Ads
Cakrawala

Idul Fitri, Merayakan “Manusia Bunga”

Saat ditanya, “mengapa membalas kejahatan dengan kebaikan?” Isa alaihi salam menjawab, “karena di keranjangku hanya ada bunga!” Sungguh sedikit orang yang keranjangnya cuma berisi bunga. Yang umum: bunga di permukaan, sampah dibawahnya.

Celakanya, banyak yang merasa keranjangnya penuh bunga, tanpa sadar sampah menumpuk di bawahnya. Buktinya, untuk satu dua sampah yang dilemparkan, dia akan membalas dengan bunga. Tetapi, tidak untuk sampah kelima-enam-tujuh dan seterusnya; tinggal sampah yang dia punya untuk membalas sampah.

Lebih celaka lagi, selalu ada rasionalisasi untuk membaca sampah sebagai bunga. Dengan demikian, tanpa sadar, substansi bunga dan sampah di dalam diri menjadi kabur, karena semuanya cenderung dibaca sebagai bunga.

Ini semua terjadi karena alasan sederhana. Kita sering lupa, kemampuan membaca sampah karena kita punya simpanan perbendaharaan bahasa sampah di dalam diri. Perbendaharaan yang potensial muncul saat ditekan realitas sampah di sekitar kita.  

Sudut pandang seperti inilah yang dipakai seorang sufi ketika mengatakan, apa yang kau lihat sebagai kejahatan, adalah bagian dari dirimu yang belum kau sucikan! Karena keyakinan itu, sang sufi biasa menyuruh muridnya untuk lebih dulu menengok ke dalam diri, sebelum membuat respon terhadap apapun.

Respon pertama ketika orang membaca sampah, seharusnya adalah menemukan dan menghapus -atau paling tidak mengarantina- sampah serupa yang bercokol di dalam diri.

Ini yang biasanya malas dijalankan, karena orang takut melihat sampahnya sendiri yang akan membuat dirinya terlihat buruk. Padahal inilah langkah pertama keimanan.

Ketika ditanya apa ciri orang beriman, sayidina Ali menjawab: Orang yang merasa dirinya sebagai mahluk yang paling buruk di seluruh semesta. Dalam perspektif ini, orang tak bisa menyebut dirinya beriman sebelum memosisikan dirinya sendiri sebagai orang yang paling penuh keburukan di antara seluruh ciptaan Allah.

Sebenarnya, inilah salah satu hasil yang ingin dicapai puasa. Puasa atau shaum, maknanya adalah mencegah perbuatan. Intinya: kita dikondisikan untuk menjadi tenang, diam, tak beraksi apalagi reaksi. Ini membuat kita berhadapan dengan diri sendiri; termasuk dengan sampah-sampah yang tersimpan di dalam diri.

Bila kita menyadari kesalahan, kelemahan, kerapuhan, kebodohan kita sendiri; kita diharap lebih bisa lapang dalam menyikapi sampah serupa yang ada di luar.

Lailatul Qadar

Dalam perspektif Ibn ‘Arabi, puncak pencapaian puasa adalah diraihnya lailatul qadar atau malam yang mulia. Lailatul qadar menurut ta’wil Ibn ‘Arabi adalah ‘tubuh Muhammad’.

Malam, karena kegelapannya, adalah simbol wujud; dan malam atau wujud yang paling mulia adalah Muhammad shalallahu alaihi wassalam. Beliaulah yang kemudian dijuluki insan kamil atau manusia universal atau (istilah yang populer di kalangan sufi) ‘manusia Tuhan’.

Banyak hadits yang menegaskan, betapa Rasul shalallahu alaihi wassalam memerintahkan Muslim untuk meraih lailatul qadar di sepertiga akhir Ramadlan.

Dan jika lailatul qadar kita maknai sebagai insan kamil, maka seharusnya puasa Ramadlan dibaca sebagai puncak dari pengelolaan diri selama sebelas bulan sebelumnya.

Sedangkan sepertiga akhir Ramadlan menjadi puncak ‘pembakaran’ (sesuai dengan makna literal Ramadlan) segenap ‘sampah’ keberadaan parsial dan partikular kita, sehingga kita punya kesempatan meraih posisi lailatul qadar atau ‘manusia Tuhan’ atau ‘manusia universal’ atau istilah kaum sufi ‘insan kamil’.

Secara sederhana, menjadi ‘manusia Tuhan’, adalah posisi dimana orang punya kesempatan untuk berpartisipasi merealisasikan universalitas Allah dalam partikularitas ruang waktunya sendiri. Tapi ini tidak lantas berarti mereka menjadi digdaya.

