Panitia yang dibentuk BPUPKI menyetujui sebuah rumusun yang di kemudian hari dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Di dalamnya terdapat kata-kata bahwa negara berdasar pada “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Piagam ini kemudian disetujui oleh Badan Penyelidik sebagai mukadimah konstitusi negara. Mengapa berubah pada 18 Agustus 1945?
Dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang diselenggarakan pada bulan Juni 1945, berkembang perdebatan sengit antara golongan Islam dan kalangan nasionalis yang netral agama yang diwakili oleh Soekarno dan didukung oleh kalangan bukan Islam lainnya. Para pemimpin Islam seperti Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama), dan Ahmad Sanusi (Persatuan Ummat Islam/PUI) menuntut agar Islam dijadikan sebagai dasar negara, meskipun tidak terinci, sedangkan Soekarno menghendaki agar lima dasar, yang kemudian disebut Pancasila itu, yang dikemukakannya dalam pidatonya yang terkenal pada 1 Juni 1945, yang menjadi dasar negara.
Pertikaian yang berlangsung sengit dalam sidang-sidang Badan Penyelidik itu sedemikian mengkhawatirkan, sehingga dibentuklah sebuah panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang, empat di antaranya dari golongan Islam yaitu Haji Agus Salim, Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkir, sedangkan lima lainnya adalah Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Achmad Subardjo dan Muhammad Yamin. Kesepakatan pun dicapai ketika Maramis yang beragama Kristen berbincang-bincang dengan Abikusno dan Kahar Muzakkir, di mana dia “setuju 200 persen” mengenai formula yang ditawarkan Kahar Muzakkir bahwa di negara baru nanti orang-orang Islam berkewajiban menjalankan syariat agamanya. Dalam persetujuan yang ditandatangani semua anggota Panitia Kecil ini, yang di kemudian hari dikenal dengan nama Piagam Jakarta – 22 Juni 1945, terdapat kata-kata bahwa negara berdasar pada “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Piagam ini kemudian disetujui oleh Badan Penyelidik dalam sidang bulan Juli 1945 sebagai mukadimah konstitusi negara.
Meski begitu, anggota Badan Penyelidik lainnya banyak yang keberatan dengan isi piagam tersebut. Penolakan mereka semakin keras ketika dalam sidang-sidang berikutnya kalangan Islam mengusulkan agar kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk Islam itu dicantumkan dalam ayat-ayat konstitusi, yang tentu saja menimbulkan keberatan di kalangan nasionalis dan Kristen. Penolakan serupa juga terjadi ketika para pemimpin Islam mengajukan agar kepala negara beragama Islam. Soekarno menyatakan bahwa ia percaya akan kebijaksanaan rakyat bahwa kepala negara yang akan dipilih rakyat adalah seorang Muslim. Wahid Hasyim, Kiai Masjkur, dan Kahar Muzakkir menolak keras pendapat Soekarno tersebut.
Upaya Soekarno mendekati pemimpin Islam agar mereka bersedia kompromi, tidak membuahkan hasil. Karena itu ketika Badan Penyelidik bersidang kembali pada tanggal 16 Juli 1945, Soekarno kembali mengimbau rekan-rekannya dari kalangan nasionalis agar menerima usul kalangan Islam.
Bola Api
Akan tetapi, rupanya itu hanya merupakan kemenangan sementara bagi golongan Islam, sebab pada bulan Agustus semua tuntutan mereka akhirnya dibatalkan. Tanda-tanda kekalahan ini tampak setelah dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sebagai pengganti Badan Penyelidik, yang beranggotakan 21 orang, dari golongan Islam hanya dua orang yang duduk yaitu Ki Bagus Hadikusumo dan KH Wahid Hasyim.
Kekalahan itu mencapai puncaknya pada tanggal 18 Agustus 1945. Kata-kata “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dihapus dari mukadimah konstitusi atau yang kita kenal dengan nama Undang-Undang dasar 1945 itu. Bahkan kata Allah pun diganti dengan kata Tuhan, atas usul seorang anggota dari Bali. Meski demikian, kata Allah yang lebih menyentuh hati kaum Muslim ketimbang kata Tuhan, kendati artinya sama, dalam teks konstitusi yang resmi tetap dipakai.
Syahdan, pada tanggal 18 Agustus atau sehari setelah kemerdekaan itu, pagi hari sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan dimulai, Hatta mengundang sejumlah tokoh yang dianggap mewakili golongan Islam. Mereka adalah Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Muhammad Hasan. Kasman sendiri termasuk enam anggota baru yang dimasukkan Soekarno, atas tanggungannya sendiri, dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, yang ketika itu sebenarnya belum berperan di tingkat nasional. Mereka diundang untuk meninjau kembali perumusan tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya itu. Hatta pun bercerita bahwa dia kedatangan seorang perwira angkatan laut Jepang yang mengabarkan bahwa orang-orang Kristen di wilayah Indonesia bagian timur akan menolak bergabung dengan Republik Indonesia jika perumusan dalam Piagam Jakarta itu tetap dipertahankan. Meskipun orang Kristen menyadari bahwa rumusan itu tidak berpengaruh sama sekali bagi kehidupan mereka, kata-kata tersebut dirasakan sebagai sebuah diskriminasi. Hatta sendiri berpendapat kata-kata itu tidak mengandung diskriminasi, dan bahkan pihak Kristen yang diwakili Maramis, sudah menyetujuinya. Namun demikian, dia tetap khawatir kalau kabar yang dibawa perwira Jepang itu benar. Hatta berjanji akan membicarakan masalah ini dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan, dan dia meminta sang perwira agar menenangkan rakyat Kristen di Indonesia Timur sana.
Menurut Hatta, dalam pertemuan dengan wakil-wakil Islam itu dia menyarankan agar perumusan tentang syariat Islam itu dihapus saja. Keempat wakil Islam itu, kata dia, menerima sarannya apalagi setelah kata Ketuhanan diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Kata Hatta pula, menurut Wahid Hasyim kata Ketuhanan Yang Maha Esa itu sesuai dengan tauhid dalam Islam, dan oleh sebab itu pergantian tersebut akan memuaskan kalangan Islam. Hatta sendiri tidak mengutamakan perumusan, yang penting baginya adalah bahwa kaum Muslim menjalankan ajaran agamanya. Rancangan yang sudah berganti sesuai dengan pembicaraan Hatta dengan para wakil Islam itulah, yang kemudian dibahas dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tidak seperti dalam sidang-sidang Badan Penyelidik, tidak ada satu pun pernyataan keberatan yang diajukan oleh para wakil Islam. Bahkan tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka mengenai hal yang kelak akan kembali menjadi “bola api” dalam sidang-sidang Konstituante