Kita kerap egoistis dalam beragama dan tidak sungkan menagih janji kepada Sang Maha Pencipta. Tuhan, aku rajin sembahyang. Mengapa hidupku susah?
Musibah semisal bencana alam kerap dikaitkan dengan ketaatan beragama. Seakan semakin saleh diri kita, semakin kecil kemungkinannya untuk terkena musibah. Begitu pula sebaliknya. Jika bencana itu besar disebut azab Allah karena manusia sudah bergelimang kemaksiatan. Ini pandangan yang keliru, sebab bencana alam tidak pernah memilih apakah orang-orang yang ditimpanya adalah orang-orang yang saleh atau orang yang suka bermaksiat.
Mengapa kita begitu mudah mengatakan hal itu sebagai azab Tuhan? Kalau begitu, bukankah kita sudah menuduh Tuhan itu kejam?
Pangkal kekeliruan semacam itu bersumber pada kealpaan kita sendiri tentang sesuatu hal yang sangat prinsipil. Yakni hukum Tuhan. Bukan hukum Tuhan, dalam arti fikih, tapi hukum Tuhan dalam arti hukum yang mengatur seluruh jagat raya dan umat manusia atau yang disebut sunnatullah. Hukum Tuhan atau sunnatullah ini bersifat objective immutable. Dikatakan objektif, karena hukum ini tidak tergantung pada kita; tidak bisa kita pengaruhi. Contoh yang paling mudah adalah api. Api membakar tidak tergantung pada kita; siapa pun yang memasukkan tangannya ke dalam api pasti terbakar. Apakah dia orang saleh atau orang jahat, pasti terbakar. Tapi siapa pun yang mengerti apa itu api dan kemudian bisa memanfaatkannya, maka api itu akan berguna bagi kehidupan, tidak tergantung apakah orang itu saleh atau jahat, beriman atau kufur kepada Allah.
Ada sebuah ilustrasi yang bagus yang diberikan Dr. Imaduddin Abdulrahim mengenai sunnatulah yang bersifat objective immutable itu. Yakni penangkal petir, tempat maksiat, dan masjid. Jika yang dipasangi penangkal petir itu tempat maksiat, sedangkan masjid tidak, maka yang akan disambar petir itu masjid, bukan tempat maksiat. Jadi petir, tidak memilih atau tidak peduli, ini adalah tempat orang bersembahyang tidak boleh disambar. Karena itu kita tidak bisa mengukur bencana alam dengan ukuran-ukuran semacam ini. Bahkan Ka’bah, Baitullah, beberapa kali hancur dan akibat banjir, kebakaran, atau dihajar manjanik (peluru batu berapi).
Mengapa Allah justru tidak melindungi Ka’bah, padahal itu rumah-Nya sendiri? Bagaimana ini Tuhan, kita sudah Islam kok diluluhlantakkan begini? Mengapa umat Islam sekarang jauh tertinggal dari umat-umat lain, Tuhan sendiri berjanji akan menjadikan Islam itu superior terhadap seluruh agama (liyudhhirahu ‘alad-dini kullihi)? Mengapa kesenjangan antara janji Tuhan dan kenyataan itu begitu lebar? Apakah Tuhan sudah tidak memenuhi janjinya lagi? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini muncul karena kita umat Islam, sekali lagi, kurang menyadari betul bahwa hukum Tuhan itu bersifat objective immutable.
Oleh karena itu, biarpun kita Islam, jika tidak menjalankan sunnatullah, atau hukum objektif itu, pastilah hancur. Mengapa Allah berkali-kali menyeru agar kita menegakkan keadilan? Bukan semata karena adil itu lebih dekat kepada takwa, tapi dalam keadilan ini beroperasi pula sunnatullah, yang apabila kita tidak menjalankannya pasti akan membawa kepada kehancuran.
Dalam bahasa Arab keadilan itu disebut ‘adl yang artinya keadilan itu sendiri. Kemudian disebut pula qisth atau qisthun, di mana kosa kata ini berhubungan dengan bahasa-bahasa Eropa termasuk justice. Selain itu kita mengenal pula kata wasth yang kemudian menjadi wasit. Dalam bahasa kita, wasit itu orang yang berdiri di tengah alias tidak memihak. Lalu ada istilah mizan (seimbang).
Dalam surat Ar-Rahman ayat 7, Allah berfirman: “Allah menciptakan langit itu tinggi dan kemudian ditetapkan hukum keseimbangan.” Dalam penafsiran kita di zaman modern, kalau bumi tidak menabrak matahari, matahari tidak menabrak bulan dan seterusnya, itu karena grativitasi. Jadi semuanya seimbang. Setelah berbicara dalam kerangka kosmologi, lalu Allah meneruskan firman-Nya (ayat 8 surat yang sama) dengan pesan-pesan moral: “Oleh karena itu wahai manusia kamu jangan melanggar hukum keseimbangan.” Melanggar hukum keseimbangan itu berarti melanggar hukum kosmos. Kemudian pesan moral ini semakin diperjelas lagi dengan ayat selanjutnya: “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan jujur dan kamu jangan curang dalam timbangan.” Ini sangat jelas mengacu kepada timbangan-timbangan komersil di pasar. Alat yang sederhana untuk mengetahui gerak ini bekerja atas hukum gravitasi, dan gravitasi adalah hukum kosmos. Melanggar hukum ini berarti melanggar hukum kosmos. Oleh karena itu risikonya besar sekali. Maka tidak heran jika dalam Alquran banyak ditegaskan bahwa kehancuran suatu bangsa karena tidak adil. Jika orang mengatakan bahwa korupsi akan membawa kehancuran kepada bangsa, itu jelas karena praktek-praktek yang tidak terpuji ini melanggar prinsip keadilan.
Jadi, oleh karena hukum Tuhan itu tidak bergantung kepada kemauan kita, biarpun kita ini umpamanya rajin shalat, puasa bahkan Senin-Kamis, setiap saat mengaji, tetapi kalau tidak adil, maka kita akan hancur. Sayidina Ali, r.a. mengatakan, “Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan tidak akan menegakkan negara yang lalim meskipun Islam.” Atau “Dunia ini bertahan dengan keadilan meskipun kafir dan tidak akan bertahan dengan kezaliman meskipun Islam.” Karena itu, kita tidak cukup dengan hanya mengaku Islam, mengaku beriman tapi keislaman dan keimanan kita itu harus dibuktikan dengan tindakan. Jika demikian, rasanya kita tidak akan lagi bersikap egoistis dan cenderung menagih janji kepada Tuhan, dengan mengatakan: “Tuhan saya sudah sembahyang, berdoa setiap saat, tapi kok hidup saya masih susah.”
Tentang Api : Nabi Ibrahim AS adalah Manusia, kenapa dia tidak terbakar meski Api mengelilingi tubuhnya, bukankah Api tunduk pada hukum sunatullah atau yang anda sebut dengan kosmos