Ads
Tasawuf

Sayap-sayap Keridhaan

Orang yang menyingkir dari perbuatan munkar,  tanpa berusaha menghentikannya lebih dulu, dosanya seperti orang yang melakukannya.

Di hari kiamat nanti, Allah akan menumbuhkan sayap pada segolongan umatku. Mereka melesat terbang dari kubur mereka menuju sorga. Para malaikat, yang keheranan, bertanya, “Apakah Anda-anda ini mengalami hisab,  perhitungan amal?”

“Tidak, tuh,” mereka menjawab.

“Ya, tapi kalian melewati Titian, kan?”

“Tidak juga.”

“Bagaimana dengan Jahanam, yang pasti menyeramkan?”

“Pokoknya, kami tidak melihat apa-apa, percayalah Bung.”

Well, kalian ini dari umat siapa?”

“Dari umat Muhammad shallallaahu ‘ alaihi wa sallam.”

Penasaran para malaikat berkata: “Dengan nama Allah, kami meminta kalian: terangkanlah kepada kami, amal apa yang pernah kalian lakukan selama di dunia.”

Mereka menjawab: ‘Ada dua hal yang kami pegang teguh.”

“Apa  kedua hal itu?” Para malaikat melanjutkan pengusutan.

“Bila kami kami dalam keadaan bersepi, rasanya malu kami melakukan maksiat. Di samping itu, kami ridha menerima bagian sedikit yang diberikan kepada kami.”

Malaikat lalu berkata, “Ya, kalian memang berhak menerima semua ini.”

Hadist riwayat Ibn Habban dari Anas itu hanya satu saja dari sekian banyak teks keagamaan yang bicara soal sikap ridha, dan kedudukannya yang tinggi dalam pandangan Allah.

Hal serupa bisa kita temukan dalam ajaran nabi-nabi terdahulu. Kita nukilkan salah satu kisah Bani Israil, yang dimuat kembali oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Muhabbah wasy-Syauq (Cinta dan Rindu). Tersebutlah seseorang yang, sepanjang tahun, pekerjaannya, melulu beribadah. Suatu malam, dalam mimpinya, ia mendengar seseorang berkata kepadanya: “Seorang wanita penggembala kelak menjadi temanmu di surga.” Si ‘ abid  (tukang ibadah) tadi lalu meminta agar wanita itu bisa dijumpainya. Oke, bisa. Wanita itu kemudian dimintanya menjadi tamunya selama tiga hari. Ia ingin tahu apa yang bakal dikerjakan orang mulia yang tidak tahu bahwa ia ahli surga itu.

Sepanjang malam abid itu beribadah. Dan, uh, wanita itu ternyata hanya tidur. Setiap hari si ahli ibadah berpuasa, sedangkan si gembalawati tidak. Karena jengkel atau apa, akhirnya keluar juga pertanyaannya: “He, apa tidak ada amal yang kaukerjakan, selain yang kulihat saban hari?”

“Tidak ada. Demi Allah, tidak ada, selain yang Tuan lihat setiap hari. Saya tidak tahu yang lain.”

“Coba ingat baik-baik. Barangkali ada yang lain.”

Laki-laki itu terus menerus menginterogasi, berusaha menyibak sikapnya sehari-hari. Di situlah wanita itu tiba-tiba berkata, “Jika saya berada dalam kesulitan, saya tidak pernah berharap dalam kelonggaran. Kalau kebetulan sakit, tidak berharap segera sembuh. Kalau sedang berada di bawah terik matahari, saya tidak berharap berada dalam keteduhan.”

Ahli ibadah itu pun meletakan kedua tangannya di kepala. “Ya, benar. Itulah soalnya. Demi Allah, yang begitu itu tidak banyak ahli ibadah yang melakukannya.”

Ridha, rela, atau senang, menurut Imam Al-Ghazali adalah salah satu buah yang dihasilkan oleh cinta. Nabi bersabda: “Allah, dengan hikmah dan keagungan-Nya, menjadikan kesenangan dan kegembiraan terletak pada keridhaan dan keyakinan. Dan menjadikan duka cita serta kesedihan terletak pada keraguan dan kemarahan.”

Ridha atau rela atau senang memang akan menengelamkan rasa pedih. Seumpama orang mendapat luka; atau musibah, ia tidak merasakan apa-apa, karena hatinya teramat sibuk. Apabila hati sedang tenggelam dalam suatu urusan yang dipersiapkan secara sempurna, tidak ada rasa lain menyusup ke dalamnya. Itu yang pertama.

Kedua, ia merasakan pedih dan sakit, tetapi itu diterima dengan lapang hati, bahkan ia ingin merasakannya. Ini ibarat orang yang pergi bekerja untuk mencari peruntungan, tidak begitu peduli pada medan berat yang bakal ditempuh, sebab ia suka, lantaran di sana tergambar sebuah hasil bagus yang bakal dicapai. “We have a dream, kata Martin Luther King, pejuang hak-hak persamaan kulit hitam Amerika. Maka, ridha sebenarnya sebuah sikap optimistis dalam memandang ke depan.

Karena itu tidak ada ridha kepada kelaliman, kemaksiatan, perbuatan sewenang-wenang. Mengingkari perbuatan maksiat, membenci, dan tidak meridhainya, malah terhitung ibadah. Sebaliknya, Allah mencela perbuatan hamba-Nya yang menyetujui perbuatan itu. Barangsiapa menyaksikan kemungkaran, kata Nabi, dan ia meridhainya, orang itu seakan-akan telah ikut mengerjakannya. Hadis lain, riwayat Abu Manshur ad-Dailami dari Anas r.a., menyatakan bahwa orang yang membiarkan perbuatan jahat, kedudukannya seperti pelakunya sendiri.

Diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud, katanya: Orang yang menyingkir dari perbuatan  munkar tanpa berusaha menghentikannya lebih dulu, dosanya seperti dosa orang yang melakukannya. Mengapa demikian, orang bertanya. Jawabannya: Itu sama artinya dengan kalau kemungkaran tadi disampaikan kepadanya, lalu ia meridhai. (Padahal belum tentu, bukan?) Tetapi, benar: andaikata seseorang  terbunuh di bumi belahan timur, dan pembunuhan itu diridhai orang di bumi di bagian barat, orang yang meridhai itu sama artinya dengan telah melakukan persekongkolan. Untuk yang seperti itu, tidak ada ridha

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda