Syekh Yusuf, qadhi Kesultanan Banten dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa, menulis lebih dari 20 karangan terutama tentang tasawuf. Dan Nelson Mandela menjadikan ulama kharismatis ini sebagai inspirator perlawaan rakyat Afrika Selatan melawan aphartheid.
Syahdan, sekembali dari Mekah pada 1664, Syekh yang waktu itu berusia 38 tahun tidak langsung pulang ke Gowa, tapi tinggal di Banten. Berbeda dari 15 tahun yang lalu ketika dia tinggalkan, Banten sekarang sudah ramai. Sahabat karibnya, Pangeran Surya, sudah menduduki tahta Kesultanan Banten dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Kini, sahabat dan rakyat Banten tidak lagi memanggil dengan nama kecilnya Muhammad Yusuf. Ia dipandang sebagai ulama, dengan panggilan syekh.
Syekh Yusuf membuka pengajian kepada penduduk, menjadi mubalig untuk menyebarkan ajaran-ajarannya. Dalam waktu beberapa tahun namanya sudah masyhur di kalangan penduduk Banten dan sekitarnya, bahkan sudah diketahui pula di Makassar. Banyak orang Makassar dan Bugis datang ke Banten menjadi murid. Orang Makassar yang dibuang ke Betawi bersama Raja Gowa, Sultan Ali Karaeng Bisei (1674-1677) sebanyak 400 orang, karena kalah melawan Kompeni dalam perang tanggal 17 April 1667, setelah mereka dibebaskan, sebagian pindah ke Banten menjadi murid Syekh Yusuf.
Syekh Yusuf, atau Muhammad Yusuf, memang orang Makassar. Ia dilahirkan di Gowa, Sulawesi Selatan, diperkirakan pada tahun 1627. Ayahnya, Abdullah Abul Mahasin, boleh dikatakan punya latar belakang keislaman yang kuat. Mula-mula dia belajar Al-Quran kepada seorang guru setempat bernama Daeng ri Tassamang. Selanjutnya ia belajar bahasa Arab, fiqih, tauhid dan tasawuf dengan Sayid Ba’ Alwi bin Abdullah Al-Allamah Ath-Thahir, seorang da’i Arab yang tinggal di Bontoala. Ketika berusia 15 tahun dia berguru kepada Syekh Jalaluddin Al-Aidid di Cikoang, seorang guru keliling yang diriwayatkan datanh dari Aceh kwe Kutai,Kalimantan, sebelum akhirnya menetap di Cikoang.
Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Yusuf pun pergi ke Timur Tengah. Waktu itu usianya 18 tahun. Ia naik kapal Melayu dari Pelabuhan Makassar menuju Pelabuhan Banten ketika itu diperintah oleh Abul Mufakhir Abdul Qadir (1037-63/1626-51). Yang diberi gelar Sultan oleh Syarif Mekkah pada 1638. Sultan punya minat khusus pada masalah-masalah keagamaan; dan padamasanya Banten sudah dikenal sebagai salah satu pusat Islam penting di Jawa. Selain belajar, Yusuf mampu menjalin hubungan pribadi erat dengan kalangan elite Kesultanan Banten, terutama dengan Pangeran Mahkota, Pangeran Surya, yang kelak menjadi menantunya itu.
Setelah menetap beberapa lama di Banten, Yusuf berangkat menujiu Arab. Ketika berada di Banten dia telah mendengar tentang Ar-Raniri dan bermaksud belajar dengannya. Sementara itu, Ar-Raniri telah meninggalkan Aceh menuju tempat kelahirannya, Ranir, pada 1644. Karena dia meninggalkan Makassar pada tahun yang sama kemungkinan mereka bertemu di Aceh. Karena itu, mungkin dia mengikuti Ar-Raniri ke India. Dan pantai Gujurat dia melanjutkan perjalanan menuju Timur Tengah. Tujuan pertamanya adalah Yaman, terutama di Zabid. Di sini dia berguru kepada Muhammad Abdul Baqi-Baqi Al-Naqsyabandi dan Sayyid Ali Al-Zabidi.
Syekh Yusuf sebagai guru tarekat dan sufi makin terkenal di kalangan penduduk pada masa itu. Kesalehannya sebagai orang sufi menarik orang, terutama murid-muridnya yang sering menyaksikan bukti-bukti kesufiannya, menarik perhatian dan bertambah hormat padanya. Penghormatan orang bukan karena kedudukannya sebagai mufti dan penasihat pemerintahan atau karena menantu Sultan Ageng, melainkan karena kepribadiannya yang tinggi oleh bobot ilmu yang dimilikinya sepadan dengan budi pekerti dan tingkah lakunya.
