Mbah Ma’shum adalah sosok kiai kurang dikenal di tingkat nasional. Tetapi mengapa kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan?
Suatu hari usai shalat duha, KH Ma’shum Lasem atau yang akrab disapa Mbah Ma’shum, dipijiti oleh salah seorang santrinya bernama Ahmad. Tanpa terasa Pak Kiai pun tertidur. Ahmad mendengar di luar kamar ada yang uluk salam. Ia pun bergegas keluar. Ternyata ada sembilan orang duduk melingkar di ruang tamu.
“Mbah Ma’shum ada?” kata seorang dari mereka. Ahmad menjawab bahwa Mbah Ma’shum masih tidur. Ia juga bilang akan membangunkannya.
“Tidak usah,” kata tamu itu. Lalu para tamu itu berbicara satu sama lain dengan bahasa yang aneh, kemudian mereka membaca shalawat lalu berpamitan. Begitu para tamu beranjak keluar, Mbah Ma’shum memanggil Ahmad: “Ada apa Mad?”
Setelah kembali ke kamar, Ahmad pun menjelaskan perihal kedatangan tamu yang berjumlah sembilan orang tadi. Mbah Ma’shum menyuruh Ahmad memanggil tamunya itu. Namun dalam waktu sesingkat itu para tamu itu sudah menghilang. Kemudian Mbah Ma’shum memberi tahu bahwa mereka adalah Walisongo, dan yang berbicara tadi adalah Sunan Ampel. Setelah memberi tahu jati diri mereka kepada Ahmad, Mbah Ma’shum kembali tidur.
Kisah lainnya adalah ketika Mbah Ma’shum kehabisan persediaan beras. Lalu ia memimpin istighasah dengan membaca petikan sajak dari syair Al-Burdah – Wahai makhluk paling mulia (Muhammad), aku tak ada tempat berlindung kecuali kepadamu pada peristiwa malapetaka besar – sebanyak (kurang lebih) 80 kali, dan dilanjutkan doa memohon rezeki … dan pada saat itu seorang peserta, Ibu Nadhiroh menyela, “Amin, mbah, [beras] 1 ton ..” Mbah Ma’shum membalas: “tidak satu ton, tapi lebih.” Eh, beberapa hari kemudian datang beberapa orang memberi beras yang banyak sekali.
Karomah mendatangkan beras itu konon sering terjadi. Dalam riwayat lain diceritakan Mbah Ma’shum pada suatu pagi seusai mengajar Alfiyah memanggil 12 santrinya, mengajak mereka mengamini doanya. Doanya sederhana saja, tanpa mukadimah dan tanpa penutup: “Ya Allah, Gusti, saya minta beras …” Pukul 11 siang datang becak mengantar beberapa karung beras. Pada karung itu tertulis nama alamatnya pengirim dari Banyuwangi, Jawa Timur. Suatu ketika Mbah Ma’shum mengunjungi alamat itu, dan ternyata alamat itu adalah sepetak kebun pisang di daerah pedalaman dan di situ masyarakatnya tidak ada yang kelebihan rezeki.
Itulah dua di antara berbagai karomah KH Ma’shum , pengasuh pindok Pesantren Al-Hidayat Lasem, yang juga ayah KH Ali Maksum Krapyak yang masyhur itu. Banyak muridnya yang menjadi kiai besar, seperti Kiai Abdul Jalil Pasuruan, Kiai Abdullah Faqih Langitan, Kiai Ahmad Saikhu Jakarta, Kiai Bisri Mustofa Rembang, dan Kiai Fuad Hasyim Buntet Cirebon.
Mbah Ma’Shum juga terkenal dengan sebutan Kiai Bulus yang artinya mengajar murid-muridnya tanpa disertai keterangan yang diperlukan si murid, Ia hanya membaca kitab dengan memaknai per kalimat saja. Itu pun dilakukan dengan suara yang tidak begitu jelas alias nggremeng. Anehnya, para muridnya betah dengan model pengajaran semacam itu.
Nama aslinya adalah Muhammadun, diperkirakan lahir sekitar tahun 1870. Ayahnya bernama Ahmad, seorang saudagar. Sejak kecil Ma’shum sudah dikirim orangtuanya belajar ke beberapa pesantren, di antaranya kepada Kiai Nawawi Jepara, Kiai Ridhwan Semarang, Kiai Umar Harun Sarang, Kiai Abdus Salam Kajen, Kiai Idris Jamsasren Solo, Kiai Dimyati Tremas, Kiai Hasyim Asy’ari Jombang dan Kiai KHolil Bankalan. Setelah itu ia belajar ke Mekah beliau, antara lain kepada Syekh Mahfudz At-Tirmasi.
Tanda-tanda keutamaan Mbah Ma’shum telah diketahui secara kasyaf oleh Kiai Kholil Bangkalan. Dikisahkan, sehari sebelum kedatangan Ma’shum ke Bangkalan, Mbah Kholil menyuruh para santri membuat kurungan ayam. Kata Mbah Kholil, “Tolong aku dibuatkan kurungan ayam jago. Besok akan ada ayam jago dari Tanah Jawa yang datang ke sini.” Begitu Ma’shum datang, yang saat itu usianya sekitar 20-an tahun,dia langsung dimasukan ke kurungan ayam itu. Ia disuruh Kiai Kholil untuk mengajarkan kitab Alfiyah selama 40 hari. Yang aneh, pengajaran dilakukan oleh Ma’shum di sebuah kamar tanpa lampu, sedangkan santri-santrinya berada di luar. Santri Ma’shum hanya tiga bulan di Bangkalan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya dan didoai dengan doa sapujagad. Lalu, saat Mbah Ma’shum melangkah pergi beberapa meter, ia dipanggil lagi oleh Kiai Kholil dan didoai dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.
Mbah Ma’shum, kiai besar dan diyakini sebagai Waliyullah serta amat dihormati di kalangan umat Islam khususnya warga NU, adalah salah satu dari dua “Gembong Kiai” asal Lasem selain Kiai Baidhowi Abdul Aziz. Ia senantiasa menjalin silaturahim, jujur, mengayomi, menghormati tamu dan teguh menjaga kebenaran. Seluruh hidupnya diabdikan kepada masyarakat, terutama kaum papa. Ia bahkan menganggap pengabdian ini sebagai laku tarekatnya. Ketika pecah huru-hara pada tahun 1965 Mbah Ma’shum terpaksa melakukan perjalanan dari kota ke kota, karena ia termasuk tokoh yang diincar hendak dibunuh oleh PKI. Mbah Ma’shum wafat pada 28 April 1972. Menurut sejarawan Prancis Denys Lombard, “[Mbah Ma’shum] adalah seorang guru (kiai) dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya.”