Pola pikir kastanisasi dan favoritisme bukan saja akan menghambat pemerataan kualitas sekolah, tetapi tanpa disadari ikut melanggengkan kasta-kasta sosial dan masyarakat, yang justru berlawanan dengan cita-cita-cita luhur pendidikan itu sendiri: terwujudnya persamaan derajat di antara manusia.
Kegaduhan dan kejangalan kembali mewarnai penerimaan peserta didik baru atau PPDB. Banyak orangtua/wali murid yang kesal lantaran tidak diterima di sekolah negeri atau ditolak di sekolah favorit. Tidak sedikit siswa yang mendadak pindah domisili dengan cara “menumpang kartu keluarga” yang tinggal di dekat sekolah yang mereka inginkan. Hiruk pikuk ini muncul setelah pemerintah pusat menerapkan sistem zonasi dalam PPDB. Kebijakan yang sudah diberlakukan tahun lalu mewajibkan sekolah menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit 90 persen dari total jumlah peserta didik yang diterima. Dengan kata lain, sistem ini menghapus apa yang disebut jalur prestasi.
Tahun lalu, ditengarai kekisruhan itu muncul akibat kurangnya sosialisasi. Apakah kegaduhan kali ini juga lantaran sebab yang sama? Atau ada yang keliru, sehinnga Presiden merasa perlu meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk merevisi atau meninjau kembali sistem zonasi ini? Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, kebijakan sistem zonasi merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk melakukan reformasi sekolah secara menyeluruh. Tujuannya untuk pemerataan kualitas dan mencegah serta menghilangkan praktik yang kurang baik pada sistem penerimaan sebelumnya. Ringkasnya untuk menghilangkan “kastanisasi” dan favoritisme sekolah. Kata dia, semua sekolah harus sama tidak boleh ada yang status favorit kemudian yang lain buangan.
Kisruh PPDB sejatinya hanyalah bagian kecil dari persoalan dunia pendidikan yang kita hadapi, yang cerminannya bisa dilihat dalam sikap dan perilaku masyarakat. Salah satunya adalah pola pikir kastanisasi dan favoritisme dalam pendidikan masih menguasai alam pikiran masyarakat kita. Pola pikir semacam ini bukan saja akan menghambat pemeretaan kualitas sekolah, tetapi tanp disadari ikut melanggengkan kasta-kasta sosial dan masyarakat, yang justru berlawanan dengan cita-cita-cita luhur pendidikan itu sendiri: terwujudnya persamaan derajat di antara manusia.
Lebih jauh, jalan pintas yang penuh akal-akalan yang ditempuh para orangtua itu mengingatkan kita kepada apa yang dikemukakan Prof. Koentjaraningrat, “bapak” Antropologi Indonesia, yang menyatakan bahwa karakteristik sebagian besar manusia Indonesia adalah “bermental penerabas”, yang cenderung ingin segera memperoleh apa yang diinginkan tanpa mematuhi kaidah-kaidah moral dan hukum yang berlaku. Secara tanpa disadari, orangtua telah menanamkan kepada putra-putri mereka sebuah mentalitas bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan orang tidak memerlukan kerja keras, tetapi hanya sedikit “kecerdikan”. Padahal kerja keras inilah yang akan membentuk etos kerja seseorang, yang bukan saja menganggap bahwa segala sesuatu yang ingin dcapai tidak bisa diraih dengan cara “sim salabim”, serba mudan dan instan, melainkan dengan tekad baja keras, namun juga dengan mengindahkan kaidah-kaidah agama dan norma-norma hukum yang berlaku.
Kita agaknya belum menyadari benar, bahwa pendidikan bukan hanya sebatas persoalan intelektualitas dan ketrampilan. Pendidikan justru berangkat dari kesadaran primordial manusia untuk membentuk nilai-nilai, membangun watak (karakter) dan melestarikan kualitas luhur kemanusiaan pada tiap generasi. Pendidikan tidak lagi dilihat sebagai proses transformasi budaya yang berfungsi sebagai sarana transformasi budaya, yang bentuk kegiatan meliputi seluruh pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi lainnya. Ada tiga bentuk transformasi: nilai-nilai yang cocok diteruskan, misalnya nilai kejujuran dan rasa tanggung jawab; yang kurang cocok diperbaiki, seperti tata-cara pesta perkawinan; sedangkan yang tidak cocok diganti, misalnya pendidikan seks yang dulu ditabukan dan diganti dengan pendidikan seks melalui pendidikan formal. Itu yang pertama
Yang kedua, pendidikan tidak lagi dimaknai sebagai pembentukan pribadi. Yakni sebagai kegiatan sistematis dan sistemik untuk membentuk kepribadian peserta didik. Disebut sistematis karena proses pendidikan berlangsung melalui tahap-tahap yang kerkesinambungan, dan sistemik karena pendidikan berlangsung di semua situasi dan kondisi dan di semua lingkungan yang saling mengisi (lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat).
UNESCO pernah menyarankan bahwa pendidikan harus mengandung empat unsur: belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk berbuat atau melakukan sesuatu (learning to do), belajar untuk menjadi seseorang (learning to be), dan belajar untuk hidup bersama (learning to live together). Unsur pertama dan kedua, untuk mengarahkan agar manusia memiliki kualitas dan pengetahuan, sedangkan unsur ketiga dan keempat lebih mengarah kepada pembentukan karakter. Yakni bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan. Maka jika seseorang yang berperilaku tidak jujur, berindak kejam atau rakus disebut orang yang berkarakter jelek. Begitu pula sebaliknya. Jadi karakter erat kaitannya dengan kepribadian. Individu disebut orang yang berkarakter (a person of character) jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.