Masih ingat dengan salah satu isi pesan singkat telpon genggam yang banyak beredar menjelang bulan Puasa yang antara lain berbunyi : “Sebentar lagi Ramadhan tiba. Nafas kita akan menjadi tasbih, tidur kita sebagai ibadah. Tapi itu semua tidak akan terjadi tanpa maaf anda. Oleh karena itu kami sekeluarga mohon maaf lahir batin atas segala khilaf, salah dan dosa kami.”
Nah, sekarang puasa Ramadan usai sudah. Sudah lebaran. Sudah selesai. Masihkah nafas kita menjadi tasbih dalam sebelas bulan yang lain? Ataukah hal itu tidak perlu? Cukup selama Ramadan saja?
Kanjeng Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “Banyak orang-orang yang berpuasa yang tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan haus.” Lantas kita ini termasuk yang mana? Yang banyak itu atau yang bukan?
Pernahkah mendengar istilah Haji Tomat? Puasa Tomat? Berangkat atau mulai dengan tobat, pulang atau selesai, perilaku buruknya kumat. Selama puasa tobat, habis Lebaran kelakuan buruknya kumat kembali. Naudzubillah.
Orang yang pergi haji biasanya didoakan agar menjadi haji mabrur, yaitu yang perilakunya menjadi baik, bahkan semakin baik. Demikianlah hakikat dari sesuatu ibadah seperti halnya haji dan puasa, adalah agar yang bersangkutan menjadi baik atau semakin baik. Ibadah haji sebagaimana kita bahas dalam Makna Ibadah Haji dalam Suluk Linglung dalam Orang Jawa Belajar Mengenai Gusti Allah, adalah memperbarui perjanjian kita dengan Gusti Allah menjelang ruh kita ditiupkan ke dalam tubuh kita.
Sedangkan hakikat ibadah puasa, menurut Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin, adalah membuat benteng dan perisai yang kuat pada diri kita, guna berperang melawan syaitan, khususnya syaitan yang menetap di dalam hati, menyusup dalam nafsu dan syahwat kita. Yang senantiasa menggoda agar kita melakukan perbuatan-perbuatan buruk, perbuatan-perbuatan kotor.
Benteng dan perisai diri itu diperlukan sebagai bekal untuk melakukan perjalanan kehidupan yang panjang serta penuh godaan. Dengan benteng dan perisai diri yang kokoh, kita akan dapat mengalahkan “musuh-musuh Allah”, akan dapat menjalankan perintah Allah Swt. guna menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Dengan puasa maka secara lahiriah kita akan sabar dan kuat untuk menahan panca indera serta seluruh anggota tubuh agar mentaati Allah dan tidak melakukan hal-hal yang dilarang-Nya.
Secara batin atau hati, puasa akan mencegah kita dari cita-cita rendah dan fikiran keduniaan, mencegah hati dari apa-apa yang selain Allah. Karena itu puasa bukanlah tujuan, bukan terminal, namun sarana. Sarana untuk mewujudkan apa-apa yang kita bahas di bagian depan tadi. Apakah selama sebelas bulan berikutnya berbekal benteng dan perisai diri yang kokoh, kita akan sungguh-sungguh berani serta dapat menjalankan perintah Allah, mengalahkan “musuh-musuh-Nya”, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar?
Dalam bahasa sekarang, Ramadan adalah Pusat Pendidikan dan Latihan, Training Center guna menghadapi perjuangan hidup sebelas bulan ke depan. Oleh sebab itu, mestinya bukan hanya selama Ramadan saja nafas kita menjadi tasbih dan tidur sebagai ibadah. Hakikat dari bacaan tasbih, Maha Suci Allah, harus menyertai seluruh denyut kehidupan kita. Seluruh aktivitas kehidupan kita termasuk tidur harus diproses sebagai ibadah, sebagaimana ikrar kita dalam doa pembuka sewaktu salat yaitu “Inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil ‘alamin. Sesungguhnya, salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan Semesta Alam.”.
Maka terimalah ucapan saya, “Selamat dan sukses menjalani Pusdiklat Ramadan, sehingga menjadi Balatentara-Nya yang dengan rida, berkah serta rahmat-Nya, sukses pula memenangkan pertempuran dalam kehidupan sebelas bulan ke depan. Allaahumma amin”. (Mutiara Hikmah Puasa, B.Wiwoho).