Bagaimana kesan anda apabila mendengar ungkapan “bagaikan keledai membawa banyak buku?” Secara harfiah adalah tentang hewan sebagai sarana transportasi. Namun secara maknawiyah, menggambarkan orang yang memiliki banyak ilmu tetapi tidak mengamalkannya bagi kemaslahatan masyarakat, sehingga ya seperti binatang keledai tadi, membawa banyak buku tetapi tidak bisa memahami dan mengamalkan ilmu pengetahuan yang tertulis di dalam buku-buku tersebut.
Orang yang seperti itu boleh jadi merasa ilmu yang dimiliki adalah semata-mata berkat perjuangan keras dan kecerdasan otaknya. Sebab itu ia tidak merasa perlu mengamalkan demi kemaslahatan orang banyak. Atau jika harus memberikan kepada orang lain, maka harus jelas bagaimana hitung-hitungannya. Ia lupa bahwa ilmu adalah amanah yang dititipkan Allah Yang Maha Mengetahui kepadanya. Orang sering lupa, tatkala lahir hanyalah seorang bayi yang telanjang bulat, yang belum bisa apa-apa kecuali menangis. Dengan kehendak dan rida Gusti Allah Yang Maka Kuasa lagi Maha Kaya, orang tuanya mengenakan pakaian, menyusui, menyuapi makanan dan mengajari aneka macam ilmu pengetahuan, sehingga ia bisa mengenal kehidupan, bisa baca-tulis dan sebagainya.
Semua terjadi atas kehendak dan rida Allah Swt. tapi sering dilupakan, serta dianggap semua memang sudah otomatis demikian halnya dan atau karena perjuangan orang tua serta dirinya sendiri. Padahal, “Allah memberi ilmu kepada Nabi Adam as., Allah mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya dengan kalam. Ilmu manusia sangat sedikit dan terbatas, yang diketahuinya karena kehendak Allah jua. Manusia dilahirkan tanpa ilmu dan tidak mengetahui sesuatu pun. Diberi-Nya pendengaran agar memperoleh ilmu dengan pengabaran, diberi-Nya penglihatan agar memperoleh ilmu dengan melihat kenyataan, dan diberi-Nya hati dan akal agar memperoleh ilmu dengan penalaran atau proses memahami.” ( QS, 002:031, 096:004-005, 017:085, 006:050, 002:255, 016:078, 017:036, 007:179, 023:078).
Kepercayaan dan keyakinan tentang kehendak dan rida Allah itu disebut iman. Berdasarkan keimanan tadi maka para ahli hikmah dan penganut tasawuf sering menyatakan dirinya fakir dan bodoh, lantaran meyakini semua harta benda serta ilmu pengetahuan yang dimilikinya hanyalah titipan Allah, yang sewaktu-waktu bisa diminta kembali. Ini sesuai pula dengan hadis riwayat Ahmad Tirmidzi, “Hamba yang dianugerahi harta dan ilmu oleh Allah yang dengan ilmunya dia bertaqwa kepada Tuhannya dan menghubungkan tali silaturahim serta mengetahui bahwa Allah mempunyai hak atas harta dan ilmunya. Inilah kedudukan yang paling utama”.
Adapun ungkapan bagaikan keledai membawa banyak buku, sesungguhnya berasal dari Surat Al-Jumuah (62) ayat 5, yang berbunyi, “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”
Oleh para ahli hikmah, ayat tersebut dimaknai secara luas menyangkut segala aspek kehidupan, sebagaimana sabda Kanjeng Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, yaitu “Orang yang paling berat siksanya nanti di hari kiamat adalah orang berilmu yang ilmunya tidak bermanfaat. Sedangkan sebaik-baik sedekah adalah seorang muslim yang belajar ilmu pengetahuan, kemudian mengajarkannya kepada saudaranya sesama muslim.”
Betapa besar manfaat ilmu pengetahuan, kita semua sudah mengetahui. Tanpa ilmu pengetahuan seperti sekarang kita hanya akan bisa hidup bak manusia purba. Tidak bisa menenun pakaian, tidak bisa berkebun dan berternak dengan budidaya yang baik, tidak bisa membuat rumah dan kendaraan bermotor, tidak menguasai ilmu kedokteran guna menolong sesamanya dan lain-lain. Kita sekarang menguasai semua ilmu pengetahuan, termasuk bisa membaca tulisan ini lantaran ilmu orang-orang lain yang diamalkan. Maka sewajarnyalah apabila kita juga meneruskan segala ilmu pengetahuan yang kita miliki kepada orang lain, kepada masyarakat luas.
Berdasarkan seluruh pemahaman tadi, maka Imam Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin mengajarkan empat keharusan manusia. Pertama, harus mempunyai ilmu. Kedua, harus mempunyai amal. Ketiga, harus mempunyai ikhlas. Keempat, harus mempunyai khouf.
Baginda Rasul bersabda, menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim (Hadis riwayat Ibnu Majah). Ilmu tersebut selanjutnya harus diamalkan. Kemudian dalam beramal haruslah dengan keikhlasan, sebab bila tidak ikhlas maka kita akan rugi karena amal kita sia-sia. Sementara itu kita juga harus senantiasa khouf, senantiasa takut amal kita tidak diterima Allah, takut tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, takut masih saja melanggar larangan Allah. Rasa takut kepada Allah akan menjaga niat dan perilaku kita untuk selalu pada yang diridai Allah Swt.
Ilmu yang mengandung takut bercampur rasa agung kepada Allah akan membawa yang memilikinya menjadi taat kepadaNya, selalu berada di atas garis-garis Allah, mendahulukan akhirat dibanding dunia, dan selalu memberikan nasihat-nasihat yang baik terhadap sesamanya. Di samping itu ia tidak akan sombong, senantiasa menghormati kekasih-kekasih Allah serta bergaul dengan fakir miskin. Itulah ilmu yang akan menjelma menjadi sahabat yang dengan setia menemani kita di alam kubur, tatkala semua harta benda , keluarga dan handai taulan sudah meninggalkan kita, bahkan terus menemani sampai di Pengadilan Akhirat berlanjut di Kampung Akhirat, di Istana Masa Depan, insya Allah.
Oleh sebab itu marilah kita memohon agar dengan hakikat dan fadilah puasa, salat serta ibadah mahdah lainnya, kita dianugerah bisa memahami dan memiliki ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi sesamanya, sehingga bisa menjadi sahabat setia kita selamanya. Amin. (tulisan lebih mendalam bisa dibuka di link https://islamjawa.wordpress.com/2013/03/09/pesan-tempat-di-sisi-allah-swt-4-ilmu-yang-bermanfaat/ ).
(Mutiara Hikmah Puasa, B.Wiwoho).