Bagi pemimpin Islam Konstituante merupakan forum dakwah untuk menyampaikan hubungan Islam dengan politik dan masyarakat. Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945 sebelum tercapai kompromi, dan praktis menjadi penguasa tunggal.
Pemilihan umum pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Penyelenggaraan pemilihan umum dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo I. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Sesuai dengan tujuannya, pemilihan umum tahun 1955 ini dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955 dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Sedangkan tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Setelah Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan terutama NU dari Masyumi, partai berlambang Bulan Bintang pimpinan Mohammad Natsir itu praktis bukan lagi satu-satunya penyalur aspirasi politik kaum Muslim di Tanah Air. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap perolehan suara Masyumi pada Pemilu 1955, yang meraih 20,9 persen suara (57 kursi), di bawah PNI yang merebut 22,3 persen suara (57 kursi). Yang di luar dugaan adalah perolehan suara NU yang menempati posisi ketiga setelah Masyumi dengan meraih 18,4 persen suara (45 kursi). Jika suara Masyumi sebagian besarnya disumbangkan oleh kaum santri di perkotaan terutama di Sumatera dan Jawa Barat, suara NU diperoleh dari kalangan santri pedesaan di wilayah yang selama ini menjadi basisnya yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan. Sedangkan dua partai Islam lainnya yaitu PSII dan Perti masing-masing memperoleh 8 kursi (2,9 persen) dan 4 kursi (1,3 persen). Dua partai Islam lainnya, yakni AKUI (Angkatan Kesatuan Umat Islam) dan PPTI (Partai Persatuan Tharikat Islaimyah), masing-masing mendapat 1 kursi (0,2 persen). Total suara yang diperoleh partai-partai Islam tersebut bahkan tidak sampai mencapai 50 persen, padahal penduduk Indonesia pada waktu itu diperkirakan 90 persen beragama Islam.
Jumlah penganut yang besar itu mestinya menjadi sumber dukungan yang besar pula bagi setiap kegiatan yang memerlukan mobilisasi besar-besaran seperti pemilihan umum. Tapi begitulah kenyataannya, persentase suara politik umat pada pemilihan umum pertama itu tidak sebanding dengan besarnya jumlah penduduk yang beragama Islam. Dengan kata lain, meminjam istilah Deliar Noer (1987), “secara politis jumlah mayoritas Islam lebih merupakan khayal dari kenyataan.” Sungguhpun angka-angka yang diperoleh partai-partai Islam itu tidak mutlak memperlihatkan keunggulan, sebenarnya bila mereka bisa menggalang sikap dan tindakan bersama, orang lain tidak akan begitu mudah mempermainkan mereka. Sekurang-kurangnya mereka akan mendapat tawaran pertama untuk membentuk kabinet jika mereka dianggap sebagai satu kesatuan. Tapi harus segera dikatakan bahwa perolehan angka sebesar 43,93 persen itu bukanlah jumlah yang kecil. Sebab sampai sekarang, setelah Indonesia menyelenggarakan pemilu, secara demokratis atau apa pun namanya, angka itu merupakan perolehan terbesar yang pernah dinikmati oleh Islam politik. Jika hasil pemilihan umum tersebut dipandang secara dikotomis, yaitu pertarungan antara “golongan agama” dan “kaum nasionalis”, maka perolehan 43,93 persen itu merupakan sebuah pukulan atau kekalahan bagi para pendukung Islam politik. Meskipun juga harus dikatakan, dibandingkan dengan periode Demokrasi Terpimpin atau pada zaman Orde Baru, pada masa Demokrasi Liberal ini, tidak sedikit dari pemimpin Islam dan aktivis Muslim yang dipercaya dipercaya untuk membentuk pemerintahan dan mengelola urusan sehari-hari pemerintahan.
Hasil pemilihan umum 1955 rupanya gagal membentuk pemerintahan yang stabil, seperti yang diperkirakan dan diharapkan sebelumnya. Kabinet Ali Sastroamidjojo II yang merupakan koalisi PNI-Masyumi-NU, yang didukung mayoritas di Parlemen, kecuali PKI yang memang tidak diikutsertakan, ternyata hanya berumur setahun (1956-1957). Kabinet Ali II akhirnya menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 14 Maret 1957 di tengah suasana yang runyam dan kacau: pertikaian partai-partai dan ancaman pemberontakan di daerah-daerah. Bersamaan dengan berakhirnya kabinet parlementer ini Presiden Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Darurat Perang. Pasca Kabinet Ali II, Soekarno kembali memainkan peranan politiknya yang besar — begitu pula dengan militer yang selama ini tidak punya peran yang signifikan dalam politik di Tanah Air – yang dua tahun kemudian mencapai puncaknya yakni setelah dia mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan diterapkannya Demokrasi Terpimpin.
