Pernahkah dikau, wahai Sahabatku, membayangkan di mana letak Samarkand dalam peta dunia? Betapa jauh dari Pulau Jawa, lebih-lebih di abad ke 14 – 15 dengan sarana transportasi dan komunikasi tradisional? Samarkand adalah sebuah kota di Uzbekistan yang didirikan pada tahun 700 Sebelum Masehi, dan sekarang merupakan kota kedua terbesar di Uzbekistan. Usia kota itu hampir sama dengan usia kota Roma, Athena dan Babylonia.
Dalam manuskrip-manuskrip Arab Kuno, Samarkand disebut sebagai “Permata dari Timur”, sementara orang-orang Eropa menyebut “ Tanah Para Ilmuwan”. Tak jauh dari Samarkand ada sebuah kota yang kita seringkali menyebutnya sebagai nama seorang perawi hadis termasyhur yaitu Bukhari, yang bernama asli Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Karena berasal dari kota Bukhoro atau Buchora atau Buxoro, maka beliau dipanggil Imam Bukhari.
Dari Samarkand itulah pada abad ke 14, seorang ulama berdakwah ke Nusantara. Menurut satu versi cerita rakyat yang sering penulis dengar waktu kecil, ulama tersebut bernama Syekh Jumadil Qubro bersama kedua orang anak lelakinya, berdakwah ke Nusantara. Satu anaknya yang bernama Maulana Ishaq menetap dan berdakwah di Samudera Pasai (Aceh), dan yang satu lagi yaitu Maulana Malik Ibrahim ke Pulau Jawa.
Satu versi lain lagi menyatakan ulama itu adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi yang sebelum ke Jawa, berdakwah terlebih dahulu ke Campa, menikah dengan putri Campa dan selanjutnya baru bersama kedua putranya melanjutkan dakwah ke pulau Jawa.
Sayang sekali, belum ada dokumen sejarah yang lengkap dan sahih, yang bisa dijadikan rujukan ilmiah tentang kisah tersebut. Di Jawa, kisah tadi melegenda bergulir dari mulut ke mulut sebagai cerita rakyat dan “ketoprak” atau panggung pertunjukan drama sejarah dan legenda. Sedangkan yang berupa karya tulis pada umumnya bersumber dari dua buku atau serat, yaitu Babad Tanah Jawi yang ditulis empat abad kemudian. Yang pertama disusun oleh Carik Braja pada tahun 1788 atas perintah Sinuhun Pakubuwono III, yang satu lagi disusun oleh P.Kadilangu II pada tahun 1722, di masa pemerintahan Pakubuwono II. Ada juga beberapa serat babad lokal seperti Babad Tjirebon, Babad Ngampeldenta dan Serat Walisana, namun nampaknya juga masih harus diteliti secara cermat untuk bisa menjadi sumber rujukan utama penulisan sejarah.
Tentang Syekh Jumadil Qubro, bahkan makamnya pun terdapat di beberapa tempat, sama halnya dengan makam Gajah Mada, ulama Syekh Subakir yang dikenal dengan makam dowo atau makam yang panjang, ulama Syekh Yusuf dan Cakraningrat IV.
Menurut versi pertama, dari Jawa putra Syekh Jumadil Qubro yaitu Maulana Malik Ibrahim meneruskan perantauannya ke Campa. Akan halnya Campa itu sendiri pun masih ada perbedaan pendapat di mana letak sesungguhnya. Ada yang berpendapat merupakan daerah pesisir Vietnam sekarang, ada yang di Bangladesh dan ada pula yang di Aceh. Tetapi mengenai hal ini masih lebih banyak sumber dan data sejarah yang bisa dijadikan pegangan, yang memastikan sebagai Campa yang di Vietnam, salah satu di antaranya adalah buku “Kerajaan Campa” yang disusun oleh Ecole Francaise D’Extreme-Orient (EFEO), yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1981. Di jejaring media sosial facebook dewasa ini, kita pun bisa berkenalan dengan beberapa akun Campa Islam, baik yang berasal dari Bangladesh maupun Vietnam. Demikian pula bila dilihat dari berbagai temuan benda-benda arkeologi, yang menunjukkan ciri-ciri persamaan antara temuan di Jawa dengan yang di pesisir Vietnam.
Mengenai soal akurasi sejarah, biarlah menjadi kewenangan para ahli sejarah. Sedangkan penulis, hanya akan menuturkan apa-apa yang sahaya dengar, yang sahaya ketahui, apa adanya sebagai orang awam. Yang sudah pasti lagi jelas, bermula dari cerita-cerita rakyat itulah, kami orang Jawa khususnya penulis bisa belajar mengenal Gusti Allah. Sementara itu jika ada bahan-bahan yang terkait yang berasal dari sumber tertulis, maka penulis akan mengutip dengan langsung mencantumkan sumbernya. Bersambung
(Dari kumpulan tulisan B.Wiwoho: Orang Jawa Belajar Mengenal Gusti Allah)
Teruskan penelusuran bangsa Samarkand di Indonesia.