Ads
Cakrawala

Islam dan Budaya Jawa (5) Islam Abangan dan Islam Putihan

Kelemahan-kelemahan ajaran tasawuf yang dikemas dengan adat-istiadat dan kebudayaan Jawa, sesungguhnya dari awal   sudah diduga dan dikuatirkan oleh wali-mubalig lainnya, yaitu Sunan Ampel (ayahanda Sunan Bonang sendiri), Sunan Giri (saudara seperguruan Sunan Bonang)  dan Sunan Drajat, yang dalam cerita-cerita rakyat disebut Golongan Islam Putih. Mereka berpendapat Islam harus disyiarkan sebagaimana aslinya secara lurus. Oleh sebab itu segala adat-istiadat yang tidak sesuai harus langsung dibuang, agar di kemudian hari tidak timbul salah persepsi yang membingungkan. Islam harus diajarkan secara murni dan bersih dari segala tata nilai yang mengotorinya, bagaikan kain putih yang bersih dari segala kotoran.

Pendapat ini dipatahkan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, yang khawatir dakwah akan gagal jika memaksakan kehendak tanpa mau memahami kondisi nyata sasaran dakwahnya. Dakwah haruslah komunikatif dan kontekstual. Bahwa ada kekurangan dan kelemahan, biarlah waktu dan generasi-generasi berikutnya yang menyempurnakan. Sunan Bonang yakin, umat Islam Jawa di masa depan akan bisa memahami sendiri mana yang baik dan mana yang buruk, dan pada saat itu mereka akan membuang hal-hal yang tidak sesuai dengan aqidah. Pada hematnya, kelak akan muncul para pembaharu sesuai konteks zamannya.

Penjelasan tadi akhirnya bisa diterima, dan selanjutnya para wali yang lain juga ikut memberikan  sumbangan serta peran yang sangat berarti dalam pengembangan kebudayaan Jawa yang bernafaskan Islam. Di bidang seni suara, lahir tembang-tembang Dandanggula ciptaan Sunan Kalijaga, tembang Asmaradana dan Pucung oleh Sunan Giri, Sunan Bonang menciptakan tembang Durmo, Sunan Kudus mencitakan Maskumambang dan Mijil, Sunan Muria menciptakan Sinom dan Kinanti, sedangkan Sunan Drajat menciptakan tembang Pangkur.

Mereka juga menggubah seni wayang beber menjadi seni wayang kulit seperti yang sekarang sangat popular, berikut lakon-lakon khusus yang tidak ada di dalam pakem induk pewayangan, yaitu pakem induk Ramayana dan Mahabarata. Wayang beber adalah seni pertunjukkan wayang yang mengisahkan cerita yang dilukiskan dalam selembar kain, sebagaimana lukisan cerita wayang Bali yang masih mudah dijumpai saat ini. Demikian pula seni budaya yang lain, dikembangkan secara luar biasa misalkan seni ukir, dengan memperkenalkan motif tumbuh-tumbuhan khususnya bunga, daun dan sulur.

Hal lain yang dikhawatirkan Sunan Ampel bisa menghambat syiar Islam adalah sangat kuatnya faham mistis Kejawen. Kekuatiran Golongan Putih tersebut menguat tatkala kekuasaan Kesultanan Demak berpindah dari tangan Sultan Trenggono, putera dari pendiri Kesultanan, yaitu Raden Patah yang tiada lain adalah menantu Sunan Ampel dan  ipar Sunan Bonang, ke tangan Sultan Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggono)  yang paham mistis kejawennya sangat kuat. Sebagai akibatnya, di kemudian hari sering  timbul kerancuan dalam memahami tasawuf Jawa yang dirintis Sunan Bonang tersebut. Bahkan tidak jarang orang menganggap tasawuf, khususnya tasawuf di Jawa, selanjutnya penulis sebut tasawuf Jawa,  sebagai ilmu mistis semata yang tidak beda dengan ilmu-ilmu perdukunan.  Naudzubillah.

