Cakrawala

Menjadi Muslim Progresif

Kegiatan ijtihad harus dilakukan tanpa takut salah. Bukankah takut salah justru kesalahan yang lebih berbahaya? Orang yang berijtihad, demikian sabda Nabi, jika benar akan mendapat dua pahala, dan jika salah, masih akan mendapat satu pahala

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Allah adalah asal dan tujuan hidup manusia. Karena itu Allah harus menjadi pusat pandangan hidup dan orientasi kegiatan manusia.  Inilah makna lillahi ta’ala yang benar, yang sering disalahkaprahkan itu. Oleh karena Allah tidak mungkin diketahui, maka orientasi hidup kepada-Nya bukan untuk mengetahui secara genostik akan hakikat-Nya, melainkan demi memperoleh ridha atau perkenan-Nya. Jadi persoalannya adalah bukan bagaimana mengetahui Tuhan, tapi bagaimana kita terus-menerus mendekati Tuhan (taqarrub), dengan menempuh atau mengikuti jalan  yang lurus.

Sseorang muslim, dengan demikian,  dituntut untuk terus bergerak, dinamis, tidak boleh berhenti. Gerak, dengan demikian, harus menjadi bagian dari etos Islam. Dinamika, progresivitas, terus berbuat baik dan lebih baik, itulah yang dituntut dari seorang Muslim. Seperti kata Nabi, “Orang Islam itu adalah yang hari ininya lebih baik dari hari kemarin, dan yang hari esoknya lebih baik dari hari ini.” Seorang muslim sejati adalah muslim progresif. Islam berkemajuan, menurut istilah Bung Karno dulu, kalau tidak salah.

Sejalan dengan itu maka ijtihad, usaha terus-menerus dengan penuh kesungguhan untuk menangkap pesan agama dan bagaimana merealisasikan pesan tersebut dalam kaitannya dengan kenyataan ruang dan waktu, merupakan hal yang niscaya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bahwa ilmu tidak punya batas,  sebab batas ilmu adalah ilmu Allah yang tidak terjangkau oleh siapa pun makhluk-Nya, Yang ada pada manusia adalah perbatasan  dari ilmu yang dikembangkan oleh manusia sendiri. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip ijtihad manusia harus terus berusaha untuk menembus ‘perbatasan’ itu, dengan temuan-temuan baru, kreasi-kreasi baru. Selain dinamis, progresif, seorang muslim dituntut kreatif- inovatif.

Di bagian penghujung kitab Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun melukiskan etos keilmuan sebagai anak panah yang menembus dinding perbatasan ilmu pengetahuan manusia saat itu, bukannya yang kembali ke belakang lantaran tidak mampu atau tidak mau menembus dinding itu – sebuah sikap yang menghasilkan penghayatan ilmu secara dogmatis dan serba final.

Sadar akan kenisbian manusia, maka hasil sebuah ijtihad tidak selamanya benar. Keterbatasan membuat manusia selalu mungkin salah. Tetapi berangkat dari niat tulus guna memperoleh ridha, perkenan,  Allah, maka kegiatan ijtihad harus dilakukan tanpa takut salah. Bukankah takut salah justru kesalahan yang lebih berbahaya? Orang yang berijtihad, demikian sabda Nabi, jika benar akan mendapat dua pahala, dan jika salah, masih akan mendapat satu pahala. Bukankah ini sebuah dorongan yang kuat untuk berkreasi dan berinovasi?

Kesadaran akan kenisbian dan kemungkinan salah itu terkait dengan ajaran yang amat penting lainnya, yaitu  keharusan untuk senantiasa mendengar pendapat orang  degan hati terbuka.  Bahkan Alquran Surah al-Zumar/39:17-18) menyatakan bahwa sikap terbuka merupakan indikasi adanya hidayah Allah. Oleh karena keharusan mendengar adalah satu sisi yang mensyaratkan adanya sisi yang lain yaitu hak untuk berbicara, maka gabungan antara keduanya menghasilkan prinsip musyawarah dalam semangat memberi dan menerima, saling berpesan tentang kebenaran, dan saling berpesan tenang kesabaran (ketabahan) dalam menegakkan kebenaran itu. (Lihat Quran, surah Al-‘Ashr)

Prinsip tersebut berkaitan dengan prinsip penting yang lainnya, yaitu bahwa dalam pergaulan dengan sesama manusia, khususnya dengan sesama kaum beriman, harus diterapkan pandangan kenisbian ke dalam (relativisme internal). Karena itu harus ada sikap toleran  dan sikap tidak merendahkan orang.  (Lihat Al-Hujurat/49:10-13). Kita juga tidak boleh bersikap mudah mengkafirkan seorang muslim.

Sesuai dengan pinsip Islam tentang kemanusiaan, dalam lingkup masyarakat yang meliputi golongan-golongan yang bukan muslim, maka faham kemajemukan masyarakat  harus dipelihara, dengan menumbuhkan toleransi, sikap menghargai orang lain, dan mengakui hak masing-masing untuk bereksistensi menurut keyakinannya. Inilah prinsip agung yang diletakkan Nabi dalam Piagam Madinah, yang kemudian diteruskan Sayidina  Umar dalam Dokumen Aelia untuk Yerusalem dan Syria pada umumnya, dan kemudian diterapkan dengan baik sekali oleh para khalifah.

Ajaran tauhid, mengesakan Tuhan, menyadarkan kita bahwa adalah mahamutlak. Menyadari kemahamutlakan Tuhan, maka tidak mungkin hakikat-Nya dipahami oleh manusia yang nisbi. 

Implikasinya adalah manusia tidak boleh memutlakan sesuatu kecuali Allah. Memutlakan sesuatu selain Allah adalah sama dengan mengangkat sesuatu setaraf dengan Allah alias syirk.  Oleh karena kita tidak mungkin mengetahui Kebenaran Mutlak yang notabene adalah Allah itu sendiri, sementara kita juga tidak mungkin hidup tanpa rasa makna serta berada dalam keraguan terus-menerus, maka kebenaran yang kita tangkap dalam diri kita harus diterima sebagai kebenaran wujudi atau kebenaran eksistensial, yang secara nyata menyatu dalam diri kita dan harus difungsikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.  Wallahu a’lam.

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda