Ketika ulama harus merapat ke Istana. Untuk apa? Pengalaman Kiai Badawi, Ketua Muhammadiyah tahun 1960-an.
Situasi dan kondisi politik di tahun 1960-an membuat kedudukan Muhammadiyah terjepit dan serba sulit. Keadaan politik yang tidak menguntungkan Ini membuat jajaran kepemimpinan pusat Muhammadiyah terbelah dalam menyikapi rezim otoritarian Soekarno, menyusul Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah dekrit yang disebut “palu godam kekuasaan” ini, Presiden membubarkan Partai Masyumi, yang menjadi saluran politik Muhammadiyah. Kelompok pertama, diwakili oleh Mulyadi Djojomartono dan KH Faried Ma’ruf, menghendaki upaya-upaya pendekatan dengan Bung Karno Kelompok kedua adalah mereka yang ingin mengikuti garis Masyumi seperti Kasman Singodimedjo dan Buya Hamka. Sementara itu, beberapa tokoh Pimpinan Pemuda Muhammadiyah di antaranya Lukman Harun mengikuti sikap Mulyadi Djojomartono. Mereka gencar melakukan berbagai pendekatan kepada pemerintah Soekarno, selain kepada Jenderal AH Nasution dan perwira-pewira tinggi yang dianggap dekat dengan Muhammadiyah.
Melihat arus besar di kalangan elite Muhammadiyah yang cenderung mengikuti sikap Mulyadi Djojomartono, Ketua PP Muahammadiyah KH Ahmad Badawi tampak tidak punya pilihan lain kecuali, menurut istilah perpolitikan sekarang, “merapat ke Istana”. Dia berulangkali bertemu dengan Bung Karno baik di Istana Jakarta maupun di Istana Bogor. Pertemuan-pertemuan yang sering ini membuat hubungan Kiai Badawi dengan Bung Karno menjadi dekat. Dan pada tahun 1963 Badawi pun diangkat menjadi penasehat pribadi Presiden. Bung Karno pun tampak ingin mengesankan bahwa dia warga Muhammadiyah, dengan berulangkali menyatakan “Sekali Muhammadiyah, tetap Muhammadiyah.” Bahkan dia berwasiat, jika meninggal kelak jasadnya dikafani dengan bendera Muhammadiyah.
Konon, Kiai Badawi sangat bijak dan cukup piawai dalam melobi Presiden dengan nuansa agamis. Kedekatan ini juga dirasakan oleh Soekarno hingga dirinya sangat memerlukan nasehat-nasehat agama. Oleh karenanya bila KH A. Badawi memberikan masukan-masukan yang disampaikan secara bijak, Soekarno sangat memperhatikannya. Bahkan menteri-menterinya pun diminta memperhatikan fatwa Badawi. Secara relatif Kiai Badawi dinilai mampu mengendalikan Presiden Soekarno agar tidak terseret terlalu jauh oleh pengaruh-pengaruh komunis. Boleh dikatakan, waktu itu Bung Karno sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia menyampaikan siraman rohani kepada Bung Karno kapan dan di mana pun dia sempat.
Bagian penting dari upaya pendekatan itu adalah pengunagerahan “Bintang Muhammadiyah” kepada Bung Karno oleh KH Badawi di Istana Bogor. Sebagai anggota Muhammadiyah, Bung Karno pun diwajibkan tunduk kepada pimpinan persyarikatan. Puncak upaya pendekatan diri kepada Sukarno adalah pemberian gelar “Doktor Honoris Causa” oleh Universitas Muhammadiyah Jakarta di Istana Merdeka.
Ahmad Badawi lahir di Kauman, Yogyakarta, pada Februari 1902. Ayahnya adalah KH Ahmad Faqih, salah satu anggota pengurus Muhammadiyah, sedangkan ibunya, Hj. Habibah, adik KH Ahmad Dahlan. Selain mengaji pada ayahnya, sebagian besar masa pendidikannya dihabiskan dari pesantren ke pesantren. Sedangkan pendidikan formalnya hanya diperoleh dari Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang didirikan dan diasuh langsung oleh KH Ahmad Dahlan. Dengan demikian, Ahmad Badawi adalah murid dan anak didik langsung Kiai Dahlan.
Pesantren pertama yang dimasuki Ahmad Badawi adalah Pondok Lerab di Karanganyar, Jawa Tengah, pada tahun 1908. Selama kurang lebih lima tahun nyantri di pesantren ini dia banyak mempelajari ilmu tata bahasa Arab yaitu nahwu dan sharaf. Pada tahun 1913 dia meneruskan ke Pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur. Di sini dia belajar pada KH Dimyati sampai tahun 1915. Ia kemudian mondok di Pesantren Besuk di Wangkal, Pasuruan, selama lima tahun. Dari Jawa Timur ia kembali ke Jawa Tengah dan mondok di Pesantren Kauman dan Pandean di Semarang pada tahun 1920 sampai 1921.
Pada masa perjuangankemerdekaan, Badawi pernah memasuki Angkatan Perang Sabil (APS). Pada tahun 1947-1949, Badawi menjadi Imam III APS bersama dengan KH Mahfudz sebagai Imam I dan KRH. Hadjid selaku Imam II untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia juga pernah menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram atas instruksi dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan bergabung di Batalyon Pati dan Resimen Wiroto, MPP Gedongan. Pada tahun 1950, Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di Yogyakarta.
Sejak berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih leluasa mengembangkan potensi dirinya untuk bertablig. Keinginan ini dijalankan melalui kegiatan sebagai guru di sekolah (madrasah) dan melalui kegiatan dakwah lewat pengajian dan pembekalan ke- Muhammadiyah-an. Prestasi di bidang tablig telah mengantarkan Badawi untuk dipercaya menjadi Ketua Majlis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1933. Sejak itu, keberadaan Badawi di Muhammadiyah tidak diragukan lagi. Di jajaran Pimpinan Pusat ia selalu terpilih dan ditetapkan menjadi wakil ketua. Kemudian pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965, dan pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965 – 1968.
Pada tahun 1968, ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Pengangkatan ia berdasarkan prestasinya ketika memimpin Muhammadiyah (1962-1965 dan 1965-1968) dan menjadi Penasehat Pribadi Presiden Soekarno di bidang agama Islam. Di Dewan Pertimbangan Agung, KH.A Badawi sebenarnya sedikit memberikan nasehatnya pada awal Orde Baru. Hal ini dikarenakan kondisi fisiknya yang melemah. Penyakit yang disandangnya kurang memungkinkan fisiknya yang sudah tua untuk turut berkiprah lebih banyak dalam memberikan sumbangsihnya kepada negara dan bangsa.
Kiai Ahmad Badawi meninggal pada 25 April 1969 di Yogayakarta. Di saat meninggal ia masih menjabat sebagai angggota Dewan Pertimbangan Agung dari tahun 1968. Sedang di Muhammadiyah ia ditempatkan sebagai penasehat PP. Muhammadiyah periode 1969-1971 berdasar hasil Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta.