Inilah yang dilakukan Nabi saat mendengar kisah sedih seorang bocah di hari raya Idul Fitri. Bagaimana nasib bocah itu sepeninggal Nabi?
Pernah mendengar lantunan Dorsaf Hamdani, penyanyi Tunisia yang membawakan kisah pertemuan Nabi Muhammad s.a.w. dengan seorang bocah yatim pada suatu hari raya Idul Fitri? Ia membukanya dengan “Kharajan-Nabiy shallawahu ‘alaihi wa sallam…..”. Indah dan sekaligus mengharukan. Kisah itu antara lain dimuat dalam Durratun Nashihin, kitab kumpulan hadis karya Syekh Usman ibn Hasan ibn Ahmad Syakir Al-Khubawi.
Syahdan, pada suatu hari raya Idul Fitri Rasulullah s.aw. keluar rumah untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Di luar beliau melihat sekelompok anak kecil tengah bermain. Mereka tampak riang gembira. Tetapi ada seorang bocah duduk di kejauhan, memisahkan diri dari kelompok anak-anak itu. Pakaiannya lusuh. Wajahnya murung. Dan ia menangis sedih.
Melihat pemandangan yang kontras itu, Nabi segera menghampiri anak itu.
“Nak, mengapa kamu menangis? Kamu tidak bermain bersama teman-temanmu?” Demikian beliau membuka percakapan.
Bocah itu rupanya tidak mengenali bahwa orang tua yang ada di hadapannya adalah Rasulullah. Ia pun menjawab: “Bapak, ayahku telah tiada. Beliau mengikuti Rasulullah SAW dalam menghadapi musuh dalam sebuah peperangan. Tetapi ia gugur dalam medan medan pertempuran itu.”
Rasulullah terus menyimak dan mendengarkan penuh perhatian kisah bocah itu.
“Ibuku menikah lagi. Ia memakan warisanku, peninggalan Ayah. Sedangkan suaminya mengusirku dari rumahku sendiri. Kini aku tak memiliki apa pun. Makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Aku bukan siapa-siapa. Tetapi hari ini, aku melihat teman-teman sebayaku merayakan hari raya bersama ayah mereka. Dan perasaanku dikuasai oleh nasib kehampaan tanpa ayah. Karena itulah aku menangis.”
Tidak tergambarkan bagaimana perasaan Rasulullah s.a.w. mendengar kisah sedih bocah yang di hari raya mestinya bergembira itu.
“Ananda, dengarkan baik-baik. Apakah kamu bersedia bila saya menjadi ayahmu, Aisyah menjadi ibumu, Ali sebagai paman, Hasan dan Husein sebagai saudara, dan Fatimah sebagai saudarimu?” tanya Rasulullah.
Mendengar tawaran itu, anak ini mengerti seketika bahwa orang tua di hadapannya tidak lain adalah Nabi Muhammad s.a.w.
“Mengapa tidak, wahai Rasulullah?” jawab anak ini seraya tersenyum lebar.
Rasulullah s.a.w. kemudian membawa anak itu pulang ke rumah. Di sana anak itu diberikan pakaian terbaik. Ia dipersilakan makan hingga kenyang. Penampilannya diperhatikan lalu diberikan wangi-wangian. Setelah itu, bocah itu pun keluar dari rumah Rasulullah dengan senyum dan wajah bahagia. Melihat perubahan drastis pada anak ini, teman-temannya bertanya: “Sebelum ini kamu menangis. Tetapi kini kamu tampak sangat gembira?”
“Benar teman-teman. Semula aku lapar, tetapi lihatlah, sekarang tidak lagi. Aku sudah kenyang. Dulunya aku memang tidak berpakaian, tetapi kini lihatlah. Sekarang aku mengenakan pakaian bagus. Dulu memang aku ini yatim, tetapi sekarang aku memiliki keluarga yang sangat perhatian. Rasulullah s.a.w. ayahku, Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudaraku, Ali pamanku, dan Fatimah adalah saudariku. Apakah aku tidak bahagia?”
Namanya juga anak-anak. Mendengar kisah itu, mereka kompak berkata: “Aduh, cobalah ayah kita juga gugur pada peperangan itu sehingga kita juga diangkat sebagai anak oleh Rasulullah s.a.w.”
Beberapa tahun kemudian. Kebahagiaan bocah itu pun lenyap. Tidak
lain, karena ia ditinggal mangkat ayah angkat yang mencintai dan dicintainya
itu. Meratapi kepergian ayah angkat paling mulia
ini, ia keluar rumah seraya menaburkan debu di atas kepalanya.
“Celaka, sungguh celaka. Kini aku kembali terasing. Aku bukan siapa-siapa lagi.
Aku kini menjadi yatim. Sepi,” katanya.
Beruntung Abu Bakar Ash-Shiddiq melihat. Sang khalifah pun segera memeluknya, dan menjadikannya anak sebagaimana yang dilakukan Nabi.