Islam dan Budaya Jawa (6)l
Dalam mengkaji suluk-suluk karya Sunan Bonang, demikian pula suluk-suluk Sunan Kalijaga, yang dibuat antara periode akhir abad 15 dan awal abad 16, seyogyanya memahami lebih dulu gambaran kehidupan masyarakat di masa itu, termasuk bahasa sastra yang berlaku, yang merupakan peralihan bahasa Jawa Kuno ke Jawa Madya (Pertengahan); karena dalam suluk-suluknya tidak jarang beliau menggunakan kiasan, perumpamaan dan simbol-simbol yang diambil dari budaya lokal yang kontekstual pada masanya.
Kecenderungan tersebut menurut Prof.Dr.Abdul Hadi WM, lazim berlaku pula dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindi, Melayu dan lain-lain. “Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamzil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat)”. Lantaran tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Maha Esa, dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara Sang Pencinta dengan Sang Kekasih.
Mengenai jumlah karya suluknya, sesungguhnya cukup banyak dan indah-indah, namun sayang sekali tidak mudah dijumpai masyarakat umum. Demikian pula minat para pakar dan peneliti sastra Jawa, tasawuf maupun komunikasi dan dakwah terhadap itu juga sangat kurang. Naskah-naskah Sunan Bonang yang ditulis dalam huruf Jawa, banyak tersimpan di Museum Perpustakaan Leiden. Bersyukur ada peneliti Belanda G.W.J. Drewes, ada Hussein Djajadiningrat dan Purbatjaraka (keduanya melakukan penelitian di masa sebelum kemerdekaan Indonesia), dan di awal abad 21 ini ada Prof.Dr.Abdul Hadi yang mengkaji serta mengulas hasil-hasil penelitian tersebut. Namun seperti halnya karya-karya sastra Jawa abad tersebut, beberapa pakar juga menyangsikan apakah benar misalnya, Suluk Wujil itu merupakan karya langsung Sunan Bonang, ataukah karya muridnya?
Berikut adalah beberapa kutipan atas ulasan terhadap sejumlah suluk Sunan Bonang:
- Gita Suluk Latri, menurut GWJ Drewes dalam Abdul Hadi WM (dalam http://setyodh.wordrpess.com), ditulis dalam bentuk tembang wirangrong, menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Suluk yang naskahnya disimpan di Museum Perpustakaan Universitas Leiden ini, menggambarkan semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (‘syq) semakin berkobar. Tatkala Sang Kekasih tiba, dia menjadi lupa segalanya, kecuali keindahan wajah Sang Kekasih. Demikianlah, setelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
Sayang sekali penulis masih belum berhasil memperoleh teks lengkap Suluk ini. Mungkin gambaran keindahan Gita Suluk Latri bisa disejajarkan dengan kerinduan tokoh sufi wanita Rabiyah Adawiyah sebagai berikut:
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu, adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk semua itu
Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cinta-Mu
Hingga tak ada satupun yang mengganguku dalam jumpa-Mu
Tuhanku, bintang gemintang berkelip-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu pintu istana pun telah rapat
Tuhanku, demikian malam pun berlalu
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku, Engkau terima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemahakuasaan-Mu
Inilah yang akan selalau ku lakukan
Selama Kau beri aku kehidupan
Demi kemanusian-Mu,
Andai Kau usir aku dari pintu-Mu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku pada-Mu sepenuh kalbu.
- Suluk Khalifah, menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk Islam. Dalam suluk ini Sunan Bonang menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai serta perjalanannya menunaikan ibadah haji.
- Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Gentur atau bentur dalam ulasan di atas berarti lengkap atau sempurna. Namun penulis, lebih memilih mengartikan tekun dan bersemangat, sebagaimana penulis selama ini menghayati makna “gentur tapane” atau kuat semangat dan tekun bertapa. Suluk ini menggambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertinggi.
Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan akan diikuti oleh sang maut ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar sang penempuh adalah syahadat “dacim qacim”, yaitu kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerak-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke laut dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’, maka tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan. Bersambung (Dari kumpulan tulisan B.Wiwoho : Orang Jawa Belajar Mengenal Gusti Allah).