Dengan berakhirnya kabinet parlementer, pada masa krisis itu partai-partai Islam, seperti dikemukakan Ahmad Syafii Maarif (1996), mengalihkan perhatiannya dari “politik praktis” ke “perjuangan ideologis” dalam Majelis Konstituante. Partai-partai Islam yang menguasai 230 kursi di Majelis atau 45 persen kursi dari 516 kursi bersatu padu mengusulkan agar Islam dijadikan dasar negara. Waktu itu ada tiga rancangan dasar negara yaitu Islam, Pancasila, dan sosial ekonomi yang diajukan Partai Buruh dan Murba. Namun karena sosial ekonomi hanya memperoleh dukungan sedikit, akhirnya perdebatan didominasi oleh pihak yang mendukung ideologi Islam dan mereka yang menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Kedua golongan sama gigihnya dalam mempertahankan pendirian masing-masing. Menurut UUDS 1950, penetapan UUD yang baru harus didukung oleh 2/3 anggota konstituante yang hadir. Dengan demikian, tanpa didukung kekuatan politik lainnya, mustahil partai-partai Islam dapat meloloskan keinginan mereka.
Forum Dakwah
Konstituante memang menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan soal dasar negara. Hal ini dikarenakan wakil-wakil Islam baik semasa dipimpin oleh Kasman Singodimedjo yang menjadi ketua fraksi Islam di Konstituane maupun setelah KH Masjkur menggantikannya, menyusul penangkapan Kasman ynag dituduh melakukan subversi, memegang teguh pendirian mereka bahwa Islam merupakan dasar negara. Menurut Deliar Noer (1987), setidaknya ada tiga alasan mengapa para wakil Islam berpendirian demikian. Pertama, dalam kampanye pemilihan umum tahun 1954 dan 1955 mereka berjanji akan memperjuangkan Islam untuk dijadikan sebagai dasar negara. Menurut mereka, ajaran agama akan mudah dilaksanakan di masyarakat jika negara berdasarkan Islam. Kedua, Konstituante merupakan forum bagi setiap fraksi untuk menyampaikan dasar dan cita-cita mereka, dan membicarakannya dengan pihak kawan maupun lawan. Apakah yang mereka sampaikan itu diterima atau ditolak, itu masalah lain, yang penting kewajiban mereka untuk menyampaikan sudah dipenuhi. Ketiga, Konstituante bagi para pemimpin Islam merupakan forum dakwah untuk menyampaikan hubungan Islam dengan politik dan masyarakat.
Maka, ketika Mohammad Hatta, setelah tidak lagi menjadi Wakil Presiden, mengusulkan agar para pemimpin Islam menerima saja usulan Pancasila sebagai negara, Prawoto Mangkusasmito, pemimpin umum Masyumi yang menggantikan Mohammad Natsir karena keterlibatan Natsir dalam pemberontakan PRRI, tidak segera menerimanya. Dia menyadari, bahwa akhirnya akan ke sana jua, tapi memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, kata pemimpin terakhir Masyumi ini, merupakan kewajiban.
Berpikir Realistis
Di kalangan pimpinan Masyumi sebenarnya ada juga yang berpikiran seperti Hatta yaitu Jusuf Wibisono, meskipun tidak terdengar oleh orang ramai. Sejak awal dia berpikir mestinya partai-partai Islam bersifat luwes dan menerima Pancasila sebagai dasar negara. Wibisono bukannya tidak setuju dengan dasar Islam, tapi dia berpikir realistis bahwa tidak mungkin suara Islam akan bertambah menjadi dua pertiga mayoritas dalam Konstituante. Lagi pula, menurutnya pula, revolusi Indonesia, pemerintah, dan tentara tidak dipimpin oleh mereka yang berideologi Islam. Alih-alih berjuang dengan menghadapi kebuntuan, organisasi-organisasi Islam lebih baik bekerja mendidik masyarakat dengan ajaran Islam daripada semata berpegang pada cita-cita Islam yang tinggi itu.
Akan tetapi, tanda-tanda untuk berkompromi dari kalangan Islam sebagaimana diperlihatkan oleh Prawoto Mangkusasmito, boleh dibilang terlambat melawan keinginan Soekarno untuk kembali ke UUD 1945. Pada tanggal 2 Maret 1959 Perdana Menteri Djuanda menyampaikan kepada parlemen untuk kembali ke UUD 1945. Hal yang sama juga disampaikan oleh Presiden Soekarno di depan sidang Konstituante pada 22 April. Meski sebagian anggota Konstituante, termasuk wakil-wakil Islam, menginginkan agar Konstituante menyelesaikan dulu tugasnya daripada membicarakan usul Presiden itu, mereka setuju juga untuk memperhatikannya.
