada 1966, keadaan ekonomi Indonesia sangat parah. Hal ini bisa dilihat dari tingkat inflasi yang sangat tinggi, yaitu di atas 600 persen, persediaan uang 800 kali lebih tinggi dibandingkan tahun 1955 dan defisit pemerintah 780 kali lebih banyak dari tahun 1961.
Prioritas pertama yang diberikan oleh pemerintah Orde Baru adalah mengendalikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Setelah menghancurkan komunis pada tahun 1966, kucuran pinjaman dari Negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Jepang, mulai mengalir. Inflasi pun bisa dijinakkan, pada tahun 1969 angkanya sudah turun sangat drastis menjadi hanya 10 persen Setelah berhasil melakukan stabilisasi ekonomi, Soeharto mulai mencanangkan apa yang dinamakan Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun yang dimulai pada tahun 1968. Modal asing mulai masuk, industrialisasi segera dilaksanakan dan bahkan memperoleh prioritas dalam pembangunan. Bersamaan dengan pemulihan keadaan ekonomi, pemerintah Orde Baru juga mulai menata kehidupan politik. Pemerintahan Soeharto meyakini benar bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berjalan lancar jika keadaan politik tidak stabil. Jika tugas perencanaan ekonomi diiserahkan kepada kaum teknokrat, penataan kehidupan politik diserahkan kepada kelompok tentara di mana orang-orang seperti Amirmachmud dan Ali Murtopo mempunyai peranan besar dalam “menertibkan” kehidapan politik di Tanah Air.(Crouch, 1978).
Pemerintahan Orde Baru lahir atas dukungan koalisi dari kekuatan-kekuatan masyarakat yang antikomunis. Kekuatan-kekuatan ini terdiri atas kelompok militer, khususnya Angkatan Darat, kelompok Islam, dan kelompok borjuasi yang tersingkir pada zaman Soekarno. Selanjutnya, kelompok militer semakin dominan dan menjelma menjadi pemimpin yang tidak tertandingi dalam koalisi ini. Kelompok modernis Islam yang dulu menentang dan kemudian disingkirkan Soekarno menuntut hak mereka untuk kembali dalam percaturan politik. Tetapi permintaan mereka agar pemerintah merehabilitasi Masyumi ditolak oleh Soeharto. Bahkan para pemimpin Masyumi dilarang untuk duduk di pucuk pimpinan partai-partai Islam yang ada. Mohammad Natsir, bekas pemimpin Masyumi, melukiskan situasi politik Islam pada awal Orde Baru dengan ungkapan yang agak dramatis, “they treat us as a cat with ringworms.” (Muhammad Kamal Hasan, 1982).
Begitu pula dengan kaum borjuasi yang menuntut direhabilitasinya Partai Sosialis Indonesia. Seperti halnya yang menimpa Masyumi, Partai Sosialis Indonesia tidak direhabilitasi dan para pemimpinnya tidak diperbolehkan aktif di partai-partai politik yang ada. Kedua partai ini dianggap berdosa karena menentang pemerintah yang berkuasa lewat pemberontakan PRRI/Permesta, walaupun itu adalah pemerintah Soekarno yang ditentang oleh Soeharto. Pemerintah Orde Baru tidak ingin berkoalisi dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada, dan lebih memilih memperkuat kelompok kecil yang dulu ikut dibentuknya pada tahun-tahun akhir pemerintahan zaman Soekarno yaitu Sekretariat Bersama Golongan Karya atau Sekber Golkar.
Meski kelompok Islam punya saham yang besar dalam proses pembentukan Orde Baru, dengan keikutsertaannya melawan kekuatan komunis bersama kaum militer, posisi mereka dalam kehidupan politik selalu menjadi sasaran kecurigaan politis dan ideologis. Pada masa-masa itu politik Islam sering diposisikan sebagai gerakan ekstrem kanan, sebagai ancaman bagi gagasan negara-bangsa dengan Pancasila sebagai dasarnya. Oleh karena kekuatan politik Islam tidak mungkin dihancurkan sama sekali seperti halnya kekuatan komunis, maka langkah yang paling realistis bagi rezim Orde Baru, seperti dikemukakan Allan Samson (1972) adalah dengan melakukan domestikasi. Dalam konteks ketertiban politik, hal ini sebenarnya juga berlaku bagi kekuatan-kekuatan politik lainnya di luar negara. Seperti halnya kekuatan politik Islam, ruang gerak mereka sangat dibatasi. Jadi, sebagaimana pada rezim terdahulu, watak otoritariansme tetap melekat pada Orde Baru.
Perbedaan antara kedua rezim ini terletak pada ideologi yang dianut dan aliansi kelasnya. Jika rezim Demokrasi Terpimpinnya Soekarno menganut ideologi nasionalisme populis, ideologi yang dipakai Orde Baru adalah ideologi pembangunan, lebih khusus lagi pembangunan ekonomi yang bersifat teknokratis dan birokratis. Yang menjadi mitra aliansi utama Orde Baru adalah kelompok pengusaha, yang menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi, dan kaum profesional/birokrat. Di kalangan penguasaha, terdapat dua kelompok yaitu pengusaha nonpri terutama keturunan Cina yang memerlukan perlindungan politik dan fasilitas negara dalam rangka ekspansi bisnis mereka, dan pengusaha pribumi yang kebanyakan adalah orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan elite penguasa. Oleh karena kelompok pengusaha ini tergantung kepada negara, kelompok ini tidak mempunyai kekuatan untuk menyuarakan kepentingan mereka terhadap perlakuan negara. (Richard Robison, 1986).
Kehati-hatian pemerintah Orde Baru itu lebih bisa dimengerti sebagai tindakan represif (ketimbang mengayomi) terhadap kelompok-kelompok umat Islam. Kalangan militer dalam pemerintah Orde Baru tampak kurang menyukai jika kekuatan-kekuatan barisan “Islam ideologis” memperoleh peluang politik dalam kehidupan bernegara. Pasca runtuhnya kekuasaan Soekarno, stigma Islam politik atau Islam ideologis, yang kerap diidentikkan dengan perjuangan golongan Islam untuk menjadikan Islam sebagai sendi dalam negara — yang termanifestasi dalam berbagai tuntutan, sejak menjadikan syariat Islam sebagai landasan kehidupan bermasyarakat, Islam sebagai dasar negara, sampai yang paling ekstrem yaitu pembentukan negara Islam, yang sesungguhnya tidak pernah diperjuangkan oleh para pemimpin Islam yang ikut mendirikan Republik ini — ternyata tidak ikut lenyap, bahkan semakin menguat. Karena setelah kelompok komunis dibereskan dan kelompok nasionalis, marhaenis dan sosialis dirasa sudah relatif dapat dikendalikan, satu-satunya yang tinggal dan masih memiliki kekuatan yang cukup potensial adalah kelompok-kelompok Islam ideologis tadi. (Bersambung).