Betapapun, pada akhirnya mereka tetap manusia dengan segenap kelemahan dan kerapuhan yang menjadi bawaan keberadaannya.

Kesadaran tentang posisinya yang unik (di satu sisi mengejawantahkan universalitas Allah, di sisi lain dikurung keberadaan parsial-partikularnya) inilah yang justru membuat mereka harus benar-benar mampu selalu menjaga diri (tujuan puasa memang ‘agar kamu bertaqwa’, sedang pengertian taqwa adalah menjaga diri) untuk tidak memaksakan klaimnya atas universalitas itu sendiri.

Kualitas manusia seperti inilah yang akan benar-benar mampu berperan sebagai wakil Allah, tanpa terkotori oleh ‘sampah’ kepentingan kemanusiaan parsial-partikularnya sendiri. Mereka akan selalu mampu berbahasa ‘bunga’, sekalipun hidup di kubangan ‘sampah’. Ini karena pada hakikatnya ‘manusia Allah’ bisa selalu bertelanjang untuk membaca ‘Allah’ dalam medan pluralitas kenyataan lewat ‘Allah’ di dalam dirinya.

Manusia Bunga

Kalau kita pakai perspektif ini, Idul Fitri adalah momentum perayaan penemuan kembali fitrah kita sebagai lailatul qadar, ‘manusia Tuhan’, manusia universal atau insan kamil. Dan -menurut sebuah sebuah hadits qudsi– manusia memang diciptakan dalam citra ar-Rahman, sang penyayang.

Rahman adalah sifat utama Allah, yang merengkuh siapapun dengan kasih. Nah, sebagai citra ar-Rahman, secara sederhana insan kamil bisa dibaca sebagai model manusia yang -menurut ungkapan Isa alaihi salam– ‘dikeranjangnya hanya ada bunga’; sehingga akan berhubungan dengan apapun dengan bahasa ‘bunga’.

Masalahnya: sudahkah Idul Fitri ini menjadi momentum lahirnya manusia-manusia yang dikeranjangnya hanya ada bunga? Bunga-bunga yang menyebabkan semua interaksi sosial-ekonomi-politik-budaya kita menjadi interaksi yang bernafas bunga?

Bunga-bunga yang mampu menghapus bau tak sedap sampah yang dilempar ke tengah kita oleh pihak-pihak yang tak sempat menyadari kesampahannya?

Ah, alangkah indah kalau Idul Fitri menjadi awal tumbuhnya taman bunga bernama Indonesia! Bila tidak, maka sebaliknyalah yang akan terjadi, meminjam ungkapan sufi ‘dia yang ditangan agama, jiwanya tak bagai salju meleleh; di tangannya agama bagai salju meleleh’.

Taqaballahu minna wa minkum. Shiyamana wa shiyamakum. Ja’alanallahu wa iyyakum minal aidzin wal faidzin.

Budayawan,tinggal di Pati Jawa Tengah. Pendiri Rumah Adab Indonesia Mulia

Tentang Penulis

Avatar photo

Anis Sholeh Ba'asyin

Budayawan, lahir di Pati, 6 Agustus 1959. Aktif menulis esai dan puisi sejak 1979. Tulisannya tersebar di koran maupun majalah, nasional maupun daerah. Ia aktif menulis tentang masalah-masalah agama, sosial, politik dan budaya. Di awal 1980an, esai-esainya juga banyak di muat di majalah Panji Masyarakat. Pada 1990-an sempat istirahat dari dunia penulisan dan suntuk nyantri pada KH. Abdullah Salam, seorang kiai sepuh di Kajen - Pati. Juga ke KH. Muslim Rifai Imampuro, Klaten. Sebelumnya 1980an mengaji pada KH. Muhammad Zuhri dan Ahmad Zuhri serta habib Achmad bin Abdurrahman Al Idrus, ahli tafsir yang tinggal di Kudus. Mulai 2001 kembali aktif menulis, baik puisi maupun esai sosial-budaya dan agama di berbagai media. Juga menjadi penulis kolom tetap di beberapa media. Sejak 2007 mendirikan dan memimpin Rumah Adab Indonesia Mulia, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan non formal, penelitian, advokasi dan pemberdayaan masyarakat. Karya lainnya, bersama kelompok musik Sampak GusUran meluncurkan album orkes puisi “Bersama Kita Gila”, disusul tahun 2001 meluncurkan album “Suluk Duka Cinta”. Sejak 2012, setiap pertengahan bulan memimpin lingkaran dialog agama dan kebudayaan dengan tajuk ”Ngaji NgAllah Suluk Maleman” di kediamannya Pati Jawa Tengah mengundang narasumber tokoh lokal maupun nasional.

Tinggalkan Komentar Anda