Sudah barang tentu wakil-wakil Islam di Konstituante tidak ingin menerima begitu saja UUD 1945 tanpa penyesuaian. Oleh karena itu mereka ingin memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dulu dicoret pada tanggal 18 Agustus 1945 itu. Hal ini kemudian diusulkan oleh ketua fraksi Islam KH Masjkur, dan ketika diadakan pemungutan suara, usul golongan Islam ini kalah dengan perbandingan suara 201:265. Usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 juga dilakukan melalui pemungutan suara. Usul ini juga ditolak, karena 2/3 mayoritas untuk setuju tidak dicapai. Meskipun pemungutan dilakukan sampai tiga kali hasilnya sama, terakhir pada tangal 2 Juni. Akibatnya mudah diduga, sidang macet, dan beberapa anggota termasuk dari IPKI, PNI, dan PKI menyatakan agar Konstituante dibubarkan. Banyak di antara anggota yang menyatakan tidak bakal hadir dalam sidang-sidang Konstituante, dan kemudian terbukti bahwa acara pemungutan suara tanggal 2 Juni itu merupakan sidang Konstituante yang terakhir.
Melihat Konstituante lumpuh, pihak tentara (Jenderal Abdul Haris Nasution) dan Suwirjo, Ketua Umum PNI, masing-masing mengirim kawat ke Presiden Soekarno yang waktu itu sedang berada di Tokyo agar mendekritkan UUD 1945. Soekarno tampaknya setuju dengan usulan mereka, dan tidak berapa lama setelah dia kembali dari Jepang dekrit pun diumumkan di Istana pada tanggal 5 Juli 1959. Dalam mukadimah dekrit dinyatakan bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” UUD 1945 dan “merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Seperti diungkapkan Deliar Noer, dekrit ini merupakan pukulan bagi fraksi Islam yang masih menanti terlaksananya kompromi dengan pihak Pancasila. Sebaliknya, dekrit menambah kuat kedudukan Soekarno sebagai kepala negara dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan.
Pemerintahan Antidemokratis
Indonesia pun memasuki era baru yang disebut Demokrasi Terpimpin. Dalam sistem pemerintahan yang baru ini Presiden memperkenalkan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang seluruh anggotanya diangkat oleh Presiden. Sistem Demokrasi Terpimpin ini, tidak syak lagi menuai kritik dari berbagai tokoh partai sebagai pemerintahan yang antidemokratis. Di antara partai-partai Islam, Masyumilah yang paling keras mengeritik Soekarno. Ketegangan antara Masyumi dan Soekarno ini berpuncak dengan dikeluarkannya Masyumi dari pentas politik karena dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI di Sumatera pada tahun 1958.
Secara organisatoris Masyumi sesungguhnya tidak terlibat dalam pemberontakan tersebut, melainkan hanya sebagian pemimpinnya seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap. Tokoh-tokoh ini kemudian memenuhi panggilan pemerintah untuk menghentikan perlawanan, tapi setelah menyerah dan di bawa ke Jawa mereka dijebloskan ke dalam tahanan dan baru dikeluarga pada tahun 1967 setelah Soekarno jatuh. Tokoh-tokoh Masyumi lainnya juga ikut ditahan pada 1962 meski mereka tidak terlibat pemberontakan, di antaranya Prawoto Mangkusasmito, Mohamad Roem, M. Yunan Nasution, EZ Muttaqien, KH Isa Anshary, Hamka, Ghazali Sjahlan, Jusuf Wibosono, Kasman Singodimedjo. Ikut juga ditahan Imron Rosjadi dari NU yang bersama-sama Prawoto, Roem, Yunan dan Muttaqien ditahan di Madiun, selain bekas Perdana Menteri Sjahrir dan Anak Agung Gde Agung, bekas menteri luar negeri dan dalam negeri – kedua terakhir ini adalah tokoh PSI yang partainya juga dibubarkan Soekarno karena sebagian tokohnya terlibat PRRI.
Jika Masyumi bersikap keras terhadap Soekarno, tiga partai Islam lainnya yaitu NU, PSII dan Perti mengambil langkah akomodatif dan bahkan memberi legitimasi keagamaan kepada sang Presiden. Meski begitu masih ada suara-suara di kalangan NU yang tidak setuju dengan sikap partai yang cenderung menuruti apa kehendak Soekarno, di antaranya KH Mohammad Dahlan, rais ke-2 NU, dan Imron Rosyadi, ketua Gerakan Pemuda Ansor. Bersama sejumlah tokoh Masyumi, PSI dan beberapa dari kalangan independen, Kiai Dahlan dan Imron Rosyadi membentuk Liga Demokrasi pada tanggal 24 Maret 1960. Liga lebih merupakan forum pertemuan orang-orang yang punya cita-cita yang sama ketimbang sebuah organisasi yang berusaha merekrut anggota sebanyak-banyaknya. Liga ini dibentuk dengan tujuan mempertahankan negara, agama dan masyarakat. Kegiatannya antara lain berupa penerbitan, ceramah dan aksi politik. Liga Demokrasi mendapat dukungan dari berbagai kalangan, termasuk beberapa perwira militer. Badan yang dimusuhi para pendukung Demokrasi Terpimpin ini, sebagaimana yang diperkirakan, tidak berusia panjang karena bulan Maret 1961 dilarang Soekarno karena dianggap bertentangan dengan garis politiknya