Berdakwah secara bertahap dan menyusup ke dalam adat-istiadat serta budaya Jawa ini, menghasilkan suatu sikap masyarakat yang memeluk Islam namun dengan tetap menjunjung tinggi budaya Jawa, yang selanjutnya dikenal sebagai sinkretisme Islam – Jawa atau Islam Kejawen. Sebagian dari penganut faham tersebut  merupakan cikal-bakal dari apa yang kemudian disebut Islam Abangan, sebagai lawan istilah dari Islam Putihan yang menginginkan islam disyiarkan secara murni dan bersih bagaikan kain putih. Kondisi masyarakat yang seperti itu dipelajari dan dimanfaatkan oleh Belanda bersama zending dan misionaris Kristen, guna  menancapkan kuku mereka di bumi Nusantara. Pemerintah Hindia Belanda, tentu saja mempunyai kepentingan yang berbeda dengan umat dan dakwah  Islam di Nusantara khususnya Jawa.  Belanda dengan segala daya berusaha memperkuat dan mempertahankan kekuasaannya, sementara umat Islam berjuang untuk melepaskan diri dari cengkeraman kekuasaan tersebut.

Belanda menilai masyarakat nampaknya saja memeluk Islam dan hanya di permukaan kehidupan saja yang ditutupi dengan agama Islam, sehingga bagaikan orang yang berselimut kain yang penuh lubang-lubang besar. Jadi pada hematnya, orang Jawa tidak begitu taat melaksanakan ajaran Islam. Berdasarkan penilaian itu maka mereka beranggapan akan dengan mudah membuat orang-orang Jawa menerima tata nilai Barat termasuk agama Kristennya. Mereka juga menggunakan cara-cara halus untuk menghadapi umat Islam, antara lain dengan menggiring dan menyalurkan semangat umat ke arah yang bisa menjauhi agamanya  melalui pengembangan kegiatan kebudayaan (Politik Islam Hindia Belanda, H.Aqib Suminto, penerbit Pustaka LP3ES, 1996, halaman 18).

Langkah itu ternyata salah besar. Para ulama yang semula tenang-tenang dalam lingkungannya, justru mengadakan reaksi dan perlawanan besar. Kesalahan kebijakan tadi sempat diperbaiki oleh Snouck Hurgronye menjelang akhir abad ke 19, namun semangat nasionalisme sudah terlanjur berkobar bersamaan dengan gerakan kebangkitan di negara-negara jajahan lainnya. Para priyayi dan bangsawan yang coba digarap menjadi jalur masuk sekularisme, tata nilai  dan budaya Barat, ternyata sebagian besar justru bersinergi dengan pejuang-pejuang Islam. Walau para priyayi dan bangsawan itu sejak awal Dinasti Mataram-Islam tidak menyukai budaya Arab, tetapi jiwa tasawuf yang telah menyatu dalam kehidupannya berikut rasa kagumnya kepada Kanjeng Nabi Muhammad dan para wali khususnya Sunan Kalijaga, membuat mereka tetap kokoh dalam keyakinan agamanya.

Demikanlah, sebagaimana pidato pengangangkatannya menjadi Sultan pada tahun 1940, Hamengkubuwono IX yang sejak taman kanak-kanak hidup dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Belanda bahkan di negeri Belanda,  menyatakan bahwa jalan pikiran Barat harus dipadukan dengan jalan pikiran Timur, sambil harus dijaga agar jiwa Timur tidak kehilangan ketimurannya. “Saya ini Jawa dan bagaimana pun saya tetap Jawa “, katanya. (buku “Tahta Untuk Rakyat” dalam “Politik Islam Hindia Belanda” halaman 201).

Subhanallah walhamdulillah.

Bersambung

(Dari kumpulan tulisan B.Wiwoho: Orang Jawa Belajar Mengenal Gusti Allah).

Tentang Penulis

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda