Empat puluh lima tahun KH Fakih Usman berkhidmat tetapi hanya seminggu berada di puncak kepemimpinan Muhammadiyah. Tokoh Masyumi dan pendiri Majalah Panji Masyarakat yang memulai kehidupannya sebagai pedagang ini pada 1934 sudah punya SIM.
Jika A.R. Fachruddin tercatat sebagai ketua PP Muhammadiyah terlama, maka orang yang digantikannya merupakan pemegang rekor tersingkat dari mereka yang pernah menempati jabatan ini. Kiai Haji Fakih Usman memang hanya satu minggu menjabat ketua PP Muhammadiyah. Namun, jika dihitung dari tahun 1922 ketika pertama kali terlibat di Muhammadiyah sampai akhir hayatnya, maka kurang lebih 45 tahun Fakih Usman, dua per tiga usianya, berkhidmat di organisasi ini.
Kiai Fakih Usman terpilih pada muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta tahun 1968, sekalipun tidak hadir dalam muktamar karena sakit. Selain Fakih Usman, Muktamar memilih delapan anggota lainnya menjadi pengurus Pimpinan Pusat, yaitu A.R. Fachruddin, Djindar Tamimy, Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Prof. Dr. Hamka, Prof. H. Kasman Singodimedjo, Dokter H. Kusnadi, Ir. H.M. Sanusi, Drs. Muhammad Djazman, dan H. Hasyim. Seusai muktamar mereka bersama-sama bertolak ke Jakarta untuk menyusun komposisi kepengurusan dan program kerja. Mereka sempat bertemu dengan Kiai Fakih Usman yang masih bisa berjalan, tertawa dan tersenyum tapi tidak bisa bicara.
Menurut rencana, Fakih Usman akan berobat ke luar negeri, dan untuk itu dia sudah menyiapkan surat kepada delapan pengurus PP tadi. Dalam surat itu dia berpesan, sementara dia di luar negeri pimpinan Muhammadiyah di Yogyaakarta dia serahkan kepada A.R. Fachruddin dan Djindar Tamimy, sementara untuk pimpinan di Jakarta dia serahkan kepada H.M. Rasyidi dan Buya Hamka. Kiai Haji Fakih Usman akhirnya urung berangkat ke luar negeri karena pada 3 Oktober 1968 dia berpulang ke tempat peristirahatannya yang terakhir, di alam baka, menghadap Sang Khalik. Berita duka ini diterima oleh pengurus PP yang sedang rapat. Kedatangan mereka ke Jakarta ternyata sekaligus untuk bertakziah kepada nakhoda persyarikatan yang yang baru mereka pilih itu.
Tokoh Masyumi dan salah seorang pendiri Majalah Panji Masyarakat ini pernah menjabat menteri agama pada tahun 1950. Pada tahun 1951 ia ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Agama Pusat. Situasi politik di tanah air yang tidak stabil saat itu menyebabkan susunan kabinet pun jatuh bangun. Ia dipercaya kembali sebagai Menteri Agama pada masa kabinet Wilopo sejak 3 April 1952 sampai 1 Agustus 1953. Fenomena terpilihnya Fakih Usman sebagai Menteri Agama yang kedua kalinya sempat menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan NU. KH Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan representasi kubu Nahdhatul Ulama menuntut agar jabatan Menteri Agama tetap diberikan kepada unsur NU. Namun setelah diadakan pemungutan suara, ternyata Fakih Usman (representasi Masyumi) yang terpilih. Hal ini mempengaruhi peta politik Islam di Tanah Air, karena akhirnya justru mempercepat proses pemisahan Nahdhatul Ulama (NU) dari Masyumi.
Fakih Usman dilahirkan pada 2 Maret 1904 di Gresik, sebuah kota pelabuhan yang cukup sibuk di Jawa Timur. Masyarakat di daerah yang kini berbatasan dengan Surabaya ini, dulunya Gresik bagian dari Surabaya, sudah berabad-abad mengenal Islam, bahkan boleh dibilang termasuk yang paling awal masuk Islam di Tanah Jawa. Di wilayah ini pula Maulana Malik Ibrahim, pelopor penyebaran Islam di Jawa, dimakamkan, dan sampai sekarang kuburnya ramai diziarahi orang. Begitu juga Sunan Giri, salah satu Wali Sanga yang menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa pada abad ke-15 dan ke-16. Tapi sebelum kedatangan Islam pun, Gresik sudah menjadi kota pelabuhan yang penting pada zaman kerajaan Majapahit.
Fakih Usman tumbuh dan dibesarkan di lingkungan keluarga santri-pedagang. Ibunya anak seorang ulama, sedangkan ayahnya, Iskandar Usman, adalah seorang pedagang kayu dan pengusaha galangan kapal. Dia anak keempat dalam keluarga yang gemar akan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Tak heran jika sejak kecil pendidikaan agamanya sudah memperoleh perhatian yang serius dari oangtuanya. Mula-mula dia belajar membaca Alquran dan pengetahuan dasar keislaman kepada ayahnya sendiri.
Usianya baru sekitar 10 tahun ketika Fakih melanjutkan pendidikannya ke sejumlah pesantren di sekitar kota Gesik. Setelah sekitar empat tahun, 1914-l918, Fakih belajar di pesantren-pesantren di sekitar Gresik, dia pun belajar ke pesantren-pesantren di luar kota Gresik yakni antara tahun 1918-1922. Di antaranya adalah Pesantren Maskumambang di Bungah, yang sekarang berubah menjadi pesantren modern Muhammadiyah. Dengan demikian, ia juga banyak menguasai buku-buku yang diajarkan di pesantren-pesantren tradisional, karena penguasaannya dalam bahasa Arab. Dia juga terbiasa membaca surat kabar dan majalah berbahasa Arab, terutama dari Mesir yang berisi tentang pergerakan kemerdekaan. Apalagi pada abad 19 dan awal abad 20 di dunia Islam yang pada umumnya sedang terjadi gerakan kebangkitan.
Iskandar, sang ayah, rupanya tidak memimpikan putranya menjadi ulama atau kiai besar model Jawa Timur. Maka, alih-alih meneruskan ke pesantren-pesantren besar yang ada di Jawa Timur, atau meneruskan studi ke Mekah atau Mesir, Fakih justru diminta untuk membantu usaha ayahnya. Usman bahkan lebih banyak mempercayakan usahanya kepada Fakih, padahal ia mempunyai tiga kakak. Waktu itu, kegiatan bongkar muat di pelabuhan Gresik sangat aktif karena lalu-lintas perdagangan masih melalui pelabuhan ini. Keadaan ini tentu sangat menguntungkan usahanya di bidang perkayuan dan galangan kapal.
Besarnya kepercayaan yang diberikan Usman kepada Fakih ketimbang anak-anaknya yang lain, mungkin karena dia melihat putra keempatnya itu lebih memiliki jiwa dagang atau semangat kewirausahaan dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain. Lebih dari sekadar membantu usaha keluarga, Fakih bahkan mengembangkan bisnisnya sendiri dengan mendirikan beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat bangunan, galangan kapal, dan pabrik tenun di Gresik. Bahkan, dia juga diangkat sebagai Ketua Persekutuan Dagang Sekawan Se-Daerah Gresik.
Sebagai pengusaha yang berhasil, hampir dipastikan taraf kehidupan ekonomi keluarga Fakih Usman cukup tinggi pada zamannya. Pada tahun 1930-an Fakih Usman sudah memiliki mobil, yang dia gunakan untuk pulang pergi Gresik-Surabaya, karena selain berdagang dia juga sibuk dalam dunia pergerakan. Kepemilikan kendaraan roda empat waktu itu, menunjukan bahwa Fakih Usman tergolong orang yang berada pada zamannya. Sebab kepemilikan mobil pada tahun 1930-an hanya bisa dicapai oleh orang yang berkecukupan. Ismed Usman, putra Fakih Usman, dokter spesialis anak dan pengajar pada Fakultas Kedokteran UI, masih menyimpan surat izin mengemudi (SIM) ayahandanya yang bertahunkan 1934 itu.