Abah Falak membekali para santri dan laskar dengan ilmu hikmat untuk menghadapi tentara profesional Belanda. Mengapa ulama tarekat ini disebut Abah Falak?
Di pintu makamnya tertulis: KH Tubagus Ahmad Falak Abas, asal dari Desa Sabi, Pandeglang. Lahir pada 1258 H (1842 M) meninggal dunia 1392 H (19 Juli 1972) di Pagentongan, Ciomas, Bogor.Entah mengapa ditulis Ahmad Falak, padahal ama dia adalah Muhammad Falak, dan sehari-hari biasa dipanggil Abah Falak. Dia adalah pendiri Pesantren Al-Falak yang berlokasi di Pagentogan itu.
Mula-mula Pesantren Al-Falak dikenal sebagai lembaga pendidikan tradisional bagi ahli ilmu falak atau hisab, selain masyhur sebagai tempat orang belajar ahli hikmat. Al-Falak berinduk pada pesantren di Pandeglang, Banten. Akan tetapi dalam perkembangannya pesantren ini menjadi induk bagi pesantren-pesantren baru di daerah Bogor.
Waktu kecil Abah Falak dipanggil Bungsu. Ketika meningkat remaja nama alias ini tidak digunakan lagi. Bungsu lahir pada 1258 H/1842 M di Desa Sabi, Pandeglang, Banten. Ayah dan kakeknya, Tubagus Abbas dan Tubagus Mu’min Abdul Hamid, adalah ulama terpandang di Banten. Mula-mula Bungsu belajar agama kepada orangtuanya sendiri.
Pada 1857, ketika berusia sekitar 15 tahun, Bungsu dikirim orangtuanya ke Tanah Suci. Cukup lama ia bermukim di Haramain, 21 tahun. Pada periode pertama keberadaannya di Haramain ini ia gunakan untuk mempelajari berbagai ilmu. Haramain, waktu itu, merupakan pusat keilmuan paling penting di dunia Islam. Mula-mula Bungsu belajar ilmu tafsir Quran dan fikih pada Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dan Syekh Mansur Al-Madani. Kedua ulama ini berasal dari Jawah (sebutan Nusantara pada waktu itu), masing-masing dari Banten dan Medan, dan sudah ama terkenal di Mekkah.
Setelah cukup dewasa, Bungsu tertarik pula untuk mempelajari ilmu tarekat dan ilmu hikmat. Gurunya adalah Syekh Umar Bajened, ulama dari Mekkah, Kiai Abdul Karim Tanahara, pemimpin Tarekat Qadiriah yang juga mempunyai peranan cukup besar dalam pemberotakan petani Banten 1888, dan Kiai Ahmad Jaha. Dua ulama yang disebut terakhir ini berasal dari Nusantara.
Bungsu mempelajari pula ilmu falak (astronomi) dari salah satu gurunya itu. Sang guru rupanya amat terkesan dengan kemampuan Bungsu dalam menguasai ilmu ini. Ia pun memberi hadiah nama untuk sang murid, Muhammad Falak. Tapi yang membuatnya amat terkenal di antara kawan-kawannya adalah: Muhammad Falak gemar melakukan olah rohani. Yakni menjalankan puasa sunnah dan melakuan i’tikaf di Masjid Mekkah dan Madinah pada waktu malam.
Nama Muhammad Falak tetap melekat pada dirinya, meskipun ilmu falak bukan lagi menjadi keahlian utamanya. Kelak, Kiai Haji Tubagus Muhammad Falak memang lebih dikenal sebagai ulama tarekat/tasawuf dan ahli hikmat.
Setelah proklamasi kemerdekaan, semangat revolusi tersebar juga di Pagentongan. Bermodalkan beberapa orang yang pernah mengikuti latihan militer pada zaman Jepang dan semangat jihad yang menyala-nyala, Pesantren Pagentongan menjadi pusat pembentukan pasukan Hizbullah dan Sabillah. Ketika Bogor diduduki Belanda, dan Pagentongan menjadi daerah operasi dan kadang-kadang medan pertempuran, penduduk mengungsi ke pedalaman, dan keluarga Abah Falak sendiri memilih untuk bertahan di pesantrennya.
Sebagai ahli ilmu hikmat, pada masa revolusi Abah Falak banyak didatangi anggota lasykar yang meminta tuah atau wapak untuk memperoleh kekebalan agar tidak mempan peluru atau terluka oleh senjata tajam. Dalam usianya yang sudah sepuh, sosok dan penampilan Abah Falak amat masyhur kala itu. Tubuhnya yang kecil selalu di balut jubah putih, dilengkapi serban dan tutup kepala. Sementara tasbih tak henti henti bergerak di antara jari-jari tangannya. Petanda dia tidak pernah putus melakukan zikir kepada allah Allah SWT. Ini menjadikan wajah dan tingkah lakunya selalu tenang. Pemandangan ini tentu saja amat kontras daengan suasana perang yang gawat, dan tingkah laku laskarnya yang pemberani, yang terkadang tanpa perhitungan. Keputusannya untuk bertahan di pesantren, menyingkir sebentar bila datang bahaya dan pulang kembali setelah pertempuran reda menimbulkan banyak kisah legendaris di lingkungan masyarakat, yang menyatakan bahwa Abah Falak dengan ilmu hikmatnya dapat membangkitkan semangat laskar yang harus maju perang dengan senjata dan pakaian compang-camping, menghadapi tentara profesional yang menggunakan senjata modern.
Tentu saja, pada zaman revolusi ini Pesantren Al-Falak tidak mungkin menyelenggarakan kegiatan pengajian rutin. Pesantren baru dibuka lagi pada tahun 1953. Momentum untuk kebangkitan kembali Pesantren Pagentongan ditandai dengan kehadiran KH Wahid Hasyim, yang menyelenggarakan musyawarah pembkaan cabang NU Bogor yang dipusatkan di Pesantren Pagentongan