Berkat ridho dan hidayah Gusti Allah Yang Maha Kuasa, Sunan Bonang yang berdarah campuran Samarkand – Campa, dengan cepat dapat menguasai bahkan mengembangkan kebudayaan Jawa sebagai media dakwahnya. Ia tidak memaksakan kebudayaan leluhur atau asal kebangsaannya, namun melebur dalam budaya lokal. Inti ajaran-ajaran tasawuf yang bersumber dari Al Ghazali, dengan sentuhan kelembutan dan cinta kasih Jalaluddin Rumi, mengilhami serta mengobarkan semangatnya untuk mengajarkan “wirasating ilmu suluk” atau jiwa ajaran tasawuf kepada masyarakat Jawa yang beragama Syiwa – Budha dan menyenangi mistik. Tasawuf yang menurut Al Ghazali merupakan jiwa ilmu-ilmu agama, disyiarkan melalui berbagai media komunikasi yang hebat yang belum pernah dikenal masyarakat.
Melalui tasawuf, Sunan Bonang menurut Abdul Hadi WM mengajarkan cinta kasih, terutama kecenderungan yang kuat kepada Yang Satu, yaitu Yang Maha Indah. Dalam pengertian ini, seseorang yang mencintai tidak memberi tempat pada yang selain Dia. Ini terkandung dalam kalimat laa ilaaha illallaah, tiada tuhan kecuali Allah.
Dengan cinta yang seperti itu kita bisa memiliki pengenalan yang mendalam (makrifat) tentang Allah dengan sepenuh perasaan, haqqul yaqin, beserta kepastian mengenai kebenaran dan keberadaannya. Apabila sudah demikian, maka kita dengan segala gerak-gerik hati dan perbuatan, akan senantiasa merasa diawasi serta diperhatikan oleh-Nya. Kita menjadi selalu eling, ingat dan waspada.
Sunan Bonang juga menciptakan aliran silat tenaga dalam yang menggunakan jurus-jurus yang dinamai sesuai alpabetik huruf Arab, guna menggembleng jiwa raga para cantrik atau muridnya sekaligus sebagai sarana belajar huruf Arab. Ia menyempurnakan instrumen gamelan Jawa serta menggubah irama-irama yang baru dan khas, sebagai daya tarik untuk mengumpulkan massa. Ia menyusupkan secara halus simbol dan nilai-nilai keislaman dalam budaya, adat-istiadat dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Ia berkhotbah dengan mendendangkan tembang-tembang nan indah lagi merdu, yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam khususnya tasawuf. Tembang-tembang itulah yang kemudian kita kenal sebagai Suluk-Suluk Sunan Bonang.
Jadi berkhotbah dengan tampil sebagai artis sebagaimana sekarang ini, bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah dirintis oleh Sunan Bonang dan kemudian lebih digalakkan oleh saudara sepupu sekaligus muridnya yaitu Sunan Kalijaga. Yang mungkin perlu menjadi pertanyaan dan bahan kajian adalah keteladanan serta gaya hidup dari para ulama zaman Sunan Bonang- Sunan Kalijaga, dan ulama-ulama zaman hedo-narsis sekarang ini.
Segala yang dirintis Sunan Bonang tersebut mendapat dukungan para wali seperguruan dan murid-muridnya, bahkan dikembangkan oleh terutama murid andalannya yakni Sunan Kalijaga serta cucu muridnya yaitu Sunan Muria. Ajaran-ajaran itulah yang kemudian menjadi tonggak-tonggak awal tasawuf Jawa, yakni ajaran tasawuf yang dikemas dengan adat-istiadat dan kebudayaan Jawa.
Metode dakwah seperti itu disamping memiliki banyak keunggulan, ada pula kelemahannya, yang menurut penilaian Prof.K.H.Ali Yafie yang disampaikan kepada sahaya, belum sempat tuntas disempurnakan, datang penjajahan Belanda yang membawa tata nilai yang bukan saja baru, tapi juga dengan membawa agama lain berusaha menggilasnya. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain berupa dipakainya tamzil dan simbol-simbol adat-kebudayaan Jawa yang masih bercorak Syiwa atau Hindu-Budha, yang bisa multi tafsir — bersama dengan kebudayaan Arab, Persi dan Melayu. Demikian juga penyusupan nilai-nilai keislaman dalam adat-budaya yang dilakukan secara bertahap, yang semula dimaksudkan agar mudah dipahami dan tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
Bersambung
(Dari kumpulan tulisan B.Wiwoho: Orang Jawa Belajar Mengenal Gusti Allah).