Mengislamkan Kapten Belanda
Sultan Ageng sendiri menganut paham tarekat yang diajarkan oleh Syekh Yusuf, yaitu tarekat Khalwatiyah guna lebih memperkokoh keyakinan dan tekad bulat memimpin pemerintahan. Anaknya, Pangeran Gusti, yang dicalonkan untuk menggantikannya, disuruh menunaikan ibadah haji agar kepribadiannya terbentuk, tidak mudah diombang-ambingkan pengaruh bila sebentar lagi memegang tampuk pimpinan pemerintahan. Pangeran Gusti sebagai putra mahkota sudah diberi sedikit kekuasaan sebagai Sultan Muda dengan gelar Abun Nashr Abdul Qahar.
Akan tetapi, Sultan Muda yang kemudian digelari Sultan Haji itu kemudian memberontak terhadap ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Berkat bantuan tentara kolonial, Sultan Ageng dapat dikalahkan. Ia kemudian ditawan Belanda. Adapun Syekh Yusuf dan para pengikutnya, setelah 12 bulan dikejar, tertangkap di Segara Anakan, pantai selatan Jawa. Dibawa ke Cirebon. Kemudian Batavia. Dan pada 22 Maret 1684 Syekh Yusuf beserta keluarga dan sejumlah pengikutnya dibuang Blanda ke Ceylon alias Srilangka. Belanda tidak mengubris permintaan keluarganya di Gowa agar Syekh dikembalikan saja ke Sulawesi. Ia sengaja dibuang jauh-jauh karena dikhawatirkan akan mempengaruhi rakyat untuk melawan Belanda.
Di tempat barunya ini Syekh Yusuf mengarang sejumlah kitab, di antaranya An-Nafhatus Sailaniah (Embusan dari Ceylon, yang ia tulis untuk memenuhi keinginan para jamaah dan para sahabatnya. Mantan qadhi Kesultanan Banten asal Makasar, yang juga menantu Sultan Ageng Tirtayasa ini telah menulis lebih dari 20 karangan terutama tentang tasawuf.
Di Srilangka, Syekh Yusuf rupanya masih memberikan pengaruh kepada para pengikutnya di Tanah Air. Yakni melalui jamaah haji yang singgah di tempat pembuangannya itu. Karena itu, Belanda kemudian memindahkan pembuangannya ke tempat yang lebih jauh yaitu di Tanjung Harapan, Afrika Selatan.
Sebagai waliyullah, Syekh Yusuf diyakini para pengikutnya memiliki karamah atau kekuatan supernatural, yang lazim dimiliki oleh orang-orang suci. Di Banten sendiri “ilmu kebal” yang antara lain sering dipertontonkan dalam kesenian tradisional Debus, diyakini sebagai berasal dari ajaran tarekat Rifa’iyah yang dulu diajarkan Syekh Yusuf.
Diceritakan, salah satu karomah yang dimiliki oleh Syekh Yusuf terjadi dalam perjalanan menuju tempat pembuangannya yang kedua, yaitu di Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Kapal Voetboog yang mereka tumpangi dan dinakhodai seorang Belanda bernama Van Beuren, dihantam badai besar. Para penumpang pun ketakutan karena mengira kapalnya akan tenggelam. Namun berkat wibawa dan karisma Syeikh Yusuf al-Makassari kapten beserta nahkoda kapal dapat tetap tenang dan mengendalikan kapal dengan selamat sampai di tujuan.. Dari pengalaman tersebut, sang kapten kemudian memeluk agama Islam dan turut tinggal di pengasingan bersama Syeikh Yusuf. Sampai sekarang keturunan kapten kapal ini tetap memeluk Islam Muslim masih bermukim di Afrika Selatan. Cerita lainnya ketika kapal yang mereka tumpangi itu kehabisan stok air, dan para penumpang dan awak kapal sudah dilanda kehausan. Maka, dengan karomah yang dimilikinya, Syekh Yusuf mencelupkan jarinya ke lautan. Dan dari jarinya itu kemudian mengalir air, yang tentu saja bisa diminum dan digunakan untuk keperluan airnya.
Di Tanjung Harapan (Kaap), Syekh Yusuf dan rombongan ditempatkan di Zandvlet, daerah pertanian milik Dominus Petrus Kelden, dekat muara sebagai Eerste. Di daerah barunya ini Syekh menjadikan Tanjung Harapan sebagai pusat kegiatan kaum muslimin di Afrika Selatan. Syekh wafat pada 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun, atau lima tahun setelah tinggal di sana. Dia dikubur di Faure, tidak jauh dari tempat tinggalnya. Sampai sekarang makamnya dianggap keramat, tapi konon hanya sedikit pengunjung yang tahu benar sebetulnya yang berbaring di situ. Dan yang membanggakan adalah ini: Presiden Nelson Mandela menjadikan ulama kharismatis yang banyak menulis kitab ini sebagai inspirator perlawaan rakyat Afrika Selatan melawan aphartheid. Dia juga menyebut Syekh Yusuf sebagai salah satu putra terbaik Afrika Selatan . Maka tidak mengherankan jika kemudian diangkat sebagai pahlawan nasional di sana.